KABARBURSA.COM - Minggu ini, suasana di Pelabuhan Yantian, salah satu pelabuhan kontainer terbesar di dunia yang berada di China, benar-benar riuh. Eksportir berebut memuat dan mengirim barang sebelum libur panjang Imlek delapan hari dan kemungkinan ancaman tarif baru dari Amerika Serikat (AS).
Pelabuhan Yantian, yang menangani sepertiga perdagangan internasional Guangdong dan seperempat ekspor China ke AS, sudah meningkatkan kuota harian kontainernya sebesar 15 persen menjadi 15.000 unit untuk periode 20-28 Januari. Meski begitu, antrean masih saja panjang.
Li Guoliang, seorang sopir truk, harus menghabiskan dua jam untuk mengantar satu kontainer penuh ke tempat penyimpanan kontainer di pelabuhan. Waktu ini empat kali lebih lama dibanding hari-hari biasa. “Pabrik-pabrik buru-buru mengirim sebelum libur, ditambah lagi kuota kontainer dan kapasitas tempat penyimpanan yang terbatas bikin situasi makin kacau,” kata Li, dikutip dari Reuters di Jakarta, Jumat, 24 Januari 2025.
Bahkan ada sopir truk lain yang terjebak di kawasan pelabuhan lebih dari 24 jam. Kegilaan ini dipicu ancaman Presiden AS Donald Trump yang pada Selasa lalu menyebut sedang membahas bea masuk 10 persen untuk barang-barang impor asal China. Tenggat keputusan ini bisa saja jatuh pada 1 Februari, yang jelas bikin eksportir China dan pembeli AS bergerak cepat.
Sejak jauh-jauh hari, baik pabrik China maupun perusahaan AS sudah bersiap. Beberapa perusahaan AS mempercepat pengiriman mainan, furnitur, dan elektronik, serta menambah stok sebelum tarif baru diterapkan. Akibatnya, ekspor China ke AS pada Desember melonjak drastis.
Pelabuhan Yantian pun memecahkan rekor pada 2024 dengan throughput kontainer sebanyak 17,365 juta unit, naik hampir 7 persen dibanding tahun sebelumnya. Ini sejalan dengan ekspor Shenzhen yang melonjak 14,6 persen hingga mencapai 2,81 triliun yuan (sekitar Rp449 triliun).
Namun, semakin parahnya kemacetan di Yantian minggu ini membuat biaya transportasi melambung. Ongkos truk dari Shenzhen Fuyong, pusat logistik, ke Pelabuhan Yantian naik dari 1.000 yuan (Rp2,6 juta) menjadi lebih dari 2.500 yuan (Rp6 juta). Belum lagi ada biaya tambahan lebih dari 1.000 yuan (Rp2,6 juta) untuk penurunan kontainer.
“Ancaman tarif Trump memang jadi biang keroknya. Kalau enggak, kenapa pabrik-pabrik ini enggak nunggu saja kirim barang setelah libur Imlek?” ujar Li.
[caption id="attachment_98262" align="alignnone" width="1200"] Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih, Donald Trump berjabat tangan dengan Presiden China Xi Jinping. Kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS diprediksi dapat memengaruhi perekonomian Indonesia, khususnya terkait kebijakan ekonomi yang lebih protektif dan potensi dampak inflasi. (Foto: Reuters)[/caption]
Namun, di balik hiruk-pikuk pelabuhan Yantian, kekhawatiran lain mulai menyeruak di kalangan pelaku bisnis. Ketegangan hubungan dagang antara AS dan China ternyata tidak hanya berdampak pada rantai pasok, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran yang lebih luas di sektor bisnis lintas negara.
Hal ini sejalan dengan hasil survei terbaru yang dirilis Kamar Dagang Amerika (AmCham) di China yang mencatat keresahan mendalam dari perusahaan-perusahaan AS terhadap masa depan hubungan kedua negara.
Sedikitnya, lebih dari setengah perusahaan Amerika Serikat (AS) yang beroperasi di China mengungkapkan kekhawatiran mereka akan potensi memburuknya hubungan antara dua ekonomi terbesar dunia. Hal ini terungkap dalam hasil survei tahunan yang dirilis Kamar Dagang Amerika (AmCham) di China pada Kamis, 23 Januari 2025.
Sebanyak 51 persen responden survei menyatakan kekhawatiran terhadap kemungkinan penurunan hubungan antara AS dan China di masa depan. Angka ini menjadi yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Survei ini muncul hanya beberapa hari setelah Presiden Donald Trump resmi memulai masa jabatan keduanya. Meski tak menyebut nama China dalam pidatonya, ancaman peningkatan tarif perdagangan terhadap impor China yang ia gaungkan sebelum-sebelumnya tetap menjadi kekhawatiran banyak pihak.
“Hubungan yang stabil dan konstruktif, berbasis pada ikatan ekonomi dan perdagangan, sangat penting tidak hanya untuk kemakmuran kedua negara tetapi juga untuk stabilitas ekonomi global,” kata Ketua AmCham China, Alvin Liu, dikutip dari Reuters.
Menurut laporan AmCham. ketegangan geopolitik, ketidakpastian kebijakan, dan perselisihan perdagangan menjadi kekhawatiran utama bisnis Amerika di China.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, turut menanggapi hasil survei ini. “Saya rasa ini menunjukkan pentingnya menjaga hubungan China-AS yang stabil, sehat, dan berkelanjutan,” ujarnya dalam konferensi pers rutin, hari ini.
Ia pun berharap AS dapat bertemu China di tengah jalan dan mendorong hubungan bilateral kembali ke jalur pembangunan yang sehat dan stabil. Survei ini melibatkan 368 perusahaan anggota AmCham China dan dilakukan antara Oktober dan November tahun lalu. Sebagiannya dilakukan setelah Trump menang dalam pemilu presiden pada 5 November.
Masa jabatan Trump sebelumnya ditandai dengan perang dagang AS-China serta memburuknya hubungan diplomatik yang juga tidak banyak membaik selama empat tahun kepemimpinan Presiden Joe Biden.
Pada Selasa lalu, Trump mengatakan pemerintahannya tengah mempertimbangkan penerapan tarif hukuman sebesar 10 persen pada impor China mulai 1 Februari perihal peran China dalam rantai pasokan global fentanyl.
Meski demikian, hampir separuh responden masih menempatkan China sebagai salah satu dari tiga prioritas investasi global utama, serupa dengan tahun lalu. Namun, proporsi perusahaan yang tidak lagi menjadikan China sebagai tujuan investasi utama meningkat tiga poin persentase menjadi 21 persen dari survei tahun lalu—lebih dari dua kali lipat dibandingkan sebelum pandemi.
Sekitar sepertiga bisnis juga melaporkan perlakuan tidak adil di China dibandingkan dengan perusahaan lokal, terutama soal akses pasar dan pengadaan publik. Angka ini tetap sama seperti tahun lalu.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.