Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ekonom Ungkap Perbandingan Kerja Sama RI dengan Korsel dan China

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 29 January 2025 | Penulis: Harun Rasyid | Editor: Redaksi
Ekonom Ungkap Perbandingan Kerja Sama RI dengan Korsel dan China

KABARBURSA.COM - Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy menilai, ada perbedaan mendasar pada kerja sama di bidang ekonomi antara Korea Selatan (Korsel) dengan China.

Yusuf menilai, kerja sama antara dua negara ini dengan Indonesia cukup baik. Ia mengungkapkan bahwa China telah menjadi partner dagang utama Indonesia terutama dalam satu dekade terakhir

“Kalau kita bicara investasi dan Perdagangan China terutama terakhir, porsinya semakin meningkat dalam perekonomian Indonesia,” kata Yusuf ketika dihubungi kabarbursa.com, Selasa, 28 Januari 2024.

Menurutnya, keterlibatan Negeri Tirai Bambu dalam banyak program hilirisasi pemerintah terutama di sektor pertambangan membuat Tiongkok jadi salah satu partner utama dalam bidang ekonomi bagi Indonesia.

Sementara kerja sama antara Indonesia dan Korsel dinilai cukup potensial dalam meningkatkan investasi.  Menurutnya, Indonesia membutuhkan pengalaman Korsel yang cukup panjang dalam mendorong peran aktif UMKM dalam mendorong pangsa pasar ekspor.

“Indonesia menjalankan kebijakan yang tepat untuk menggandeng Korea Selatan dalam meningkatkan strategi hubungan bilateral,” jelasnya.

Lalu apabila dibandingkan, kerja sama dagang Indonesia dengan Korea Selatan maupun Tiongkok disebut memiliki beberapa aspek perbedaan. “Korsel lebih banyak masuk pada pos investasi yang berbeda misalnya dalam konteks otomotif dan elektronik,” papar Yusuf.

Untuk sektor elektronik, ia menganggap teknologi yang diberikan produk Korsel juga lebih unggul dibandingkan produk elektronik asal Negeri Tirai Bambu. Sehingga lebih mudah dikenal oleh konsumen Tanah Air.

Menurutnya, Korsel masuk ke dalam produk-produk elektronik yang di mana khusus untuk produk elektronik. Produk Korsel, kata dia, lebih unggul dibandingkan produk-produk dari China terutama dalam konteks penerimaan masyarakat.

Ia menambahkan, kerja sama dagang Indonesia dan Korsel tidak bisa dibandingkan karena kedua negara memiliki sejumlah perbedaan bidang investasi.

“Memang ada perbedaan yang mendasar terkait kerja sama antar kedua negara, saya kira peran kedua negara tidak bisa dikomparasikan secara langsung karena keunggulan dari kedua negara juga relatif berbeda. Tapi, pada aspek tertentu, kedua negara memberi keuntungan bagi Indonesia,” pungkas Yusuf.

Industri China Tertekan

Kerja sama antara Indonesia dan China mengalami hambatan seiring dengan tekanan yang dihadapi industri di China. Hal ini tercermin dari penurunan laba perusahaan industri di negara tersebut selama tiga tahun berturut-turut.

Situasi ini menciptakan tekanan besar bagi para pembuat kebijakan untuk meningkatkan dukungan terhadap perekonomian, terutama di tengah ancaman tarif dari pemerintahan baru Presiden Donald Trump di Amerika Serikat.

Berdasarkan data resmi yang dirilis oleh Biro Statistik Nasional China (NBS) pada Senin, 27 Januari 2026, laba industri pada Desember 2024 tumbuh 11 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, setelah mengalami penurunan 7,3 persen pada November.

Secara keseluruhan, laba perusahaan industri sepanjang tahun 2024 turun 3,3 persen, memperpanjang tren penurunan sebesar 4,7 persen yang terjadi dalam periode Januari-November tahun yang sama. Angka ini lebih buruk dibandingkan dengan penurunan 2,3 persen yang tercatat pada 2023.

Meskipun produk domestik bruto (PDB) China tumbuh 5 persen pada 2024, sesuai dengan target pemerintah, sejumlah tantangan masih menghadang. Sektor properti yang lesu, lemahnya permintaan domestik, serta rendahnya kepercayaan bisnis menjadi faktor utama yang menghambat pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, harga di tingkat pabrik atau factory-gate prices terus menurun selama dua tahun berturut-turut, yang berdampak pada menyusutnya laba perusahaan dan pendapatan pekerja.

Pada paruh kedua 2024, pemerintah China mengambil langkah-langkah stimulus ekonomi, termasuk memperluas skema pertukaran barang konsumsi guna mendorong permintaan masyarakat.

Meski begitu, data ekonomi bulan Desember menunjukkan pertumbuhan yang tidak merata. Produksi industri mencatat hasil lebih baik dibandingkan dengan penjualan ritel, namun tingkat pengangguran justru meningkat.

Salah satu aspek positif di penghujung tahun adalah lonjakan ekspor pada Desember. Peningkatan ini didorong oleh upaya pabrik-pabrik China untuk mempercepat pengiriman barang ke luar negeri sebelum potensi risiko perdagangan meningkat di bawah kepemimpinan Trump.

Presiden AS yang resmi dilantik pada 20 Januari 2025 telah mengungkapkan rencana pemerintahannya untuk memberlakukan tarif hukuman sebesar 10 persen terhadap impor dari China.

Dari sisi kinerja, perusahaan milik negara di China mengalami penurunan laba sebesar 4,6 persen pada 2024, sedangkan perusahaan asing mencatat penurunan 1,7 persen. Sementara itu, sektor swasta menunjukkan kinerja lebih baik dengan kenaikan laba tipis sebesar 0,5 persen.

Data NBS mencakup perusahaan yang memiliki pendapatan tahunan minimal 20 juta yuan atau setara dengan sekitar 2,74 juta dolar AS dari kegiatan operasional utamanya. (*)