Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Industri China Mengalami Tekanan Besar, Laba Anjlok Tiga Tahun Berturut-turut

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 27 January 2025 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Redaksi
Industri China Mengalami Tekanan Besar, Laba Anjlok Tiga Tahun Berturut-turut

KABARBURSA.COM - Laba perusahaan industri di China mengalami penurunan selama tiga tahun berturut-turut. Kondisi ini  menunjukkan tekanan yang luar biasa bagi pembuat kebijakan untuk meningkatkan dukungan terhadap perekonomian yang kini menghadapi ancaman tarif dari pemerintahan baru Presiden Donald Trump di Amerika Serikat.

Data resmi yang dirilis oleh Biro Statistik Nasional China (NBS) pada Senin, 27 Januari 2026, mengungkapkan bahwa laba industri tumbuh sebesar 11 persen pada Desember 2024 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, setelah mencatat penurunan sebesar 7,3 persen pada November.

Secara keseluruhan, laba perusahaan industri pada tahun 2024 turun sebesar 3,3 persen, memperpanjang tren penurunan sebesar 4,7 persen dalam periode Januari-November tahun yang sama. Angka tersebut juga lebih buruk dibandingkan penurunan sebesar 2,3 persen yang tercatat pada tahun 2023. Meski produk domestik bruto (PDB) China berhasil tumbuh 5{2a565caeab28c282df0e8f428de5af42551b82d45b88a9d70ea7f2338465ba6b}m persen pada 2024, sesuai dengan target resmi pemerintah, sejumlah masalah tetap membayangi.

Sektor properti yang lesu, lemahnya permintaan domestik, dan rendahnya kepercayaan bisnis menjadi hambatan utama bagi pertumbuhan ekonomi.

Harga di tingkat pabrik atau factory-gate prices terus mengalami penurunan selama dua tahun berturut-turut, yang menggerus laba korporasi serta pendapatan pekerja. Pada paruh kedua tahun 2024, pemerintah China memberlakukan berbagai langkah stimulus ekonomi, termasuk memperluas skema pertukaran barang konsumsi untuk mendorong permintaan masyarakat.

Meski begitu, data ekonomi untuk bulan Desember menunjukkan pertumbuhan yang tidak merata. Produksi industri mencatat kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan penjualan ritel, sementara tingkat pengangguran justru meningkat.

Salah satu faktor positif di akhir tahun adalah peningkatan ekspor pada bulan Desember. Lonjakan ekspor ini sebagian besar didorong oleh upaya pabrik-pabrik China untuk mengirimkan barang dagangan ke luar negeri sebelum potensi risiko perdagangan meningkat di bawah kepemimpinan Trump. Presiden AS yang baru dilantik pada 20 Januari 2025, telah menyatakan keinginan pemerintahannya untuk memberlakukan bea masuk hukuman sebesar 10 persen terhadap impor dari China.

Dari segi kinerja, perusahaan milik negara di China mencatat penurunan laba sebesar 4,6 persen  pada tahun 2024. Perusahaan asing juga mencatat penurunan laba sebesar 1,7 persen. Sementara itu, perusahaan sektor swasta menunjukkan kinerja yang sedikit lebih baik dengan kenaikan laba sebesar 0,5 persen. Data NBS mencakup perusahaan dengan pendapatan tahunan minimal 20 juta yuan (setara sekitar 2,74 juta dolar AS) dari operasi utamanya.

Hiruk-pikuk Pelabuhan Yantian

Di balik hiruk-pikuk pelabuhan Yantian, kekhawatiran mulai muncul di kalangan pelaku bisnis. Ketegangan hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China tidak hanya berdampak pada rantai pasok, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian yang lebih luas di sektor bisnis lintas negara.

Hasil survei terbaru yang dirilis oleh Kamar Dagang Amerika (AmCham) di China menunjukkan adanya kecemasan mendalam di kalangan perusahaan-perusahaan AS terkait masa depan hubungan kedua negara besar ini.

Lebih dari setengah perusahaan AS yang beroperasi di China mengungkapkan kekhawatiran mereka tentang potensi memburuknya hubungan antara AS dan China. Survei tahunan tersebut, yang dirilis pada Kamis, 23 Januari 2025, menunjukkan bahwa 51 persen responden merasa cemas akan penurunan hubungan ekonomi antara kedua negara. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.

Survei ini dirilis hanya beberapa hari setelah Presiden Donald Trump resmi memulai masa jabatan keduanya. Meskipun ia tidak menyebutkan nama China secara langsung dalam pidatonya, ancaman peningkatan tarif perdagangan terhadap impor China yang sebelumnya sering dilontarkan tetap menjadi kekhawatiran banyak pihak.

“Hubungan yang stabil dan konstruktif, berbasis pada ikatan ekonomi dan perdagangan, sangat penting tidak hanya bagi kemakmuran kedua negara, tetapi juga untuk stabilitas ekonomi global,” ujar Ketua AmCham China, Alvin Liu, seperti yang dikutip dari Reuters.

Laporan AmCham menyebutkan bahwa ketegangan geopolitik, ketidakpastian kebijakan, dan perselisihan perdagangan menjadi kekhawatiran utama bisnis Amerika di China. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menanggapi hasil survei tersebut dengan mengatakan, “Ini menunjukkan pentingnya menjaga hubungan China-AS yang stabil, sehat, dan berkelanjutan.” Ia berharap AS dan China dapat menemukan titik temu dan mengembalikan hubungan bilateral ke jalur yang sehat dan stabil.

Survei ini melibatkan 368 perusahaan anggota AmCham China dan dilakukan antara Oktober dan November tahun lalu, dengan beberapa di antaranya dilaksanakan setelah Trump memenangkan pemilu presiden pada 5 November. Masa jabatan Trump sebelumnya dikenal dengan adanya perang dagang AS-China dan memburuknya hubungan diplomatik, yang tampaknya belum menunjukkan perbaikan signifikan selama kepemimpinan Presiden Joe Biden.

Pada Selasa lalu, Trump mengungkapkan bahwa pemerintahannya tengah mempertimbangkan penerapan tarif hukuman sebesar 10 persen pada impor China mulai 1 Februari mendatang, terkait dengan peran China dalam rantai pasokan global fentanyl.

Meskipun demikian, hampir separuh responden masih menempatkan China sebagai salah satu dari tiga prioritas investasi global utama, sama seperti tahun lalu. Namun, proporsi perusahaan yang tidak lagi menjadikan China sebagai tujuan investasi utama meningkat menjadi 21 persen, naik tiga poin persentase dibandingkan dengan survei tahun lalu, dan lebih dari dua kali lipat dibandingkan sebelum pandemi.

Sekitar sepertiga perusahaan juga melaporkan adanya perlakuan yang tidak adil di China dibandingkan dengan perusahaan lokal, terutama terkait akses pasar dan pengadaan publik. Angka ini tetap konsisten dengan hasil survei tahun lalu.(*)