Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

INDEF Pertanyakan Keuntungan Negara dari Penerapan B40

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 22 January 2025 | Penulis: Harun Rasyid | Editor: Redaksi
INDEF Pertanyakan Keuntungan Negara dari Penerapan B40

KABARBURSA.COM – Meski penggunaan biodiesel B40 mampu mengurangi dampak emisi, namun dari sisi keuntungan negara jangka panjang masih dipertanyakan.

Ekonom senior Institute for Development of Economic Indonesia (INDEF) Tauhid Ahmad mengakui jika penggunaan B40 dapat mengurangi emisi karbon.

“Kalau dari sisi lingkungan, dari hasil riset memang banyak yang mengatakan semakin tinggi biodieselnya, berarti komponen sisi lingkungannya semakin baik. Tetapi bergantung jumlah coverage-nya,” kata Tauhid kepada kabarbursa.com, Selasa, 21 Januari 2025.

Tauhid menjelaskan, semakin tinggi kandungan biodiesel dapat semakin banyak mengurangi karbon monoksida. Sebaliknya, semakin tinggi solar, semakin tinggi jumlah karbon yang terkandung di pembuangan.

Sementara itu, Juru Kampanye Hutan Greenpeace M Iqbal Damanik melihat peningkatan itensitas penggunaan biodiesel dengan cara berbeda. Pemaksimalan penggunaan biodiesel berisiko memperluas pembukaan hutan di Indonesia dan berganti menjadi lahan sawit.

Pembukaan hutan atau deforestasi demi pemaksimalan biodiesel bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi karena berpotensi meningkatkan suhu bumi. Deforestasi, kata Iqbal, melanggar Perjanjian Paris yang telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016.

“Upaya membuka hutan dengan alasan ketahanan pangan, energi, dan sumber air adalah alasan yang dibuat-buat. Ini semata-mata hanya akan menguntungkan segelintir orang dari industri kelapa sawit,” kata Iqbal lewat keterangan resmi yang dikutip, Selasa, 21 Januari 2025.

Menurutnya, penerapan B40 secara otomatis meningkatkan kebutuhan minyak sawit yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi keberlangsungan hutan karena hutan beralih fungsi menjadi lahan perkebunan sawit.

Sekadar informasi, pada tahun 2025, pemerintah menetapkan alokasi B40 sebanyak 15,6 juta kiloliter (kl) biodiesel dengan rincian 7,55 juta kl diperuntukkan bagi Public Service Obligation atau PSO. Sementara 8,07 juta kl dialokasikan untuk non-PSO.

Iqbal menegaskan, pembukaan hutan dengan alasan apapun dapat merugikan lingkungan dan hanya menguntungkan segelintir pihak yang bermain di sektor sawit.

Belum Tentu Untungkan Negara

Tauhid menegaskan bahwa penggunaan minyak sawit dalam jumlah besar dalam B40 dan penengembangannya di B50 hingga B100 belum tentu menguntungkan negara.

“Ini harus diihitung ulang. Semakin tinggi CPO di kandungan biodiesel belum tentu lebih baik buat ekonomi. Apalagi kita harus loss dari sisi subsidi biodieselnya,” ucap Tauhid.

Kemudian, harga CPO yang sudah relatif tinggi berpotensi akan menaikan pungutan ekspor (PE) minyak sawit. Sehingga pengusaha akan terberatkan apabila PE tersebut mengalami kenaikan.

“Pemerintah kemungkinan akan menaikan Pungutan Ekspornya (PE) karena harganya naik. Nah, itu juga akhirnya pengusaha harus menanggung PE-nya naik mas Karena harganya ikut naik,” jelasnya.

Klaim Hemat Devisa

Pencampuran minyak sawit atau bahan bakar nabati dalam B40, diharap dapat menekan emisi yang dihasilkan dari penggunaan BBM. Pemerintah mengklaim, penerapan B40 diyakini bakal mengurangi biaya impor dan menghemat devisa negara hingga Rp147,5 triiliun.

Meski dapat menghemat devisa negara, Tauhid meminta pemerintah mempertimbangkan peningkatan harga CPO dari waktu ke waktu. Kenaikan harga CPO ini, kata Tauhid, membuat pemerintah akan butuh dana subsidi yang semakin lama semakin besar.

“Memang dengan B40 kita mendapatkan sisi positif dari devisa yang keluar, karena importasi solar untuk campuran B40 itu berkurang. Tetapi nilai devisa itu tetap harus kita keluarkan, artinya masyarakat harus membayar, harus menanggung jarak perkembangan soal subsidinya yang akan semakin besar,” ujar Tauhid.

Ia menyarankan agar pemerintah memperhatikan gap antara harga solar dan harga CPO jika ingin melanjutkan menggunakan B40. Harga solar, kata dia, cenderung lebih murah sementara harga CPO untuk bahan baku biodiesel terus meningkat.

“Gap itu yang kemudian pemerintah harus tanggung melalui subsidi dengan pemberian biodiesel tadi,” sambungnya.

Tauhid menilai, penggunaan CPO untuk B40 berpotensi mengganggu ekspor minyak sawit dari para pelaku usaha. Karena, kebutuhan yang awalnya untuk ekspor harus digunakan untuk menyuplai kebutuhan di domestik. Pengguaan CPO untuk produksi biodiesel berpotensi menggerus keuntungan dari ekspor CPO.

“Dari yang biasanya 10 sampai 11 juta ton menjadi 15 juta ton. Sedangkan ekspor kita yang biasanya 28 juta ton atau lebih, bisa berkurang di bawah 25 juta ton,” jelas Tauhid.

Ia mengimbau pemerintah agar tidak kehilangan momentum ketika harga CPO dunia terus meroket, namun di sisi lain pemerintah justru menggunakan CPO untuk bahan bakar B40 dan pengembangannya hingga menuu B100. (*)