KABARBURSA.COM - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memberikan respons terkait Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 2 Tahun 2025 yang memperketat kebijakan ekspor produk turunan kelapa sawit.
Adapun beberapa produk turunan kelapa sawit yang dimaksud Permendag Nomor 2 Tahun 2025 yakni, limbah pabrik kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent atau POME), residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue atau HAPOR), dan minyak jelantah (Used Cooking Oil atau UCO).
Menurut Ketua Umum GAPKI Eddy Martono, pihaknya tidak begitu mempermasalahkan terbitnya aturan baru tersebut.
"GAPKI tidak ada masalah, karena para anggota GAPKI tidak ada yang mengekspor limbah tersebut," ujar Eddy saat dihubungi Kabarbursa.com, Jumat 17 Januari 2025.
Eddy mengatakan, terbitnya Permendag Nomor 2 Tahun 2025 dikarenakan faktor peningkatan ekspor limbah kelapa sawit yang signifikan, sehingga menyebabkan kecurigaan dari pemerintah.
"Ini yang diperketat adalah POME, UCO dan HAPOR karena terjadi peningkatan ekspor yang signifikan. Dicurigai ini (yang diekspor) tidak murni limbah, oleh karena itu pemerintah memperketat ini," jelasnya.
Selain itu menurut pandangan GAPKI, terbitnya Permendag tersebut lantaran adanya beberapa perbedaan tarif yang cukup besar antara ekspor minyak kelapa sawit dan limbah kelapa sawit.
"Pemerintah memperketat ini juga karena ada perbedaan tarif yg cukup besar. Pertama Bea Keluar (BK) untuk CPO (Crude Palm Oil) itu USD178 dan untuk Pungutan Ekspor (PE/Levy) USD80, totalnya USD258," sebut Eddy.
Sementara untuk BK kategori limbah (POME) sebesar USD12 dan Pungutan Ekspor sebesar USD80. Sehingga jika dijumlahkan nilainya USD92.
Lebih lanjut, Eddy menilai bahwa adanya Permendag Nomor 2 Tahun 2025 tidak akan berdampak signifikan bagi para pelaku ekspor CPO di Indonesia. Sebab limbah tersebut dapat diolah kembali menjadi produk yang memiliki manfaat.
"Dampak terhadap sektor usaha minyak kelapa sawit seharusnya tidak terlalu besar, karena POME bisa digunakan untuk pupuk organik dan UCO maupun HAPOR bisa digunakan untuk biodiesel," pungkasnya.
Permendag Nomor 2 Tahun 2025 mengatur tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 26 Tahun 2024 tentang Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit.
Peraturan yang mulai berlaku sejak 8 Januari 2025 ini, mulai disosialisasikan per 14 Januari lalu di Bekasi, Jawa Barat, kepada para pemangku kepentingan sektor produk kelapa sawit dan turunannya.
Adapun terbitnya Permendag Nomor 2 Tahun 2025 bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri minyak goreng. Hal ini untuk mendukung pelaksanaan program minyak goreng rakyat.
Di samping itu, aturan tersebut juga untuk mendukung implementasi penerapan BBM B40 atau biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen.
“Berdasarkan Permendag ini, kebijakan ekspor UCO dan residu dibahas dan disepakati dalam rapat koordinasi (rakor) yang dipimpin Kementerian Koordinator Bidang Pangan. Pembahasan pada rakor ini termasuk ada tidaknya alokasi ekspor yang menjadi persyaratan untuk mendapat Persetujuan
Ekspor (PE),” ujar Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Isy Karim, dalam keterangan resmi yang dikutip, Kamis 16 Januari 2025.
Menurut Isy, pengambilan kesepakatan dalam rakor tersebut guna dapat mengekspor UCO dan residu kelapa sawit lainnya didasari beberapa faktor.
Mulai dari kebijakan lain yang membatasi ekspor UCO dan residu seperti pengenaan bea keluar yang akan diberlakukan, penyesuaian angka konversi hak ekspor hasil dari Domestic Market Obligation (DMO), angka produksi dan konsumsi dalam negeri dari UCO dan residu, serta hak ekspor UCO dan residu yang dimiliki oleh eksportir.
“Di luar itu, bagi para eksportir yang memiliki PE UCO dan PE residu yang telah diterbitkan
berdasarkan Permendag sebelumnya, tetap dapat melaksanakan ekspor. PE-nya masih berlaku sampai masa berlakunya berakhir,” jelas Isy.
Sementara itu, Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kemendag Farid Amir, menyatakan terbitnya Permendag Nomor 2 Tahun 2025 juga didasari pada pertumbuhan permintaan POME, HAPOR, dan UCO akibat implementasi kebijakan Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA) oleh International Civil Aviation Organization (ICAO).
Alasan lainnya, Permendag tersebut juga didasarkan pada maraknya modus pencampuran minyak saiwt dengan POME dan HAPOR asli, serta praktik pengolahan buah dari Tandan Buah Segar (TBS) yang dibusukkan langsung menjadi POME dan HAPOR.
“Perubahan Permendag mencakup perubahan syarat dan tata cara untuk mendapatkan PE UCO dan residu. Berdasarkan Permendag 2/2025, PE diterbitkan dengan kewajiban melengkapi syarat alokasi jika disepakati dalam rakor,” jelas Farid.
Lebih lanjut Farid berharap, kerja sama eksportir dan asosiasi untuk menyampaikan data yang mendukung kebijakan ekspor produk CPO serta turunannya.
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.