KABARBURSA.COM – Ekonom senior Indef, Tauhid Ahmad, menilai kebijakan pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) ke dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran akibat ketidaktepatan sasaran penerima bantuan.
"Pada tahap awal, pasti akan ada over atau kelebihan subsidi, karena proses pengurangan penerima subsidi itu tidak mudah dan harus dilakukan secara bertahap. Di awal, pengalihan subsidi ini akan menciptakan pemborosan, tetapi jika data penerima sudah diperbaiki dan verifikasi lapangan dilakukan dengan benar, kemungkinan pemborosan bisa diminimalisasi," ujar Tauhid kepada Kabarbursa.com, Sabtu, 18 Januari 2024.
Tauhid menambahkan bahwa data yang digunakan untuk menentukan penerima subsidi saat ini masih memiliki banyak kelemahan, salah satunya adalah tidak terintegrasinya data kesejahteraan sosial yang dinamis.
Salah satu tantangan utama dalam implementasi skema ini, lanjut Tauhid, adalah potensi terjadinya inclusion dan exclusion error. Di mana beberapa masyarakat yang seharusnya menerima subsidi bisa saja terlewatkan, sementara yang tidak berhak malah menerima bantuan. Hal ini disebabkan oleh ketidaktepatan data yang digunakan untuk mengidentifikasi siapa yang berhak mendapatkan subsidi atau BLT.
"Misalnya, bagi mereka yang sebelumnya sangat bergantung pada subsidi BBM seperti solar dan pertalite, perubahan ini mungkin akan mempengaruhi pola konsumsi mereka. Pada awalnya, ini mungkin akan memicu inflasi di beberapa sektor, terutama transportasi. Namun, seiring berjalannya waktu, dampak ini akan mulai normal," jelasnya.
Tauhid juga menyebutkan bahwa pemberian BLT yang tidak tepat sasaran berisiko memperburuk daya beli masyarakat. Jika penerima BLT tidak sesuai dengan kebutuhan atau tidak mampu mengimbangi kenaikan biaya yang timbul akibat pengurangan subsidi, maka dampak dari kebijakan ini bisa menjadi lebih buruk.
"Jika BLT diberikan pada orang yang tepat, dampaknya bisa lebih terkendali, namun jika penerima tidak sesuai dengan sasaran, maka ini justru berpotensi memperburuk daya beli masyarakat," tambahnya.
Meski terdapat potensi dampak negatif jangka pendek, Tauhid optimistis bahwa dengan evaluasi dan verifikasi yang lebih baik, kebijakan ini bisa lebih efisien dalam jangka panjang. Salah satu langkah penting yang harus dilakukan adalah perbaikan data penerima subsidi yang terus diperbarui agar kebijakan ini benar-benar bisa mencapai sasaran yang tepat.
"Ke depan, dengan data yang lebih terintegrasi dan akurat, kita harapkan kebijakan ini bisa lebih efektif dan efisien, serta mengurangi pemborosan anggaran yang selama ini terjadi," tutup Tauhid.
Direktur Eksekutif for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, menilai skema blending subsidi ke dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) dapat memengaruhi perekonomian negara baik dari sisi inflasi maupun ketimpangan sosial.
“Konsekuensi kalau pemerintah menaikkan harga BBM dan semua orang harus membayar dengan harga pasar sehingga dikhawatirkan menciptakan inflasi, nah kalau inflasi itu kebutuhan pokoknya bisa berdampak pada harga kebutuhan pokok, jika harga kebutuhan pokoknya naik,” kata Fabby kepada Kabarbursa.com, di Jakarta, Kamis 16 Januari 2025.
Menurutnya, meskipun kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi ketidaktepatan sasaran dalam penyaluran subsidi, langkah pemerintah dalam mengimplementasikan rencana blending subsidi akan menciptakan ketimpangan bagi masyarakat yang tidak terdaftar sebagai penerima BLT.
Lanjutnya, Fabby mendesak pemerintah untuk lebih transparan dalam mendefinisikan siapa saja yang berhak menerima subsidi BBM, terutama bagi sektor-sektor transportasi umum seperti pengemudi ojek online (ojol) yang banyak bergantung pada BBM subsidi untuk operasionalnya.
“Penting untuk mendata dengan baik siapa saja yang berhak menerima subsidi BBM. Misalnya, pengemudi ojek online yang mengandalkan BBM subsidi untuk mengurangi biaya operasional. Pemerintah perlu memastikan pengemudi seperti ini tidak terabaikan,” tambah Fabby.
Selain itu, Fabby menilai bahwa distribusi subsidi yang lebih tepat sasaran dapat menghindari efek domino yang bisa memperburuk daya beli masyarakat secara keseluruhan. Ia juga memperingatkan bahwa jika subsidi tidak dikelola dengan baik, ketimpangan sosial bisa semakin meningkat.
“Penting untuk memastikan bahwa subsidi itu sampai kepada yang berhak, tanpa menciptakan distorsi atau ketimpangan. BLT memang bisa membantu masyarakat miskin, namun jika terlalu banyak kelompok yang belum terdata dengan baik, kebijakan ini justru bisa menambah beban mereka yang sudah berada di posisi rentan,” ungkap Fabby.
Fabby juga mengatakan bahwa kebijakan subsidi BBM harus dipertimbangkan dengan hati-hati untuk mencegah inflasi yang bisa membebani ekonomi masyarakat. Ia menyarankan pemerintah untuk melakukan evaluasi yang mendalam mengenai dampak jangka panjang dari kebijakan ini, termasuk analisis terhadap efeknya pada sektor transportasi, harga barang, dan daya beli masyarakat.
“Langkah-langkah mitigasi perlu diperkuat untuk menghindari lonjakan inflasi yang dapat menambah tekanan pada perekonomian. Semua kebijakan ini harus dilakukan dengan perhitungan matang,” tambah Fabby.
Dengan berbagai tantangan yang ada, Fabby mengingatkan bahwa kebijakan subsidi harus benar-benar dirancang untuk memberi manfaat maksimal bagi masyarakat yang paling membutuhkan, tanpa menambah beban bagi sektor-sektor ekonomi lainnya yang turut terdampak.
“Pemerintah harus cermat dalam menyusun kebijakan, karena dampaknya bisa luas. Yang penting adalah memastikan subsidi tepat sasaran dan tidak menambah beban pada mereka yang sudah rentan,” tutup Fabby. (*)