Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Trump vs Powell, Siapa Penggerak Pasar Saham di Awal Tahun ini?

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 27 January 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Trump vs Powell, Siapa Penggerak Pasar Saham di Awal Tahun ini?

KABARBURSA.COM - Minggu ini, Federal Reserve atau The Fed menggelar rapat kebijakan pertama di 2025, di mana hasilnya bisa jadi batu sandungan bagi reli pasar saham. Sementara itu, kebijakan Presiden Donald Trump—yang berpotensi memperumit upaya The Fed menekan inflasi—dikhawatirkan akan menunda pemangkasan suku bunga dan menjadi hambatan bagi tren bullish pasar.

Tapi, yang mengejutkan, Trump belum mengumumkan tarif impor yang selama kampanye digadang-gadang akan jadi senjata utamanya. Padahal, isu tarif ini sudah memicu volatilitas pasca pemilu dan dianggap sebagai ancaman terhadap penurunan inflasi.

Lalu, apakah Ketua The Fed, Jerome Powell, akan mencuri perhatian dengan konferensi persnya pada Rabu? Atau justru Trump yang bakal jadi pusat gravitasi pasar?

Dilansir dari Marketwatch di Jakarta, 27 Januari 2025, Chief Investment Officer di Northern Trust, Katie Nixon, punya jawabannya. Ia mengatakan hubungan Powell dan Trump akan sangat erat minggu ini. Powell mungkin terpengaruh oleh kebijakan Trump, sementara pasar akan terus bergerak mengikuti setiap ucapan Trump, yang tentu saja bisa menciptakan volatilitas.

Dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pekan ini, The Fed diperkirakan akan mempertahankan suku bunga di level 4,25 persen hingga 4,50 persen. Para pembuat kebijakan menilai bahwa ekonomi belum menunjukkan kemajuan positif yang konsisten pada inflasi. Di sisi lain, ketidakpastian soal kebijakan tarif Trump dianggap sebagai batu dalam timbangan yang membuat The Fed memilih jeda sementara.

Yang menarik, pernyataan terbaru dari The Fed mengindikasikan beberapa pembuat kebijakan melihat risiko inflasi dari rencana Trump soal deregulasi, imigrasi, tarif, dan pemotongan pajak. Tak lama setelah kembali ke Gedung Putih, Trump langsung menyerang The Fed, menegaskan niatnya untuk menekan suku bunga demi mendongkrak ekonomi AS.

“Bukan hal aneh jika seorang presiden punya pandangan kuat soal suku bunga dan ingin pandangannya tercermin dalam kebijakan The Fed,” ujar Chief Investment Strategist di Empower, Marta Norton.

Tapi, ia menambahkan, Powell telah menegaskan pentingnya menjaga independensi bank sentral. Namun, Norton juga mencatat Trump tetap bisa memengaruhi The Fed lewat kebijakan fiskal. Jika kebijakan fiskal Trump memicu inflasi, maka upaya untuk menurunkan suku bunga bisa jadi kontraproduktif.

Efek Kebijakan Trump ke Pendapatan Perusahaan

[caption id="attachment_114711" align="alignnone" width="1198"] Presiden AS Donald Trump melemparkan pena yang digunakan untuk menandatangani perintah eksekutif kepada orang banyak selama acara parade Pelantikan Presiden dalam ruangan di Washington, Senin, 20 Januari 2025. Foto AP/Matt Rourke.[/caption]

Investor saham juga mulai bertanya-tanya, bagaimana dampak kembalinya Trump ke Gedung Putih terhadap pendapatan perusahaan—faktor fundamental yang sangat penting untuk menentukan performa pasar saham.

Beberapa kebijakan Trump, seperti pemotongan pajak dan deregulasi, memang diprediksi akan meningkatkan laba perusahaan. Tapi, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini juga bisa memunculkan ekspektasi laba yang terlalu tinggi, sehingga menjadi tantangan baru bagi perusahaan untuk memenuhi target.

“Laba perusahaan dan kemampuan mereka untuk memenuhi ekspektasi yang tinggi akan sangat menentukan performa pasar saham tahun ini. Jika ekspektasi tersebut tidak tercapai, pasar saham bisa terpukul,” ujar Norton kepada MarketWatch.

Jadi, meskipun Trump berusaha menghidupkan kembali ekonomi dengan gaya khasnya, langkah-langkahnya bisa jadi pedang bermata dua—antara mendorong pertumbuhan atau malah menambah tekanan pada pasar dan The Fed.

Sementara itu, para investor juga harus mempertimbangkan ekspektasi laba perusahaan dengan valuasi saham, yang bisa tertekan oleh lonjakan imbal hasil Treasury akibat kebijakan suku bunga tinggi ala The Fed.

“Imbal hasil yang lebih tinggi biasanya membuat valuasi saham turun, tapi jika pertumbuhan laba perusahaan kuat, harga saham masih bisa naik. Jadi, tahun ini bakal ada tarik-menarik antara valuasi dan laba perusahaan,” kata Norton.

Lonjakan imbal hasil obligasi memang cenderung menekan valuasi saham, karena keuntungan tambahan dari aset berisiko seperti saham jadi kurang menarik dibandingkan obligasi pemerintah AS yang aman. Namun, jika perusahaan berhasil menunjukkan pertumbuhan laba yang solid — seperti di sektor kecerdasan buatan atau ekonomi AS yang masih kuat — valuasi saham tetap bisa naik meski suku bunga tinggi, tambah Norton.

Tapi tunggu dulu, keputusan The Fed pada Rabu nanti bukan satu-satunya yang bikin pasar saham bergoyang minggu ini. Investor juga bakal mencermati laporan laba dari raksasa teknologi AS seperti Microsoft, Meta Platforms, dan Tesla yang akan keluar Rabu setelah pasar tutup, serta Apple yang dijadwalkan melaporkan pada Kamis.

Selain itu, data awal PDB kuartal keempat, laporan inflasi Desember, dan kebijakan dari Bank of Canada serta Bank Sentral Eropa juga bakal masuk radar.

Dan tentu saja, tim Trump bakal terus bikin gebrakan yang memengaruhi pasar. “Sampai sekarang, pasar masih bereaksi terhadap setiap pernyataan presiden, bahkan yang sebenarnya nggak relevan. Ini menunjukkan trader belum benar-benar menemukan ritme mereka,” kata Mark Malek, CIO Siebert Financial. “Maraton dansa baru saja dimulai.”

Pada Jumat lalu, bursa saham AS memang ditutup lebih rendah, tapi tiga indeks utama tetap mencatatkan kenaikan mingguan. Menurut data dari FactSet, S&P 500 naik lebih dari 1,7 persen dalam sepekan, Nasdaq Composite melonjak hampir 1,7 persen, dan Dow Jones Industrial Average mencatatkan kenaikan 2,2 persen.(*)