KABARBURSA.COM - Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 5,1 persen, angka yang mencerminkan stagnasi dibandingkan beberapa tahun terakhir.
Menanggapi ini, ekonom Arianto Muditomo, menyoroti beberapa hal yang menjadi penyebab stagnannya pertumbuhan ekonomi RI. Mulai dari perlambatan ekonomi global, ketidakpastian geopolitik, serta penurunan permintaan ekspor dari mitra dagang utama seperti China dan Amerika Serikat.
Dihubungi melalui sambungan telepon pada Senin, 20 Januari 2025, Arianto menjelaskan salah satu penyebab utama perlambatan adalah penurunan harga komoditas unggulan Indonesia, seperti batu bara, minyak sawit, dan karet.
Sebagai negara yang sangat bergantung pada ekspor komoditas, pelemahan harga ini berdampak signifikan terhadap pendapatan negara dan keseimbangan neraca perdagangan.
“Selain itu, normalisasi kebijakan moneter di negara maju dan ketegangan geopolitik ikut mempengaruhi rantai pasok global serta mengurangi aliran investasi asing ke negara berkembang, seperti Indonesia,” kata dia kepada Kabarbursa.com.
IMF dan Bank Dunia telah memberikan proyeksi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025. Disebutkan, pertumbuhan ekonomi RI berada sedikit di bawah rata-rata lima tahun terakhir, yang berkisar antara 5,2 persen hingga 5,3 persen.
“ Rata-rata ini mencerminkan tantangan ekonomi global yang lebih berat pada 2025,” ungkap Arianto.
Sementara itu, laporan terbaru World Economic Outlook edisi Januari 2025 dari IMF memperkirakan ekonomi global akan tumbuh stabil di angka 3,3 persen, sedangkan Bank Dunia memberikan proyeksi yang lebih rendah, di angka 2,7 persen.
Proyeksi ini mencerminkan dampak berkelanjutan dari ketegangan geopolitik, kebijakan proteksionisme, dan perlambatan ekonomi di negara maju.
Selain tantangan global, kebijakan domestik juga dinilai belum cukup memberikan kontribusi signifikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Terkait ini, Arianto menyoroti perlunya implementasi yang lebih optimal dari kebijakan strategis seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan reformasi birokrasi.
“Kebijakan domestik, di antaranya implementasi UU Cipta Kerja yang belum sepenuhnya optimal, lambatnya reformasi birokrasi, serta terbatasnya investasi di sektor infrastruktur hijau, dinilai kurang memberikan dorongan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Arianto.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah ini memiliki implikasi serius terhadap lapangan kerja dan daya beli masyarakat. Menurut Arianto, pertumbuhan yang stagnan akan membatasi penciptaan lapangan kerja baru, terutama di sektor formal.
“Proyeksi ini mengindikasikan penciptaan lapangan kerja yang terbatas, sehingga tingkat pengangguran berpotensi tetap tinggi, terutama di sektor formal yang membutuhkan pertumbuhan ekonomi lebih kuat untuk menyerap tenaga kerja baru,” jelasnya.
Selain itu, daya beli masyarakat juga diperkirakan tidak mengalami peningkatan signifikan.
“Daya beli masyarakat cenderung stagnan atau menurun karena inflasi yang tetap tinggi, sementara pertumbuhan pendapatan riil belum cukup signifikan untuk mendorong konsumsi rumah tangga secara kuat,” tambahnya.
Bank Dunia juga mencatat bahwa ancaman kebijakan tarif tinggi oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump turut menjadi salah satu risiko yang diperhitungkan.
Dalam simulasi makroekonomi, kenaikan tarif sebesar 10 persen pada semua mitra dagang Amerika Serikat diperkirakan dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,2 persen. Jika terjadi pembalasan tarif oleh mitra dagang, dampak negatifnya akan semakin meningkat.
“Dampak-dampak ini dapat semakin meningkat jika peningkatan proteksionisme perdagangan global disertai dengan ketidakpastian kebijakan yang meningkat,” tulis Bank Dunia dalam laporan Global Economic Prospects (GEP) Januari 2025. Meski demikian, Bank Dunia tidak mempublikasikan secara spesifik dampaknya terhadap Indonesia.
Dengan menggunakan model makroekonomi global, Bank Dunia mencoba mengkalibrasi dampak potensial dari kebijakan proteksionisme ini terhadap perekonomian dunia.
Dalam simulasi tersebut, hasil menunjukkan bahwa jika AS menaikkan tarif impor sebesar 10 poin persentase terhadap semua mitra dagangnya pada tahun 2025 tanpa adanya tindakan balasan, pertumbuhan ekonomi global akan tertekan hingga 0,2 poin persentase.
Untuk negara-negara berkembang, termasuk pasar negara berkembang (EMDE), efek dari kebijakan ini akan lebih terasa, dengan penurunan pertumbuhan sekitar 0,1 persen untuk setiap kenaikan tarif 10 persen.
Namun, dampak negatif ini akan menjadi lebih parah jika negara-negara mitra dagang AS memutuskan untuk memberlakukan tarif balasan secara proporsional. Dalam skenario tersebut, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan tertekan hingga 0,3 persen, sementara pertumbuhan di negara-negara berkembang akan melambat hingga 0,2 persen dibandingkan skenario baseline.
Bank Dunia juga menyoroti bahwa peningkatan proteksionisme perdagangan global berpotensi menciptakan ketidakpastian kebijakan yang semakin besar, yang pada akhirnya dapat memperburuk dampak terhadap perekonomian.
Meskipun Bank Dunia tidak merinci dampak spesifik terhadap Indonesia dari kebijakan ini, indikasi penurunan pertumbuhan global dapat menjadi sinyal risiko bagi perekonomian nasional. Proyeksi ini selaras dengan pandangan Bank Indonesia, yang baru saja merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025.
Dari prediksi awal sebesar 5,2 persen, Bank Indonesia kini memperkirakan pertumbuhan hanya akan mencapai 5,1 persen, mencerminkan tekanan eksternal yang mungkin dihadapi oleh Indonesia akibat perlambatan perdagangan global.
Kondisi ini mencerminkan tantangan besar yang mungkin dihadapi oleh negara-negara berkembang dalam menjaga stabilitas ekonomi di tengah dinamika kebijakan global. Proteksionisme tidak hanya membatasi arus perdagangan internasional tetapi juga menimbulkan ketidakpastian yang berpotensi menghambat investasi.
Indonesia, sebagai bagian dari perekonomian dunia yang saling terhubung, perlu menyiapkan langkah antisipatif untuk menjaga daya saing dan ketahanan ekonomi, termasuk diversifikasi pasar ekspor dan penguatan sektor domestik. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi oleh kebijakan proteksionisme, adaptasi dan inovasi menjadi kunci untuk tetap bertahan dan berkembang.(*)