KABARBURSA.COM - Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres tampil di Forum Ekonomi Dunia di Davos dengan peringatan keras soal krisis iklim dan ancaman kecerdasan buatan (AI). Menurut Guterres, dunia sedang diperbudak oleh nafsu terhadap bahan bakar fosil yang ia gambarkan sebagai “monster Frankenstein” yang tidak menyisakan siapa pun.
“Ketergantungan kita pada bahan bakar fosil adalah monster Frankenstein, menghancurkan segalanya dan semua orang,” ujar Guterres di forum tersebut, kemarin, dikutip dari AP di Jakarta, 23 Januari 2025.
Ia juga mengkritik perusahaan yang mundur dari komitmen iklim sebagai pihak yang “berada di sisi sejarah yang salah.” Dengan catatan 2024 sebagai tahun terpanas dalam sejarah, ia memperingatkan ancaman kenaikan permukaan laut yang bisa menenggelamkan pelabuhan-pelabuhan penting dunia.
Namun, Guterres tidak hanya bicara soal iklim. Ia juga menyoroti AI, yang menurutnya adalah pedang bermata dua. “AI bisa merevolusi pendidikan, meningkatkan layanan kesehatan, dan mendukung produktivitas petani. Tapi risiko besar muncul jika AI dibiarkan tanpa kendali,” katanya. Maksudnya, ia memperingatkan potensi AI sebagai alat penipuan dan ancaman bagi pasar tenaga kerja.
[caption id="attachment_114711" align="alignnone" width="1198"] Presiden AS Donald Trump melemparkan pena yang digunakan untuk menandatangani perintah eksekutif kepada orang banyak selama acara parade Pelantikan Presiden dalam ruangan di Washington, Senin, 20 Januari 2025. Foto AP/Matt Rourke.[/caption]
Sementara itu, Presiden Donald Trump mencuri perhatian dengan mengumumkan investasi hingga USD500 miliar dalam infrastruktur AI lewat kemitraan antara Oracle, SoftBank, dan OpenAI. Proyek bernama Stargate ini bertujuan membangun pusat data besar di Texas untuk mendukung kebutuhan daya AI yang kian melesat.
CEO Accenture, Julie Sweet, menyebut investasi ini sebagai validasi pentingnya AI bagi negara dan perusahaan. Namun, ia menegaskan pentingnya kepercayaan publik terhadap AI. “AI tidak akan sukses kalau orang tidak percaya. Jadi, saya tidak khawatir jika ada deregulasi berlebihan,” ujarnya kepada Associated Press.
Di Davos, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyebut negaranya harus berlayar cepat menghadapi tantangan AI, termasuk mereformasi sistem pendidikan dan layanan kesehatan. “Kita tidak punya waktu untuk menunggu,” katanya.
Sebaliknya, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez lebih khawatir soal dampak media sosial terhadap demokrasi. “Miliarder teknologi ini ingin menjatuhkan demokrasi,” ujarnya. Sanchez mengkritik platform teknologi yang ia sebut membawa perpecahan, kebohongan, dan agenda reaksioner. Ia juga menyerukan Uni Eropa untuk mengatur media sosial secara ketat, termasuk membuka algoritma dan menghilangkan anonimitas pengguna.
Davos tahun ini menjadi medan diskusi yang panas. Dari ancaman perubahan iklim hingga revolusi AI, semua pemimpin dunia memiliki pandangan berbeda. Namun, yang pasti, seperti kata Guterres, publik tidak bisa diam saja. “Monster Frankenstein sudah menjadi penguasa,” katanya.
Banyak perbincangan soal tarif yang digembar-gemborkan oleh Donald Trump—baik terhadap barang dari China, rival utamanya, maupun dari sekutu seperti Kanada dan Meksiko. Namun, apakah negara sekutu terdekat AS, yakni Inggris, akan masuk dalam daftar negara yang dikenai tarif?
Menteri Keuangan Inggris yang baru, Rachel Reeves, mencatat Trump sedang mempertimbangkan tarif pada negara-negara yang memiliki surplus perdagangan besar dengan Amerika Serikat. Namun, hal ini tidak berlaku untuk Inggris, yang justru memiliki defisit perdagangan kecil dengan AS. “Jadi, masalah yang coba diatasi oleh Presiden Trump sebenarnya tidak relevan jika tarif dikenakan pada Inggris,” ujar Reeves.
Dia juga mengatakan hubungan ekonomi antara kedua negara terlalu erat untuk dirusak oleh tarif. “Ada sejuta warga Inggris yang bekerja di perusahaan Amerika, dan ada sejuta warga Amerika yang bekerja di perusahaan Inggris,” katanya kepada wartawan. “Ekonomi kita saling terkait erat, dan saya tidak percaya bahwa tarif antara kedua negara kita akan menguntungkan salah satu pihak.”
Di hari pertamanya di Gedung Putih, Trump mengumumkan rencana menerapkan tarif impor sebesar 25 persen untuk Kanada dan Meksiko mulai 1 Februari. Meski begitu, ia bungkam soal rencana tarif untuk produk dari China.
Dalam sesi penandatanganan perintah eksekutif di Oval Office, Trump menyebut tarif impor sebagai langkah strategis untuk memperkuat ekonomi domestik. Meski dalam kampanyenya ia mengancam tarif hingga 60 persen untuk China, nada Trump tampak melunak setelah berdiskusi dengan Presiden China Xi Jinping pekan lalu.
“Kami akan mengadakan pertemuan dan panggilan telepon dengan Presiden Xi,” ujar Trump, dikutip dari AP.
Namun, langkah agresif ini membawa pertanyaan besar, apakah tarif impor dan kebijakan eksekutif lainnya benar-benar mampu mengatasi inflasi dan menurunkan harga energi seperti yang dijanjikan Trump? Pasalnya, beban tarif biasanya berujung pada kenaikan harga barang bagi konsumen domestik, bukan negara eksportir.
Trump menuding inflasi yang melambung selama pemerintahan Joe Biden disebabkan oleh bantuan pandemi senilai USD1,9 triliun pada 2021 dan kebijakan pembatasan pengeboran minyak, meskipun data menunjukkan produksi minyak domestik tetap berada di level tertinggi.
“Krisis inflasi ini akibat pengeluaran besar-besaran yang tidak terkendali,” klaim Trump dalam pidato pelantikannya.(*)