KABARBURSA.COM – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia akan menghormati kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump terkait perpajakan.
Sri Mulyani meyakini, keputusan Trump menarik AS mundur dari Pilar 1: Unified Approach dan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE), bakal berdampak besar secara global.
“Terkait dengan masalah taxation maupun tarif, kami akan melihat bagaimana Presiden Trump akan memberlakukan berbagai policy yang sudah dan telah dijanjikan,” kata Sri Mulyani, Senin, 27 Januari 2025.
Kendati demikian, Menkeu menyatakan bahwa pemerintah tetap waspada terhadap dampak dari penarikan diri AS. Oleh karena itu, ia mengingatkan bahwa penguatan ketahanan ekonomi nasional menjadi penting sebagai langkah antisipasi kebijakan AS.
“Mengenai pernyataan Presiden Trump, mengenai taxation, saya rasa kita akan hormati apa yang akan dilakukan oleh AS, dengan presiden terpilihnya. Namun karena AS adalah negara terbesar di dunia, pasti bisa berdampak ke seluruh dunia,” tambah Sri Mulyani.
Dampak Kebijakan Tarif
Untuk diketahui, Bendahara negara itu tengah menyoroti Kebijakan tarif yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump. Dampak kebijakan tarif yang dilakukan di AS, kata dia, akan menahan proses penurunan inflasi yang seharusnya terjadi. Sementara inflasi di AS, meskipun diperkirakan tetap terkendali, akan tetap berada pada level yang cukup kuat.
“Dampak kebijakan tarif yang dilakukan di AS diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap proses penurunan inflasi menjadi tertahan. Dengan demikian, inflasi masih diperkirakan pada level kuat,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers KSSK di kantor pusat Kementrian Keuangan, Jakarta, Jumat, 24 Januari 2025.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan tarif ini akan mempengaruhi posisi suku bunga yang diterapkan oleh Federal Reserve (Fed). Dalam kondisi ini, ekspektasi terhadap penurunan suku bunga di AS akan semakin terbatas akibat inflasi yang masih tertahan akibat kebijakan tarif tersebut.
“Ini tentu mempengaruhi posisi dari Fed Fund Rate, kebijakan suku bunga Federal Reserve yang dalam hal ini untuk ekspektasi terjadinya penurunan lebih terbatas,” tambahnya.
Lebih lanjut, Sri Mulyani menjelaskan bahwa sisi fiskal AS juga diperkirakan akan lebih ekspansif, yang berpotensi mendorong yield Treasury Amerika Serikat, baik untuk tenor jangka pendek maupun jangka panjang.
“Fiskal AS juga akan lebih ekspansif, ini mendorong yield Treasury Amerika, baik jangka pendek maupun jangka panjang,” jelasnya.
Di sisi lain, ketegangan politik global yang meningkat serta preferensi investor yang masih besar terhadap aset keuangan AS diperkirakan akan menyebabkan indeks mata uang dolar AS berada pada tren yang meningkat. Hal ini akan memberikan tekanan pada mata uang dunia lainnya.
“Ketegangan politik global yang meningkat dan preferensi investor yang masih besar terhadap aset-aset keuangan AS akan menyebabkan indeks mata uang dolar AS berada pada tren yang meningkat dan ini akan memberikan tekanan pada mata uang dunia lainnya,” ungkap Sri Mulyani.
Drama Tarif Impor Trump
Seperti diberitakan sebelumnya, tarif impor ala Presiden Donald Trump kembali jadi bahan perbincangan hangat di Wall Street dan memicu ketidakpastian bagi para investor. Menurut catatan dari Citigroup, semakin banyak perusahaan di S&P 500 yang mulai menaruh perhatian pada kebijakan tarif ini. Mereka melihat tarif ini sebagai salah satu sumber volatilitas pasar saham AS yang perlu diwaspadai.
“Dari semua kebijakan yang dibahas Trump, peran tarif dalam lanskap pasar saham saat ini adalah yang paling menonjol,” ujar analis Citi Research, Scott Chronert, dikutip dari Marketwatch di Jakarta, Senin, 27 Januari 2025.
Ia mencatat adanya lonjakan perusahaan yang membahas tarif dalam panggilan hasil kuartalan mereka, sebagaimana terlihat dari rata-rata pergerakan tiga bulanan pada grafik di bawah. Pada Jumat pekan lalu, indeks saham AS ditutup melemah, dengan S&P 500 turun dari rekor tertinggi 6.118,71 yang dicapai Kamis sebelumnya. Namun, indeks ini masih berhasil mencatat kenaikan mingguan berturut-turut setelah Trump resmi kembali ke Gedung Putih pada Senin, 20 Januari lalu.
“Meski Trump menghindari langkah drastis terkait tarif pada hari pelantikannya, kami memperkirakan isu ini akan terus menjadi sumber volatilitas selama beberapa bulan mendatang,” kata Chronert. Untuk saat ini, jadwal kebijakan terkait tarif dan reformasi pajak tampaknya telah mundur sedikit.
Di World Economic Forum di Davos, Kamis lalu, Trump kembali menegaskan ancamannya untuk menggunakan tarif sebagai cara membawa manufaktur kembali ke AS. Kepala investasi UBS Global Wealth Management untuk wilayah Amerika, Solita Marcelli, menyoroti tarif menjadi perhatian utama banyak investor karena presiden memiliki wewenang besar untuk memengaruhi konsensus pasar perihal pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang menurun.
Namun, kekhawatiran juga muncul bahwa tarif yang terlalu agresif bisa menciptakan tekanan inflasi baru dan merugikan pertumbuhan ekonomi. Federal Reserve, yang memulai siklus pemotongan suku bunga pada September setelah inflasi AS mereda dari puncaknya di 2022, akan menggelar pertemuan kebijakan moneter pekan depan.
Pada Jumat, 24 Januari 2025, indeks utama pasar saham AS ditutup melemah: S&P 500 turun 0,3 persen, Dow Jones Industrial Average melemah 0,3 persen, dan Nasdaq Composite tergelincir 0,5 persen. Meski begitu, S&P 500 masih mencatat kenaikan mingguan sebesar 1,7 persen, menandai dua pekan berturut-turut di zona hijau. (*)