Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Trump Umumkan Tarif 25 Persen untuk Kanada dan Meksiko Mulai 1 Februari

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 21 January 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Trump Umumkan Tarif 25 Persen untuk Kanada dan Meksiko Mulai 1 Februari

KABARBURSA.COM - Presiden Amerika Serikat Donald Trump tidak membuang waktu setelah dilantik kembali sebagai pemimpin Amerika Serikat pada Senin, 20 Januari 2025. Di hari pertamanya di Gedung Putih, Trump langsung mengumumkan rencana menerapkan tarif impor sebesar 25 persen untuk Kanada dan Meksiko mulai 1 Februari. Meski begitu, ya bungkam soal rencana tarif untuk produk dari China.

Dalam sesi penandatanganan perintah eksekutif di Oval Office, Trump menyebut tarif impor sebagai langkah strategis untuk memperkuat ekonomi domestik. Meski dalam kampanyenya ia mengancam tarif hingga 60 persen untuk China, nada Trump tampak melunak setelah berdiskusi dengan Presiden China Xi Jinping pekan lalu.

"Kami akan mengadakan pertemuan dan panggilan telepon dengan Presiden Xi,” ujar Trump, dikutip dari AP di Jakarta, Selasa, 21 Januari 2025,

Namun, langkah agresif ini membawa pertanyaan besar, apakah tarif impor dan kebijakan eksekutif lainnya benar-benar mampu mengatasi inflasi dan menurunkan harga energi seperti yang dijanjikan Trump? Pasalnya, beban tarif biasanya berujung pada kenaikan harga barang bagi konsumen domestik, bukan negara eksportir.

Trump menuding inflasi yang melambung selama pemerintahan Joe Biden disebabkan oleh bantuan pandemi senilai USD1,9 triliun pada 2021 dan kebijakan pembatasan pengeboran minyak, meskipun data menunjukkan produksi minyak domestik tetap berada di level tertinggi.

“Krisis inflasi ini akibat pengeluaran besar-besaran yang tidak terkendali,” klaim Trump dalam pidato pelantikannya.

Dorong Energi dan Infrastruktur Domestik

[caption id="attachment_103948" align="alignnone" width="1200"] Ilustrasi Donald Trump. Foto: KEI SUGAE/The Observer.[/caption]

Trump menandatangani sejumlah perintah eksekutif yang membuka akses pengeboran minyak di Suaka Margasatwa Nasional Arktik di Alaska dan melonggarkan regulasi produksi minyak serta gas alam. Ia juga menetapkan keadaan darurat energi nasional, dengan harapan dapat meningkatkan produksi listrik domestik di tengah persaingan global dengan China, terutama dalam teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI).

Trump juga menginstruksikan agensi federal untuk meninjau cara-cara menekan biaya hidup, termasuk di sektor perumahan, kesehatan, makanan, energi, hingga peralatan rumah tangga. Salah satu langkah menarik lainnya adalah memberi waktu tambahan 75 hari bagi TikTok untuk mencari pembeli di Amerika Serikat, alih-alih langsung menutup operasinya.

Dalam pidatonya, Trump juga menegaskan bahwa tarif impor akan menjadi bagian utama dari kebijakan ekonominya. Ia bahkan menyatakan tarif tersebut akan membuat negaranya kaya raya. Namun, kritik datang dari berbagai pihak, termasuk pemerintah Kanada yang menyatakan kesiapan menghadapi segala kemungkinan perubahan hubungan dagang dengan Amerika.

Di sisi lain, Trump juga kembali menghidupkan isu lama yang kontroversial, yakni menarik Amerika Serikat dari Perjanjian Paris tentang perubahan iklim. Langkah ini, menurutnya, diperlukan untuk mengembalikan dominasi energi AS, meskipun ia juga mengeluhkan dampak bencana alam seperti kebakaran hutan di Los Angeles.

Meskipun energi memengaruhi harga di berbagai sektor, proporsi pengeluaran rata-rata rumah tangga untuk energi hanya sekitar 6 persen, jauh di bawah pengeluaran untuk makanan (13 persen) dan perumahan (37 persen). Namun, Trump bersikeras peningkatan produksi bahan bakar fosil domestik adalah kunci untuk menurunkan biaya hidup dan memperkuat keamanan nasional.

Dengan semua kebijakan yang diambil di hari pertama, Trump menunjukkan bahwa ia tidak hanya ingin menghapus warisan Biden, tetapi juga melangkah lebih jauh untuk mewujudkan visinya tentang era keemasan bagi Amerika Serikat.

Inflasi yang Kembali Menghantui

[caption id="attachment_114580" align="alignnone" width="1198"] Presiden Donald Trump mengangkat sebuah perintah eksekutif setelah menandatanganinya dalam acara parade pelantikan presiden yang digelar di dalam ruangan di Washington, Senin, 20 Januari 2025. (Foto: AP/Matt Rourke).[/caption]

Setelah lama terpendam, inflasi kembali menyeruak pada awal 2021 seiring dengan pemulihan ekonomi yang tak terduga pasca-penguncian akibat COVID-19. Lonjakan pesanan konsumen membuat rantai pasok Amerika Serikat kewalahan, memicu keterlambatan, kelangkaan, dan kenaikan harga. Pabrik-pabrik pembuat chip komputer, furnitur, dan produk lainnya di seluruh dunia kesulitan untuk bangkit kembali.

Anggota parlemen dari Partai Republik dengan cepat menuding bantuan pandemi senilai USD1,9 triliun dari pemerintahan Joe Biden sebagai penyebabnya. Namun, inflasi ternyata menjadi fenomena global yang dipicu oleh faktor di luar kebijakan Amerika Serikat. Situasi ini semakin diperburuk oleh invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, yang mendorong lonjakan harga energi dan pangan.

Sebagai tanggapan, Federal Reserve menaikkan suku bunga acuan sebanyak 11 kali sepanjang 2022 dan 2023. Langkah ini berhasil menurunkan inflasi dari puncaknya dalam empat dekade terakhir sebesar 9,1 persen pada pertengahan 2022. Namun, inflasi kembali naik sejak September, mencapai tingkat tahunan sebesar 2,9 persen pada Desember.

Meski begitu, pemilih tetap merasa tidak puas dengan penurunan inflasi tersebut. Mereka frustrasi karena harga barang masih 20 persen lebih tinggi dibanding empat tahun lalu, sementara rata-rata pendapatan mingguan tidak mampu mengimbanginya. Kenaikan harga bahan makanan –naik hingga 27 persen sejak Februari 2021– menjadi beban yang sangat terasa bagi banyak keluarga.

Setelah pidato pelantikannya, Donald Trump meremehkan pentingnya inflasi dalam pemilu 2024. Dalam pernyataan di Capitol, ia menyebut bahwa para pendukungnya lebih peduli dengan isu imigrasi karena pembicaraan soal harga sudah terlalu berulang. “Berapa kali kita bisa mengatakan bahwa harga sebuah apel sudah dua kali lipat?” kata Trump.(*)