KABARBURSA.COM - Indonesia menghadapi perubahan besar dalam struktur tenaga kerja dari formal ke non-formal seperti yang terjadi kepada ojek online (ojol). Hal ini dianggap ayymemengaruhi arah kebijakan ekonomi.
Meskipun terlihat ada pergeseran dari sektor informal ke sektor formal, kenyataannya masalah struktural tetap ada, dan ini menjadi tantangan utama bagi upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Hal itu disampaikan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Muliadi Widjaja dalam diskusi publik yang diselenggarakan IKAL Strategic Centre (ISC) secara hybrid, Selasa 14 Januari 2025.
Muliadi menilai, pergeseran dari sektor informal ke sektor formal menjadi tanda positif, meski belum sepenuhnya menggambarkan perbaikan struktur pekerjaan yang sesungguhnya.
“Dulu, sekitar 60 persen bekerja di sektor informal, sekarang angka itu sudah turun menjadi 40 persen, sementara sektor formal meningkat menjadi 55 persen,” jelas Muliadi.
Sekadar informasi, pada 2024, jumlah tenaga kerja Indonesia diperkirakan mencapai 149,4 juta jiwa atau sekitar 51-52 persen dari total populasi.
Dari angka tersebut, 55 persen bekerja di sektor formal, sementara 40 persen masih berada di sektor informal, dan 5 persen menganggur. Pergeseran signifikan terlihat dalam lima tahun terakhir, di mana sektor informal mengalami penurunan yang cukup tajam, sementara sektor formal meningkat.
Muliadi mengingatkan bahwa pergeseran ini tidak berarti pekerjaan di sektor formal sudah sepenuhnya berkembang. Menurutnya banyak pekerja yang sebelumnya bekerja di sektor informal, seperti pengemudi ojek online telah dianggap sebagai pekerja sektor formal.
“Sekarang dengan adanya Gojek dan Grab, pekerja yang dulunya di sektor informal sekarang masuk ke sektor formal, tapi sebenarnya struktur pekerjaannya tidak berubah,” tegas Muliadi.
Pekerjaan Tetap Informal
Meski sudah terlihat ada kemajuan, pergeseran status sektor ini tidak cukup untuk meningkatkan produktivitas secara signifikan. Pekerja di sektor formal tersebut tetap terjebak dalam pola kerja yang kurang produktif dan tidak stabil, seperti yang terlihat pada pengemudi ojek online yang masih memiliki pekerjaan yang tidak berbeda dengan status mereka sebelumnya.
Pergeseran ini bukan hanya soal statistik, tetapi juga soal kualitas pekerjaan yang harus lebih diperhatikan agar bisa berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Dia memberikan contoh bahwa dengan hadirnya Gojek dan Grab, pekerja yang sebelumnya dianggap bekerja di sektor informal kini telah masuk ke sektor formal. Namun, pada kenyataannya, struktur pekerjaan mereka tidak mengalami perubahan.
“Tetap jasa antar juga kan gitu. Cuma dulu mereka tidak pakai seragam, sekarang pakai seragam. Jadi meskipun ada pergeseran dari bekerja di sektor informal ke sektor formal tapi struktur produksinya itu tidak berubah,” ungkap dia
Menurut Muliadi, meskipun ada pergeseran ke sektor formal, Indonesia masih harus memperbaiki banyak hal untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, salah satunya adalah meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam sektor tenaga kerja.
“Indonesia perlu bekerja keras untuk meningkatkan produktivitas dan memperbaiki struktur ekonomi kita. Kalau tidak, target pertumbuhan 8 persen akan tetap menjadi impian,” tegasnya.
Investasi Jadi Kunci
Sebelumnya, Wakil Rektor Universitas Paramadina Handi Risza Idris, menyoroti tantangan besar di balik target ambisius ini, terutama terkait investasi sebagai kunci utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Menurut Handi, investasi tidak hanya menjadi sumber daya penting dalam meningkatkan permintaan agregat dan pendapatan nasional, tetapi juga menjadi faktor kritis untuk mendorong produktivitas melalui ekspansi kapasitas produksi dan penciptaan lapangan kerja.
Pengeluaran pada barang modal, seperti mesin-mesin baru atau pembangunan infrastruktur, merupakan langkah strategis yang dapat memperbesar kapasitas ekonomi dan memastikan daya saing di tingkat global.
Namun, potret ekonomi Indonesia menunjukkan sejumlah tantangan struktural yang perlu segera diatasi. Salah satu persoalan mendasar adalah kontribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), yang merupakan indikator utama investasi dalam sektor riil, masih tertinggal dibanding konsumsi rumah tangga.
Pada 2023, kontribusi PMTB terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berada di angka 29 persen, mencerminkan pertumbuhan investasi sebesar 5,15 persen. Angka ini jauh dari cukup untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Tren penurunan kontribusi investasi terhadap PDB telah terjadi sejak 2015, di mana angka tertinggi yang pernah dicapai adalah 32,81 persen. Kini, angkanya turun menjadi 29,33 persen, sejalan dengan stagnansi kontribusi sektor manufaktur yang berada di kisaran 18-19 persen.
Stagnansi ini menggarisbawahi perlunya upaya nyata untuk menghidupkan kembali daya tarik investasi, memperkuat sektor manufaktur, dan mendorong diversifikasi ekonomi.
Handi menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan investasi yang sangat besar untuk memenuhi ambisi tersebut. Dalam lima tahun ke depan, diperlukan suntikan dana sebesar Rp13.528 triliun, di mana setidaknya 30 persen dari jumlah ini harus berasal dari investasi langsung.
Hal ini hanya akan mungkin tercapai jika pemerintah mampu meningkatkan kualitas iklim investasi secara menyeluruh. Transparansi birokrasi, pelayanan publik yang proaktif, serta penguatan kualitas sumber daya manusia merupakan elemen fundamental untuk memastikan lingkungan yang kondusif bagi investasi, baik domestik maupun asing.
Lebih jauh, indikator efisiensi investasi atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) juga menjadi perhatian penting. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, rasio ICOR harus diturunkan ke kisaran 3 hingga 4. Ini memerlukan strategi peningkatan produktivitas melalui adopsi teknologi modern, inovasi berkelanjutan, dan fokus pada riset serta pengembangan yang mendalam.
Dengan penguatan kualitas sumber daya manusia dan teknologi sebagai tulang punggung, Indonesia dapat mendorong produktivitas total sebagai fondasi pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.
Rencana besar ini, meski penuh tantangan, memberikan peluang bagi Indonesia untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Namun, tanpa implementasi kebijakan yang tepat dan konsisten, cita-cita tersebut dapat dengan mudah berubah menjadi sekadar retorika belaka. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.