KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan dampak kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), yang diterapkan sejak 2020 melalui Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020, terhadap tujuh sektor utama, termasuk pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, sarung tangan karet, serta sektor ketenagalistrikan.
Menurut Sri Mulyani, penerima manfaat terbesar HGBT adalah PLN dengan porsi 49 persen diikuti sektor pupuk (37 persen), keramik (5,4 persen), dan petrokimia (5 persen).
"Kebijakan ini dilihat dari berbagai sisi, termasuk kinerja korporasi, ekonomi, dan fiskal," ujar Sri Mulyani dalam akun Instagram @smindrawati di Jakarta, Rabu 22 Januari 2025.
Ia memaparkan bahwa kebijakan ini berhasil meningkatkan kinerja perusahaan, yang terlihat dari kenaikan rata-rata Net Profit Margin (NPM) dari 6,21 persen pada 2020 menjadi 7,53 persen pada 2023. Peningkatan terbesar berasal dari sektor pupuk (12,73 persen), sarung tangan karet (11,36 persen), dan kaca (11,24 persen).
Dampak ekonomi lain terlihat dari melonjaknya penerimaan pajak sektor penerima manfaat HGBT, dari Rp37,16 triliun pada 2020 menjadi Rp65,06 triliun pada 2023.
"Kontribusi terbesar berasal dari sektor ketenagalistrikan, pupuk, baja, dan petrokimia," jelas Sri Mulyani.
Namun, Bendahara negara itu mengakui bahwa kebijakan ini juga membawa konsekuensi fiskal berupa pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang tidak diterima. Meski demikian, pemerintah menilai HGBT tetap penting untuk mendukung ketahanan energi melalui PLN dan ketahanan pangan nasional melalui sektor pupuk.
"Pemerintah akan terus mendukung penguatan industri nasional agar lebih kompetitif dan efisien, sekaligus memperkuat perekonomian," katanya.
Sri Mulyani juga menekankan pentingnya menjaga APBN agar tetap sehat untuk menjalankan fungsi pembangunan di tengah berbagai tantangan ekonomi
"APBN harus selalu dijaga agar tetap sehat dan kuat menjalankan berbagai tugas menjaga perekonomian dan membangun negara," tandasnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan kemungkinan untuk memangkas jumlah perusahaan penerima Hak Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk tahun 2025.
Pemangkasan jumlah perusahaan yang berhak menerima HGBT disampaikannya di Kantor BPH Migas, Jakarta, Selasa, 7 Januari 2025.
“Saya baru selesai rapat, dan masih kita exercise lagi. Karena ada 20 item industri yang mendapat HGBT, ini yang kami sekarang sedang evaluasi,” ucap Bahlil kepada awak media.
Saat ini pemerintah memberikan HGBT kepada tujuh subsektor industri, mulai dari pupuk, baja, petrokimia, oleokimia, keramik, gelas kaca, serta sarung tangan berbahan dasar karet.
Tujuh subsektor tersebut, kata Bahlil, bakal dipangkas apabila memungkinkan. Adapun realisasinya masih menunggu pembahasan lebih lanjut dan keputusannya pun belum final.
Lebih lanjut, Kementerian ESDM tengah mengevaluasi industri subsektor yang dinilai tepat dalam menerima HGBT. Sebab kebijakan HGBT bertujuan memberi kemudahan dalam bisnis industri penerimanya.
Sehingga perusahaan yang sudah mendapat keuntungan kemungkinan tidak lagi mendapat HGBT. Adapun indikator yang digunakan dalam penentuan HGBT yakni berdasarkan kesehatan Internal Rate of Return (IRR).
“Tujuan HGBT ini untuk memberikan sebuah nilai bisnis yang masuk. Kalo yang sudah masuk dan IRR-nya bagus kemungkinan kami pertimbangkan mendapat checklist HGBT. Tetapi ada (perusahaan) yang kita pertahankan kalau ada yang IRR-nya masih kurang bagus,” jelasnya.
Diketahui, HGBT adalah kebijakan pemerintah dalam menetapkan harga gas bumi yang lebih terjangkau untuk bisa dimanfaatkan beberapa sektor industri.
HGBT telah dilaksanakan sejak tahun 2020 untuk tujuh subsektor industri yang mendapat harga gas USD6 per MMBTU. Namun harga tersebut telah berakhir pada 31 Desember 2024.
Rencana pemangkasan HGBT sejatinya pernah menyeruak beberapa waktu lalu. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pernah mengungkapkan adanya keterbatasan gas bumi yang menjadi bahan pokok beberapa industri dalam negeri seperti semen, keramik, dan kaca.
Menurut Ketua Tim Kerja Pembinaan Indusri Keramik dan Kaca Kemenperin Ashady Hanafie, kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang telah diperpanjang pemerintah dengan harga USD6 per MMBTU, tidak diberikan untuk memenuhi kebutuhan gas industri.
“Karena ada keterbatasan. Ibaratnya paling banyak 80 persen atau 70 persen, bahkan ada yang kurang sebenarnya,” ujar Ashady dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Senior Institute For Develompment of Economics and Finance (INDEF) di Jakarta, Selasa, 16 Juli 2024 silam.(*)