Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

B40 Hemat Devisa, tapi Bebani Subsidi Negara, kok Bisa?

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 22 January 2025 | Penulis: Harun Rasyid | Editor: Redaksi
B40 Hemat Devisa, tapi Bebani Subsidi Negara, kok Bisa?

KABARBURSA.COM – Ekonom senior Institute for Development of Economic Indonesia (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, penggunaan bahan bakar minyak (BBM) B40 mampu menguntungkan negara karena dapat menghemat devisa.

Kendati demikian, ada sisi lain yang tidak diperhatikan pemerintah, terutama dalam hal pertimbangan harga minyak sawit atau crude palm oil (CPO) yang terus meroket. Kenaikan harga CPO ini, kata Tauhid, membuat pemerintah akan butuh dana subsidi yang semakin lama semakin besar.

“Memang dengan B40 kita mendapatkan sisi positif dari devisa yang keluar, karena importasi solar untuk campuran B40 itu berkurang. Tetapi nilai devisa itu tetap harus kita keluarkan, artinya masyarakat harus membayar, harus menanggung jarak perkembangan soal subsidinya yang akan semakin besar,” ujar Tauhid saat dihubungi kabarbursa.com, Selasa, 21 Januari 2025.

Ia menyarankan agar pemerintah memperhatikan gap antara harga solar dan harga CPO jika ingin melanjutkan menggunakan B40. Harga solar, kata dia, cenderung lebih murah sementara harga CPO untuk bahan baku biodiesel terus meningkat.

“Gap itu yang kemudian pemerintah harus tanggung melalui subsidi dengan pemberian biodiesel tadi,” sambungnya.

Tauhid menilai, penggunaan CPO untuk B40 berpotensi mengganggu ekspor minyak sawit dari para pelaku usaha. Karena, kebutuhan yang awalnya untuk ekspor harus digunakan untuk menyuplai kebutuhan di domestik.

“Dari yang biasanya 10 sampai 11 juta ton menjadi 15 juta ton. Sedangkan ekspor kita yang biasanya 28 juta ton atau lebih, bisa berkurang di bawah 25 juta ton,” jelasnya.

Ia mengimbau pemerintah agar tidak kehilangan momentum ketika harga CPO dunia terus meroket, namun di sisi lain pemerintah justru menggunakan CPO untuk bahan bakar B40.

Imbas Kenaikan Harga CPO

Tauhid menjelaskan, kenaikan harga CPO dapat mempengaruhi harga produk turunannya seperti minyak goreng yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat.

“Domestik memang terpenuhi untuk biodiesel, tetapi karena harga CPO naik, harga produk turunan daripada CPO ikutan naik, termasuk minyak goreng, ini yang menyebabkan kenapa harga minyak goreng seperti Minyakita sekarang cenderung naik,” terang Tauhid.

Maka dari itu, INDEF menekankan agar pemerintah perlu melihat dampak yang ditimbulkan dari penggunaan CPO dalam B40 agar jangan sampai merugikan masyarakat.

“Jangan sampai pemerintah menghemat devisa tetapi kemudian rakyat menanggung kenaikan harga minyak goreng dalam hal ini inflasi, plus menanggung penerimaan negara yang berkurang. Apalagi pemerintah harus menanggung selisih harga untuk subsidi biodiesel itu sendiri, yang sebagian besar diterima oleh para pelaku usaha,” jelas Tauhid.

Program Ambisius

Penerapan B40 digadang-gadang sebagai kunci swasembada energi dan perwujudan komitmen Net Zero Emission pada 2060. Wakil Menteri ESDM, Yuliot, bahkan menyebut pelaksanaan B40 adalah langkah besar menuju pengurangan ketergantungan pada energi fosil impor.

Namun, target tersebut bukan tanpa tantangan. Kondisi geografis Indonesia yang begitu beragam dinilai menjadi hambatan serius dalam implementasi B40. Selain soal jarak, infrastruktur yang belum merata di beberapa wilayah juga menjadi kendala. Yuliot mengatakan pemerintah mencoba mengatasi hal itu dengan melibatkan berbagai badan usaha dan pelaku industri untuk memberikan masukan perihal strategi distribusi yang efektif dan efisien.

Salah satunya adalah Patra Niaga. Anak perusahaan Pertamina ini berfokus pada pengelolaan bisnis hilir minyak dan gas ke seluruh wilayah Indonesia sampai ke daerah terpencil. Pengalaman Patra Niaga dinilai mampu memberi solusi agar distribusi B40 merata sesuai target pemerintah.

“Kami mengharapkan masukan dari Pertamina Patra Niaga maupun badan usaha lain terkait tantangan implementasi B40. Misalnya, wilayah seperti Dumai yang relatif panas, atau daerah dataran tinggi dengan suhu lebih dingin, apakah ada impact yang perlu disiapkan baik oleh Pertamina maupun badan usaha BBM yang akan melaksanakan mandatori B40,” kata Yuliot, dikutip dari laman Kementerian ESDM, Selasa 14 Januari 2025.

Selain persoalan geografis, optimisme program B40 ini juga dihadapkan pada realitas industri. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Ernest Gunawan, mengatakan anggotanya belum dapat menandatangani kontrak distribusi biodiesel tanpa keputusan dari pemerintah.

Sementara itu, Kepala Riset Sunvin Group yang berbasis di Mumbai, Anilkumar Bagani, menilai sentimen pasar masih terombang-ambing melihat program B40. Belum lagi, harga minyak sawit dunia, yang sempat melonjak 20 persen sepanjang 2024, kembali fluktuatif pada awal tahun ini.

Pada 2 Januari 2025, misalnya, kontrak minyak sawit di Bursa Berjangka Malaysia turun 2,5 persen menjadi 4.336 ringgit per ton setelah sebelumnya sempat naik 1,8 persen.

“Masih ada hambatan bagi sentimen bullish karena pelaku pasar belum yakin dengan keberhasilan kebijakan biodiesel B40 Indonesia,” kata Bagani, dikutip dari Reuters. (*)