KABARBURSA.COM - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan akan ditopang oleh sektor jasa, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, perdagangan, serta pariwisata domestik. Ekonom Arianto Muditono menjelaskan, hal itu dapat terjadi jika didukung oleh pemulihan mobilitas masyarakat.
Tidak hanya itu, di tengah berbagai tantangan global, potensi ekonomi hijau dan digitalisasi juga dipandang memiliki peran besar dalam meningkatkan pertumbuhan.
“Ekonomi hijau dan digitalisasi memiliki potensi besar untuk meningkatkan pertumbuhan melalui investasi energi terbarukan, penciptaan lapangan kerja ramah lingkungan, serta efisiensi dan inklusi ekonomi yang ditingkatkan oleh transformasi digital. Untuk diketahui, insentif terhadap ekonomi hijau dan EBT pada sektor investasi, saat ini cukup signifikan,” kata Arianto kepada Kabarbursa.com saat dihubungi melalui telepon di Jakarta, Selasa, 21 Januari 2025.
Walau begitu, proyeksi ini tidak terlepas dari risiko perlambatan konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor.
“Konsumsi rumah tangga tetap menjadi motor penggerak utama, tetapi pertumbuhannya terbatas oleh daya beli yang melemah. Investasi juga tumbuh moderat, sementara ekspor dipengaruhi oleh melemahnya permintaan global dan fluktuasi harga komoditas,” jelas Arianto.
IMF dan Bank Dunia juga telah memberikan proyeksi terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025. Menurut kedua lembaga tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sedikit di bawah rata-rata lima tahun terakhir yang berkisar antara 5,2 persen hingga 5,3 persen.
Dalam laporan World Economic Outlook edisi Januari 2025, IMF memproyeksikan ekonomi global tumbuh stabil di angka 3,3 persen, sementara Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan global berada di angka 2,7 persen.
Proyeksi pertumbuhan yang hanya berada di kisaran 5,1 persen untuk Indonesia ini menimbulkan risiko ketimpangan ekonomi yang lebih tinggi.
“Risiko ketimpangan ekonomi meningkat karena pertumbuhan yang lambat biasanya lebih menguntungkan kelompok ekonomi atas. Sementara, kelompok ekonomi bawah menghadapi tekanan daya beli yang lebih besar dan terbatasnya akses ke peluang ekonomi baru,” ujar Arianto.
Selain tantangan global, kebijakan domestik dinilai belum cukup memberikan kontribusi signifikan untuk mendorong percepatan pertumbuhan. Ketegangan geopolitik, proteksionisme, dan perlambatan ekonomi di negara maju juga menjadi faktor eksternal yang memengaruhi kinerja ekonomi nasional.
Seperti diberitakan Kabarbursa.com, terkait tantangan global ini, Arianto menyoroti perlunya implementasi yang lebih optimal dari kebijakan strategis seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan reformasi birokrasi.
“Kebijakan domestik, di antaranya implementasi UU Cipta Kerja yang belum sepenuhnya optimal, lambatnya reformasi birokrasi, serta terbatasnya investasi di sektor infrastruktur hijau, dinilai kurang memberikan dorongan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Arianto.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah ini memiliki implikasi serius terhadap lapangan kerja dan daya beli masyarakat. Menurut Arianto, pertumbuhan yang stagnan akan membatasi penciptaan lapangan kerja baru, terutama di sektor formal.
“Proyeksi ini mengindikasikan penciptaan lapangan kerja yang terbatas, sehingga tingkat pengangguran berpotensi tetap tinggi, terutama di sektor formal yang membutuhkan pertumbuhan ekonomi lebih kuat untuk menyerap tenaga kerja baru,” jelasnya.
Selain itu, daya beli masyarakat juga diperkirakan tidak mengalami peningkatan signifikan.
“Daya beli masyarakat cenderung stagnan atau menurun karena inflasi yang tetap tinggi, sementara pertumbuhan pendapatan riil belum cukup signifikan untuk mendorong konsumsi rumah tangga secara kuat,” tambahnya.
Bank Dunia juga mencatat bahwa ancaman kebijakan tarif tinggi oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump turut menjadi salah satu risiko yang diperhitungkan.
Dalam simulasi makroekonomi, kenaikan tarif sebesar 10 persen pada semua mitra dagang Amerika Serikat diperkirakan dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,2 persen. Jika terjadi pembalasan tarif oleh mitra dagang, dampak negatifnya akan semakin meningkat.
“Dampak-dampak ini dapat semakin meningkat jika peningkatan proteksionisme perdagangan global disertai dengan ketidakpastian kebijakan yang meningkat,” tulis Bank Dunia dalam laporan Global Economic Prospects (GEP) Januari 2025.
Meski demikian, Bank Dunia tidak mempublikasikan secara spesifik dampaknya terhadap Indonesia.
Jadi, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi kuat oleh sektor-sektor seperti jasa, terutama teknologi informasi dan komunikasi, perdagangan, serta pariwisata domestik, yang akan didukung oleh pemulihan mobilitas masyarakat.
Ekonomi hijau dan digitalisasi juga berpotensi meningkatkan pertumbuhan lewat investasi energi terbarukan, penciptaan lapangan kerja ramah lingkungan, serta efisiensi ekonomi.
Namun, proyeksi ini juga dihadapkan pada tantangan besar, termasuk perlambatan konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor. Meningkatnya risiko ketimpangan ekonomi akibat pertumbuhan yang lambat dapat memperburuk tekanan terhadap kelompok ekonomi bawah.
Selain tantangan global, kebijakan domestik, khususnya implementasi Undang-Undang Cipta Kerja dan reformasi birokrasi yang belum optimal, dianggap kurang mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi. Ketegangan geopolitik, proteksionisme, dan perlambatan ekonomi di negara maju juga memperburuk proyeksi.
Pertumbuhan yang stagnan berpotensi membatasi penciptaan lapangan kerja dan menjaga daya beli masyarakat tetap rendah, dengan inflasi yang tinggi dan pertumbuhan pendapatan riil yang terbatas.
Kebijakan perdagangan internasional yang ketat, seperti tarif tinggi dari Amerika Serikat, dapat memberikan dampak negatif yang lebih luas terhadap ekonomi global, termasuk Indonesia.(*)