KABARBURSA.COM - Direktur Eksekutif for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, menilai skema blending subsidi ke dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) dapat memengaruhi perekonomian negara baik dari sisi inflasi maupun ketimpangan sosial.
"Konsekuensi kalau pemerintah menaikkan harga BBM dan semua orang harus membayar dengan harga pasar sehingga dikhawatirkan menciptakan inflasi, nah kalau inflasi itu kebutuhan pokoknya bisa berdampak pada harga kebutuhan pokok, jika harga kebutuhan pokoknya naik," kata Fabby kepada Kabarbursa.com, di Jakarta, Kamis 16 Januari 2025.
Menurutnya, meskipun kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi ketidaktepatan sasaran dalam penyaluran subsidi, langkah pemerintah dalam mengimplementasikan rencana blending subsidi akan menciptakan ketimpangan bagi masyarakat yang tidak terdaftar sebagai penerima BLT.
Lanjutnya, Fabby mendesak pemerintah untuk lebih transparan dalam mendefinisikan siapa saja yang berhak menerima subsidi BBM, terutama bagi sektor-sektor transportasi umum seperti pengemudi ojek online (ojol) yang banyak bergantung pada BBM subsidi untuk operasionalnya.
"Penting untuk mendata dengan baik siapa saja yang berhak menerima subsidi BBM. Misalnya, pengemudi ojek online yang mengandalkan BBM subsidi untuk mengurangi biaya operasional. Pemerintah perlu memastikan pengemudi seperti ini tidak terabaikan,” tambah Fabby.
Selain itu, Fabby menilai bahwa distribusi subsidi yang lebih tepat sasaran dapat menghindari efek domino yang bisa memperburuk daya beli masyarakat secara keseluruhan. Ia juga memperingatkan bahwa jika subsidi tidak dikelola dengan baik, ketimpangan sosial bisa semakin meningkat.
“Penting untuk memastikan bahwa subsidi itu sampai kepada yang berhak, tanpa menciptakan distorsi atau ketimpangan. BLT memang bisa membantu masyarakat miskin, namun jika terlalu banyak kelompok yang belum terdata dengan baik, kebijakan ini justru bisa menambah beban mereka yang sudah berada di posisi rentan,” ungkap Fabby.
Fabby juga mengatakan bahwa kebijakan subsidi BBM harus dipertimbangkan dengan hati-hati untuk mencegah inflasi yang bisa membebani ekonomi masyarakat. Ia menyarankan pemerintah untuk melakukan evaluasi yang mendalam mengenai dampak jangka panjang dari kebijakan ini, termasuk analisis terhadap efeknya pada sektor transportasi, harga barang, dan daya beli masyarakat.
“Langkah-langkah mitigasi perlu diperkuat untuk menghindari lonjakan inflasi yang dapat menambah tekanan pada perekonomian. Semua kebijakan ini harus dilakukan dengan perhitungan matang,” tambah Fabby.
Dengan berbagai tantangan yang ada, Fabby mengingatkan bahwa kebijakan subsidi harus benar-benar dirancang untuk memberi manfaat maksimal bagi masyarakat yang paling membutuhkan, tanpa menambah beban bagi sektor-sektor ekonomi lainnya yang turut terdampak.
“Pemerintah harus cermat dalam menyusun kebijakan, karena dampaknya bisa luas. Yang penting adalah memastikan subsidi tepat sasaran dan tidak menambah beban pada mereka yang sudah rentan,” tutup Fabby.
Selain itu, Fabby memberikan pandangan mengenai penerapan kebijakan tersebut, khususnya dampak terhadap pengemudi ojek online (ojol).
Fabby menilai bahwa pengemudi ojek daring, terutama mereka yang menggunakan sepeda motor, seharusnya juga menjadi bagian dari kelompok yang berhak menerima subsidi tersebut. Meskipun kendaraan mereka umumnya milik pribadi, ojek daring berfungsi sebagai transportasi publik dan para pengemudinya bergantung pada subsidi BBM untuk kelangsungan profesinya.
“Pengemudi ojek daring, meskipun menggunakan motor pribadi, mereka tetap merupakan tenaga kerja penting dalam sektor transportasi publik. Dengan harga BBM yang naik, biaya operasional mereka tentu akan meningkat. Ini berdampak pada pendapatan mereka, kecuali jika harga transportasi dinaikkan, yang pada gilirannya akan memberatkan masyarakat,” ujar Fabby kepada Kabarbursa.com, Rabu, 15 Januari 2025.
Menurut Fabby, pemerintah harus segera membuat keputusan tegas terkait siapa yang berhak menerima subsidi BBM, dengan memasukkan kriteria yang jelas. Ia mengusulkan agar pengemudi ojek daring dapat terdaftar dalam sistem, menggunakan data yang sudah tersedia, misalnya, database yang dimiliki oleh perusahaan ojek online dan data kemiskinan dari Kementerian Sosial.
“Pemerintah bisa bekerja sama dengan perusahaan transportasi daring untuk mendapatkan data pengemudi yang valid. Dengan data ini, sistem kuota yang berbasis nama dan alamat bisa diterapkan. Jika kuota diterapkan dengan cara yang tepat, maka subsidi akan lebih tepat sasaran dan lebih mudah dipantau,” jelas Fabby.
Adapun Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengklaim pendataan penerima subsidi BBM sudah mencapai 98 persen, meningkat 8 persen sejak pekan terakhir Desember 2024.
Bahlil menyampaikan, data penerima subsidi tersebut bersumber dari data Kementerian Sosial, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, PT Pertamina (Persero), dan stakeholders kepentingan lainnya. Selain itu, pemerintah menyinkronkan data tersebut melalui Badan Pusat Statistik (BPS).
“Sekarang datanya semua dikumpulkan ke satu pintu melalui BPS,” ujar Bahlil di Kantor Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Jakarta, Selasa, 7 Januari 2025.
Sementara itu, Fabby pun menyarankan agar kuota subsidi BBM diberikan secara fleksibel, disesuaikan dengan konsumsi rata-rata pengemudi setelah dilakukan uji coba. Hal ini diharapkan dapat menghindari kesulitan dalam penerapan kebijakan dan memastikan subsidi tetap efektif. (*)