KABARBURSA.COM - Pengamat peternakan dari Universitas Padjajaran, Rochadi Tawaf, menilai tantangan utama kebijakan impor sapi adalah penerapan kemitraan yang adil antara perusahaan besar dan peternak lokal. Ia mengingatkan bahwa setiap daerah memiliki karakteristik berbeda, sehingga kebijakan kemitraan harus disesuaikan dengan kondisi pasar, infrastruktur, dan sumber daya setempat untuk menghindari kerugian bagi peternak lokal.
Diketahui pemerintah berencana mengimpor 2 juta ekor sapi selama periode 2025–2029. Rencana impor tersebut terdiri dari 1 juta ekor sapi perah dan 1 juta ekor sapi pedaging, yang akan dikelola oleh 60 perusahaan swasta tanpa menggunakan dana APBN.
Tawaf menilai bahwa meskipun kebijakan ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik, ada sejumlah aspek yang perlu diperhatikan agar tidak merugikan peternak lokal.
“Misalnya, di Lampung, perusahaan seperti Great Giant Livestock (GGL) cenderung bekerja dengan kelompok peternak. Sementara di Bandung, ada perusahaan yang lebih memilih kemitraan dengan peternak perorangan. Ini menunjukkan bahwa kebijakan kemitraan harus disesuaikan dengan kondisi lokal,” ujar Tawaf kepada Kabarbursa.com, di Jakarta, Senin, 13 Januari 2024.
Ia menambahkan, pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterapkan bersifat fleksibel dan tidak bersifat menyamaratakan.
Lebih jauh, Tawaf mengingatkan tentang pentingnya memperhatikan keseimbangan antara impor sapi dan pemberdayaan peternak lokal. Menurutnya, kebijakan impor sapi yang hanya fokus pada penggemukan sapi atau feedlot tidak akan memberikan dampak positif jangka panjang bagi sektor peternakan domestik. Untuk itu, ia mengusulkan agar pemerintah juga memperkuat sektor pembibitan sapi di dalam negeri.
"Jika hanya sapi siap potong yang diimpor, kita hanya akan bergantung pada pasokan dari luar negeri. Yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kapasitas pembibitan sapi lokal, agar kita tidak selalu bergantung pada impor," tegasnya.
Tawaf menambahkan bahwa kebijakan penguatan pembibitan sapi di dalam negeri akan mendukung peningkatan populasi sapi lokal yang lebih mandiri dan berkelanjutan.
Tawaf juga menyoroti tantangan dalam penyediaan infrastruktur yang memadai untuk mendukung sektor peternakan, khususnya dalam hal peternakan sapi perah. Ia mengatakan bahwa jika sapi perah yang diimpor ditempatkan di Jawa, infrastruktur peternakan di daerah tersebut sudah mengalami kesulitan dalam menyediakan pakan dan fasilitas penunjang lainnya.
“Infrastruktur di Jawa sudah sangat terbatas. Jika sapi perah ini ditempatkan di luar Jawa, masalahnya akan lebih kompleks karena memerlukan fasilitas yang lebih banyak dan lebih baik,” jelasnya.
Selain itu, Tawaf mengingatkan bahwa untuk memastikan keberhasilan kebijakan ini, pemerintah harus lebih transparan dalam merumuskan pola kemitraan antara perusahaan besar dan peternak rakyat. Ia menegaskan bahwa kemitraan harus dirancang untuk memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak, bukan hanya untuk perusahaan besar.
"Pola kemitraan yang jelas dan adil sangat penting, agar tidak ada pihak yang dirugikan. Jangan sampai peternak rakyat hanya menjadi alat untuk meraih keuntungan perusahaan besar," tegasnya
Tawaf juga mendorong pemerintah untuk tidak hanya mengandalkan kebijakan impor, tetapi juga memberikan dukungan kepada peternak lokal melalui pelatihan, akses pembiayaan, dan teknologi. Hal ini akan memperkuat daya saing peternak domestik dan mendukung keberlanjutan sektor peternakan nasional.
“Pemerintah harus memberikan akses yang lebih mudah untuk peternak lokal agar mereka bisa berkompetisi dengan perusahaan besar. Pelatihan dan teknologi yang tepat bisa meningkatkan produktivitas dan daya saing peternak kecil,” ujar Tawaf.
Ia menutup wawancaranya dengan menekankan bahwa keberhasilan kebijakan impor sapi ini harus diukur dengan seberapa besar dampaknya terhadap ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan peternak lokal. “Impor sapi tidak boleh mengorbankan peternak rakyat. Kebijakan ini harus menciptakan ekosistem yang saling menguntungkan antara peternak besar dan kecil, serta mendukung ketahanan pangan Indonesia,” tutup Tawaf.
Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono memberikan penjelasan mengenai negara asal impor sapi perah yang akan mendukung program susu gratis dari presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Sudaryono menyatakan bahwa negara asal impor sapi tersebut dapat disesuaikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing perusahaan pengimpor. Kementerian Pertanian (Kementan) tidak akan menentukan secara khusus negara asal impor, tetapi menyerahkan keputusan kepada perusahaan terkait.
“Asal impor sapi perah akan disesuaikan dengan preferensi perusahaan. Tentunya, perusahaan akan mempertimbangkan negara yang memiliki iklim serupa dengan Indonesia, seperti Meksiko atau Brasil, agar adaptasi sapi lebih mudah. Tapi kita tidak membatasi, semua bisa disesuaikan,” jelas Sudaryono usai menghadiri peluncuran buku ‘Anti-mainstream Bureaucracy’ di Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2024.
Lebih lanjut, Sudaryono mengatakan, bahwa Kementan hanya berperan dalam memberikan bantuan teknis, seperti pengurusan birokrasi, perizinan, dan penyediaan lahan untuk perusahaan yang ingin mendatangkan sapi perah ke Indonesia.
Keputusan mengenai asal sapi dan pengelolaannya sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab perusahaan atau pengusaha yang berinvestasi.
Sudaryono juga menyebutkan bahwa hingga saat ini, sudah ada sekitar 46 perusahaan yang menyatakan komitmennya untuk menjadi mitra pemerintah dalam impor sapi perah. Perusahaan-perusahaan tersebut terdiri dari perusahaan lokal dan koperasi, dengan komitmen jumlah impor yang bervariasi. Ada yang berkomitmen mengimpor mulai dari ribuan hingga ratusan ribu ekor sapi.
“Sekitar 46 perusahaan sudah menyatakan komitmen, dengan jumlah yang bervariasi. Ada yang komitmen untuk mengimpor 100.000 ekor, ada yang 50.000, bahkan ada yang hanya 5.000 ekor. Perusahaan lokal maupun koperasi juga ikut serta dalam program ini,” ungkap Sudaryono.
Hingga saat ini, total komitmen impor sapi perah yang telah diajukan mencapai 1,3 juta ekor. Meski begitu, Sudaryono menegaskan bahwa sapi-sapi tersebut belum tiba di Indonesia, melainkan masih dalam tahap komitmen dari perusahaan-perusahaan tersebut.
Sebagai bagian dari program pemerintahan Prabowo-Gibran, pemerintah melalui Kementerian Pertanian berencana untuk membuka impor sapi perah dalam jumlah besar. Program ini bertujuan untuk meningkatkan produksi susu domestik demi mendukung program Makan Siang Bergizi Gratis, yang menjadi salah satu program andalan pemerintahan Prabowo-Gibran.
Menurut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Agung Suganda, pemerintah menargetkan impor sapi perah mencapai 1 juta ekor dalam lima tahun ke depan.
“Impor sapi perah ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan susu domestik. Saat ini, 80 persen kebutuhan susu nasional masih bergantung pada impor,” kata Agung Suganda di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Sabtu, 7 September 2024.
Program distribusi susu gratis merupakan bagian dari program Makan Bergizi Gratis, yang menyasar anak-anak di berbagai jenjang pendidikan, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga pesantren.
Program ini diharapkan dapat menjangkau sekitar 82 juta anak Indonesia, yang akan membutuhkan sekitar 40 juta liter susu.
Kebutuhan minimal untuk mendukung produksi susu nasional diperkirakan mencapai 2,5 juta ekor sapi perah. Oleh karena itu, pemerintah membuka impor sapi perah untuk mencapai target tersebut, dengan rencana impor sebanyak 1 hingga 1,5 juta ekor sapi.
Jika rencana ini direalisasikan, program makan siang dan susu gratis akan disalurkan langsung kepada siswa pra-sekolah hingga tingkat SMA. Harapannya, program ini akan membantu meningkatkan gizi anak-anak dan memperkuat ketahanan pangan nasional, khususnya dalam hal penyediaan susu bagi masyarakat. (*)