Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Trump Bilang Inflasi Bukan Prioritas Utama, Bagaimana Nasib Harga Konsumen?

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 27 January 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Trump Bilang Inflasi Bukan Prioritas Utama, Bagaimana Nasib Harga Konsumen?

KABARBURSA.COM - Dua bulan lalu, Donald Trump sempat bilang di wawancara TV kalau kemenangannya dalam pemilu berkat amarah warga Amerika soal imigrasi dan inflasi. Katanya, harga bahan makanan seperti apel, bacon, dan telur yang melonjak jadi alasan utama dia menang. “Harga itu naik dua sampai tiga kali lipat dalam waktu singkat,” ujar Trump di program Meet the Press, dikutip dari AP di Jakarta, Senin, 27 Januari 2025. “Dan saya menang karena itu. Kita bakal turunkan harga-harga itu.”

Tapi, setelah resmi balik ke Gedung Putih, langkah Trump buat mengatasi inflasi kayak masih di pemanasan. Dalam minggu pertamanya, dia memang mengeluarkan banyak perintah eksekutif, tapi cuma sedikit yang langsung berhubungan dengan harga bahan pokok. Salah satunya, dia minta badan-badan federal mulai mengambil tindakan yang diperlukan. Fokus Trump sejauh ini adalah memangkas regulasi energi dan memperluas lahan pengeboran minyak, berharap dampaknya bakal merembet ke ekonomi secara keseluruhan.

Meski begitu, Trump lebih memilih fokus pada isu imigrasi, yang disebutnya sebagai prioritas nomor satu. Saat pidato di Las Vegas, dia malah lebih sering menyerang Joe Biden atas inflasi yang menurutnya dibiarkan naik begitu saja. “Kalau saya ingat Biden, saya cuma ingat ketidakmampuan dan inflasi,” ujar Trump.

Data terakhir menunjukkan inflasi memang sempat mencapai puncak 9,1 persen pada Juni 2022, saat pandemi merusak rantai pasok global. Setelah itu, inflasi sempat turun tapi mulai naik lagi beberapa bulan terakhir, dari 2,4 persen di September ke 2,9 persen di Desember. Para ekonom mengingatkan, rencana Trump soal tarif impor dan pemotongan pajak malah berpotensi memicu tekanan inflasi baru dan bikin suku bunga tetap tinggi.

Wapres JD Vance, dalam wawancara terpisah, minta masyarakat bersabar soal harga. “Harga bakal turun, tapi ini butuh waktu. Roma aja nggak dibangun sehari,” katanya.

Namun, langkah Trump yang terkesan menjauh dari fokus inflasi ini bikin Partai Demokrat punya celah buat menyerang. Mereka menilai Trump lebih suka bikin distraksi dengan ide-ide absurd, kayak menambah Greenland ke wilayah AS atau merebut kembali Terusan Panama. Senator Chris Murphy dari Demokrat bahkan menyindir kalau agenda ekonomi Trump lebih mirip merancang ekonomi untuk membantu orang-orang elite Mar-a-Lago daripada benar-benar menurunkan biaya hidup rakyat biasa.

Trump Masih Yakin Bisa Turunkan Harga

Dalam wawancara dengan Fox News pekan lalu, pembawa acara Sean Hannity berusaha keras agar Donald Trump fokus bicara soal ekonomi. “Mari kita bahas soal ekonomi,” kata Hannity. “Waktu kita hampir habis.” Trump, dengan gaya khasnya, langsung memotong, “Ekonomi bakal hebat.”

Saat akhirnya Trump membahas inflasi, ia mengklaim bahwa harga-harga tidak akan melonjak jika dirinya tetap menjabat setelah 2020. Padahal, kenaikan inflasi kala itu adalah tren global akibat pandemi. Namun, Trump tidak menjelaskan bagaimana dia akan meyakinkan perusahaan minyak dan negara asing untuk meningkatkan produksi secara cepat, yang jelas bakal mengorbankan keuntungan mereka.

Data dari Energy Information Administration menunjukkan produksi minyak domestik AS telah tumbuh sekitar 8,4 persen per tahun selama dua tahun terakhir, mencapai rata-rata 13,5 juta barel per hari pada Oktober. Beberapa ajudan Trump bahkan optimistis angka itu bisa naik hingga 3 juta barel per hari lagi. Tapi, menurut International Energy Agency, penambahan kapasitas sebesar itu dalam setahun jelas berat tanpa mengubah pasar global secara signifikan. Laporan mereka memperkirakan pasokan minyak dunia hanya akan naik 1,8 juta barel per hari menjadi 104,7 juta barel per hari.

Trump juga terus menunjukkan penolakannya terhadap energi terbarukan seperti angin dan matahari, sehingga makin memperberat ketergantungan ekonomi AS pada bahan bakar fosil. Menurut peneliti di Heritage Foundation, EJ Antoni, potensi peningkatan produksi energi di era Trump nantinya bisa berimbas pada turunnya harga-harga barang. “Kalau harga energi turun, harga barang dan jasa juga ikut turun,” kata Antoni.

Tapi, strategi Trump juga penuh risiko. Deportasi besar-besaran terhadap migran tanpa dokumen, misalnya, bisa mengurangi tenaga kerja murah bagi perusahaan. Ditambah lagi, tarif yang diterapkan pada barang impor kemungkinan besar akan dibebankan pada konsumen.

Trump juga mengisyaratkan bakal terus menekan The Fed agar memangkas suku bunga, sesuatu yang ia sebut sebagai tuntutan saat pidato di Davos. Ini jelas berlawanan dengan pandangan Biden yang menjaga independensi The Fed demi menstabilkan harga.

Meski begitu, Trump tampak percaya diri bahwa peningkatan produksi minyak akan memberinya posisi kuat untuk menekan The Fed agar mengikuti maunya. Saat ditanya di Oval Office apakah ia yakin The Fed bakal mendengarkan, jawabannya singkat tapi percaya diri, “Tentu.”(*)