Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ancaman Trump pada BRICS, Pengamat: Perbaiki Hubungan Bilateral

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 28 January 2025 | Penulis: Deden Muhammad Rojani | Editor: Redaksi
Ancaman Trump pada BRICS, Pengamat: Perbaiki Hubungan Bilateral

KABARBURSA.COM – Pengamat Perbankan Paul Sutaryono, mengingatkan bahwa langkah Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) saat ini memang sudah cukup memadai dalam memitigasi risiko ekonomi global. Namun, ia menegaskan bahwa pemerintah dan Bank Indonesia (BI) “suka tak suka" wajib meningkatkan kewaspadaan atas ancaman Donald Trump.

Paul menjelaskan, Trump berencana menaikkan tarif barang impor dari China dan negara-negara anggota BRICS, termasuk Indonesia, yang secara resmi telah bergabung sejak 6 Januari 2025.

“Jika ancaman itu terwujud, nilai ekspor Indonesia ke AS terancam menipis,” ujar Paul.

Sebagai langkah mitigasi, ia menyarankan agar pemerintah segera mempererat hubungan perdagangan bilateral dengan AS.

“Secara bilateral, Indonesia harus menjalin hubungan perdagangan internasional dengan AS lebih mesra lagi,” tambahnya.

Selain risiko perdagangan, Paul juga menyoroti potensi dampak kebijakan moneter AS terhadap nilai tukar Rupiah. Ia mengakui bahwa stabilitas Rupiah sejauh ini merupakan hasil dari kebijakan BI yang solid, namun risiko pelemahan tetap ada.

“Ancaman nilai tukar Rp melemah tetap ada. Mengapa? Karena tampaknya The Fed akan terus menurunkan suku bunga acuan AS atau The Fed Fund Rate (FFR) pada tahun ini meski tidak secepatnya,” jelasnya.

Kebijakan The Fed ini berisiko mendorong capital flight dari pasar negara berkembang ke AS.

“Dengan demikian, ada potensi dana terbang (capital flight) ke AS. Hal itu bisa menekan nilai tukar rupiah,” lanjut Paul.

Menurutnya, jika skenario ini terjadi, BI kemungkinan besar harus melakukan intervensi pasar. Dampak dari itu semua kata dia, BI harus melakukan operasi pasar untuk meredam gejolak nilai tukar Rp. Ujungnya, cadangan devisa bisa ikut tertekan alias berkurang.

Dengan ketidakpastian global yang semakin meningkat, Paul menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa lengah. Selain menjaga stabilitas sektor keuangan, pemerintah dan BI juga harus memperkuat hubungan dagang dengan AS untuk mengantisipasi kebijakan proteksionisme yang mungkin diterapkan di bawah kepemimpinan Trump.

Dia mengatakan, pemerintah perlu bertindak proaktif dalam diplomasi ekonomi, sementara BI harus tetap sigap dalam menjaga stabilitas Rupiah agar Indonesia tetap berada dalam jalur pertumbuhan ekonomi yang stabil di tengah tantangan global.

China Bersiap Hadapi Guncangan Ekonomi

Sementara diberitakan Kabarbursa.com, para pemimpin China tengah bersiap menghadapi potensi guncangan ekonomi akibat ancaman tarif tinggi dari Presiden AS terpilih Donald Trump. Untuk memacu perekonomian yang terjebak krisis properti dan tertekan oleh dampak pandemi, Partai Komunis meluncurkan serangkaian kebijakan agar konsumen dan pelaku bisnis lebih giat berbelanja serta mengimbangi pelemahan nilai yuan dan harga saham.

China berencana memperluas program subsidi untuk tukar tambah kendaraan lama dan daur ulang peralatan elektronik guna mendorong pembelian model baru yang hemat energi. Sejak Juni tahun lalu, program ini telah menggantikan 6,5 juta kendaraan berbahan bakar fosil dengan mobil listrik dan hybrid.

Menurut pejabat Badan Perencanaan Nasional, penjualan peralatan rumah tangga baru juga mencatat pertumbuhan dua digit dalam beberapa bulan terakhir.

IMF memproyeksikan peningkatan tajam utang sektor pemerintah China.

Kini, subsidi hingga 20 persen dari harga jual akan diberikan untuk belasan jenis peralatan, termasuk perangkat digital seperti ponsel. Tak hanya itu, pemerintah juga memberikan insentif untuk mengganti peralatan pabrik yang sudah usang.

Pejabat daerah diberi peringatan keras agar tidak melakukan inspeksi sembarangan yang mengganggu operasional bisnis normal. Wakil Menteri Kehakiman Hu Weilie, mengatakan larangan tersebut dalam konferensi pers, seperti dilansir media pemerintah pada Selasa, pekan ini.

Kantor Berita Xinhua melaporkan aturan baru ini bertujuan mencegah penyalahgunaan kekuasaan, penyitaan aset tanpa dasar, dan penghentian produksi secara sepihak. Perdana Menteri Li Qiang menegaskan kebijakan ini adalah bagian dari kampanye untuk memperbaiki iklim bisnis di China.

Langkah ini menyusul keluhan puluhan eksekutif telah ditahan dan aset mereka disita oleh pemerintah daerah yang kekurangan dana dan mencoba menekan perusahaan.

Meski belum menggelontorkan stimulus besar-besaran, pemerintah China memilih pendekatan yang lebih terarah dan bertahap. Kepala Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional, Zhao Chenxin, menyatakan pemerintah akan mengumumkan penerbitan obligasi treasury jangka panjang dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk mendanai belanja tersebut.

Namun, rincian angkanya baru akan diungkap pada pertemuan tahunan legislatif nasional yang dijadwalkan pada awal Maret 2025. (*)