Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Drama Tarif Trump Bikin Pasar Saham AS Panas Dingin

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 27 January 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Drama Tarif Trump Bikin Pasar Saham AS Panas Dingin

KABARBURSA.COM - Tarif impor ala Presiden Donald Trump kembali jadi bahan perbincangan hangat di Wall Street dan memicu ketidakpastian bagi para investor. Menurut catatan dari Citigroup, semakin banyak perusahaan di S&P 500 yang mulai menaruh perhatian pada kebijakan tarif ini. Mereka melihat tarif ini sebagai salah satu sumber volatilitas pasar saham AS yang perlu diwaspadai.

“Dari semua kebijakan yang dibahas Trump, peran tarif dalam lanskap pasar saham saat ini adalah yang paling menonjol,” ujar analis Citi Research, Scott Chronert, dikutip dari Marketwatch di Jakarta, Senin, 27 Januari 2025.

Ia mencatat adanya lonjakan perusahaan yang membahas tarif dalam panggilan hasil kuartalan mereka, sebagaimana terlihat dari rata-rata pergerakan tiga bulanan pada grafik di bawah. Pada Jumat pekan lalu, indeks saham AS ditutup melemah, dengan S&P 500 turun dari rekor tertinggi 6.118,71 yang dicapai Kamis sebelumnya. Namun, indeks ini masih berhasil mencatat kenaikan mingguan berturut-turut setelah Trump resmi kembali ke Gedung Putih pada Senin, 20 Januari lalu.

“Meski Trump menghindari langkah drastis terkait tarif pada hari pelantikannya, kami memperkirakan isu ini akan terus menjadi sumber volatilitas selama beberapa bulan mendatang,” kata Chronert. Untuk saat ini, jadwal kebijakan terkait tarif dan reformasi pajak tampaknya telah mundur sedikit.

Di World Economic Forum di Davos, Kamis lalu, Trump kembali menegaskan ancamannya untuk menggunakan tarif sebagai cara membawa manufaktur kembali ke AS. Kepala investasi UBS Global Wealth Management untuk wilayah Amerika, Solita Marcelli, menyoroti tarif menjadi perhatian utama banyak investor karena presiden memiliki wewenang besar untuk memengaruhi konsensus pasar perihal pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang menurun.

Namun, kekhawatiran juga muncul bahwa tarif yang terlalu agresif bisa menciptakan tekanan inflasi baru dan merugikan pertumbuhan ekonomi. Federal Reserve, yang memulai siklus pemotongan suku bunga pada September setelah inflasi AS mereda dari puncaknya di 2022, akan menggelar pertemuan kebijakan moneter pekan depan.

Pada Jumat, indeks utama pasar saham AS ditutup melemah: S&P 500 turun 0,3 persen, Dow Jones Industrial Average melemah 0,3 persen, dan Nasdaq Composite tergelincir 0,5 persen. Meski begitu, S&P 500 masih mencatat kenaikan mingguan sebesar 1,7 persen, menandai dua pekan berturut-turut di zona hijau.

Pasar Saham Diprediksi Cetak Rekor Baru

[caption id="attachment_106184" align="alignnone" width="2560"] Gedung Wall Street. Foto: Expedia.[/caption]

Mungkin belum banyak yang sadar, bull market sedang menguasai Wall Street. Di tahun kedua reli pasar ini, Dow Jones Industrial Average, S&P 500, dan Nasdaq Composite masing-masing naik 13 persen, 23 persen, dan 29 persen. Ketiga indeks ini bahkan mencatatkan rekor penutupan tertinggi berkali-kali. Kalau dihitung dalam Rupiah, kenaikan ini setara triliunan rupiah di kapitalisasi pasar.

Investor profesional maupun ritel memanfaatkan berbagai katalis, mulai dari pesatnya perkembangan artificial intelligence (AI), ketangguhan ekonomi AS, penurunan inflasi, hingga antusiasme terhadap stock split atau memecah saham. Tapi, momen puncaknya terjadi pada November setelah kemenangan Donald Trump di Pemilu.

Dilansir dari The Motley Fool, saat Trump menjabat di periode pertama, Dow Jones naik 57 persen, S&P 500 melesat 70 persen, dan Nasdaq Composite melambung 142 persen. Meski hasil masa lalu bukan jaminan masa depan, para investor jelas berharap Trump bisa mengulang performa tersebut di periode kedua. Tapi, meskipun semua indikasinya mendukung, hasil akhirnya bisa jadi jauh dari ekspektasi awal.

Salah satu alasan utama reli pasar pada November 2024 adalah dihapuskannya ancaman kenaikan pajak perusahaan. Kandidat dari Partai Demokrat, Kamala Harris, sempat mengusulkan kenaikan tarif pajak perusahaan menjadi 33 persen. Sebaliknya, Trump berkomitmen untuk menurunkan tarif pajak marginal tertinggi dari 21 persen—yang sudah menjadi level terendah sejak 1939—menjadi 15 persen khusus untuk perusahaan manufaktur di AS.

Langkah ini diyakini bisa mendorong perusahaan-perusahaan besar untuk membeli kembali saham mereka (stock buyback). Setelah Undang-Undang Pemotongan Pajak dan Lapangan Kerja (Tax Cuts and Jobs Act) Trump disahkan pada Desember 2017, aktivitas buyback melonjak drastis. Sebelum aturan ini, rata-rata perusahaan di S&P 500 hanya membeli kembali saham sebesar USD100 miliar hingga USD150 miliar (sekitar Rp1.500 triliun-Rp2.250 triliun) per kuartal. Setelahnya, angka ini meningkat menjadi USD200 miliar hingga USD250 miliar (sekitar Rp3.000 triliun-Rp3.750 triliun) per kuartal.

Buyback ini memperbaiki rasio laba per saham (EPS) dan membuat saham lebih menarik bagi investor. Selain itu, Trump diharapkan melanjutkan kebijakan deregulasi. Dengan meminimalkan pengawasan regulasi, pemerintahannya berpeluang membuka jalan untuk meningkatkan aktivitas merger dan akuisisi. Sederhananya, karpet merah sudah digelar untuk perusahaan besar agar semakin ekspansif.

Trump Bisa Cetak Rekor Baru di Pasar Saham

Selama delapan tahun masa jabatan Presiden Barack Obama, serta gabungan delapan tahun kepemimpinan Trump dan Joe Biden, pasar saham mencatatkan keuntungan positif. Dan dengan katalis-katalis yang ada sekarang, Wall Street optimis tren positif ini bakal berlanjut hingga Trump meninggalkan Gedung Putih pada Januari 2029.

Tapi ada alasan besar kenapa Trump justru mungkin bakal mencatat sejarah sebagai presiden pertama dalam 20 tahun terakhir yang mengawasi penurunan Dow Jones Industrial Average, S&P 500, dan Nasdaq Composite. Ya, bisa jadi ini adalah kali pertama pasar saham AS berakhir di zona merah sejak periode kedua George W. Bush yang selesai Januari 2009.

Namun, penting buat digarisbawahi, potensi penurunan ini sama sekali tak ada hubungannya sama kebijakan Trump. Sebab, katalis utama yang bisa bikin pasar saham turun drastis sebenarnya sudah menunggu siapa pun yang menang Pilpres 2024 kemarin.

Kekhawatiran terbesar Wall Street selama masa jabatan Trump adalah valuasi pasar saham yang sudah kelewat mahal. Dan, ini bukan hal yang bisa diperbaiki dalam semalam.(*)