Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ekspor-Impor China Gerakkan Pasar Saham-Rupiah, Ekonom Beri Sinyal Hati-hati

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 14 January 2025 | Penulis: Deden Muhammad Rojani | Editor: Redaksi
Ekspor-Impor China Gerakkan Pasar Saham-Rupiah, Ekonom Beri Sinyal Hati-hati

KABARBURSA.COM – Kinerja ekspor, impor, dan neraca perdagangan China diprediksi akan semakin memengaruhi pergerakan pasar saham dan nilai tukar rupiah di Indonesia. Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, mengungkapkan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap perekonomian China semakin kuat dalam beberapa tahun terakhir.

China menjadi tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia dengan porsi mencapai 25,09 persen dari total ekspor sepanjang 2023, jauh di atas Amerika Serikat di posisi kedua yang hanya 8,98 persen. Namun, ekspor Indonesia ke China didominasi oleh komoditas tak terbarukan seperti feronikel dan batu bara, di mana feronikel menyumbang 23,02 persen dari total ekspor ke China.

“Perlu dicatat bahwa hampir seluruh smelter nikel di Indonesia dikuasai oleh investor China. Jadi, meskipun secara nominal ekspor berasal dari Indonesia, penguasaan bisnisnya tetap di tangan pengusaha China,” jelas Andri kepada Kabarbursa.com, Senin, 13 Januari 2025.

Ketergantungan tinggi terhadap ekspor komoditas ke China membuat pasar saham Indonesia rentan terhadap fluktuasi permintaan dari negara tersebut. Penurunan permintaan China terhadap komoditas seperti batu bara dan feronikel berpotensi memberikan tekanan pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), terutama pada saham di sektor pertambangan dan energi yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi dan investasi Indonesia.

“Dalam beberapa tahun terakhir, IHSG sulit tumbuh optimal, terutama sejak 2022 ketika permintaan feronikel dari China mulai melambat. Ini menunjukkan betapa sensitifnya pasar saham kita terhadap dinamika ekonomi China,” ujar Andri.

Sementara itu, pergerakan nilai tukar rupiah saat ini masih lebih banyak dipengaruhi oleh kebijakan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) dan spread dengan US Treasury. Namun, Andri menilai bahwa dalam jangka panjang, perdagangan dengan China bisa menjadi faktor dominan dalam pergerakan rupiah, terutama jika Indonesia semakin mendekatkan diri ke China melalui kerja sama di forum BRICS dan mengurangi ketergantungan pada negara-negara Barat.

Jika wacana dedolarisasi di BRICS semakin berkembang dan AS memberlakukan tarif perdagangan pada anggota BRICS, Indonesia akan semakin bergantung pada perdagangan dengan China. “Dalam skenario ini, fluktuasi permintaan China terhadap komoditas Indonesia dapat berdampak langsung pada nilai tukar rupiah,” jelasnya.

Andri juga mengingatkan bahwa ketergantungan yang terlalu besar pada sektor komoditas, terutama yang didukung investasi dari China, bisa memperlebar ketimpangan antar sektor di Indonesia. Investasi yang terlalu terkonsentrasi di sektor pertambangan dan energi telah mengorbankan pengembangan sektor industri padat karya, yang berdampak pada ketimpangan Indeks Incremental Capital Output Ratio (ICOR) di berbagai sektor.

“Jika permintaan dari China menurun, bukan hanya pasar saham yang terpukul, tapi juga perekonomian secara keseluruhan. Industri lain yang tidak mendapatkan dukungan investasi bisa semakin tertinggal,” tambah Andri.

Ke depan, menurut Andri perekonomian Indonesia akan semakin dipengaruhi oleh dinamika ekonomi China. Pemerintah dan pelaku pasar diimbau untuk mewaspadai risiko fluktuasi permintaan komoditas dan mengantisipasi potensi dampaknya terhadap pasar modal dan nilai tukar. Diversifikasi sektor ekonomi dan perluasan pasar ekspor dinilai menjadi langkah penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap satu negara.

“Indonesia harus mulai mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas tak terbarukan dan memperkuat sektor manufaktur serta industri padat karya. Ini penting agar perekonomian lebih tahan terhadap guncangan eksternal, terutama dari China,” pungkas Andri. 

Ekspor China Surplus Rp1.676 Triliun di Pengujung 2024

Ekspor China menutup Desember 2024 dengan pertumbuhan yang menjanjikan di samping impornya yang mulai pulih. Ini menjadi akhir tahun yang cukup manis bagi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu, meskipun bayang-bayang risiko perdagangan dengan AS kian menghampiri.

Presiden terpilih Donald Trump, yang pekan depan kembali duduk di Gedung Putih, sudah menyiapkan tarif impor yang lumayan bikin gemetar dunia perdagangan internasional. Target utamanya adalah barang-barang dari China. Ketegangan perdagangan ini memicu kekhawatiran bakal terulangnya babak baru perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia tersebut.

Bukan cuma AS, China juga harus bersiap menghadapi Uni Eropa yang menerapkan tarif hingga 45,3 persen untuk kendaraan listrik buatan China. Langkah ini jelas bisa merusak ambisi China untuk menjadi pemain besar di pasar ekspor mobil listrik global.

“Percepatan pengiriman barang keluar makin terasa di Desember, terutama karena efek persiapan Tahun Baru Imlek dan pelantikan Donald Trump,” ujar ekonom senior dari Economist Intelligence Unit, Xu Tianchen, dikutip dari Reuters di Jakarta, Senin, 13 Januari 2024. Sebagai informasi, Imlek tahun ini berlangsung dari 28 Januari hingga 4 Februari.

Xu menambahkan, pertumbuhan impor didorong strategi China yang suka menimbun komoditas seperti tembaga dan bijih besi saat harga rendah.

Data bea cukai menunjukkan ekspor China tumbuh 10,7 persen pada Desember 2024 dibandingkan tahun sebelumnya, jauh melampaui prediksi pertumbuhan 7,3 persen dari survei Reuters. Bahkan, ini lebih tinggi dibandingkan kenaikan 6,7 persen pada November 2024.

Impor juga mencatat kejutan positif dengan pertumbuhan 1 persen—angka terbaik sejak Juli 2024. Padahal, para ekonom sempat memprediksi penurunan sebesar 1,5 persen. Meski begitu, jalan di 2025 tampaknya tak akan mulus. Persiapan menghadapi ketidakpastian kebijakan dari AS dan tekanan dari Eropa akan menjadi ujian berat bagi laju ekonomi China ke depannya.

Surplus perdagangan China naik menjadi USD104,8 miliar (sekitar Rp1.676,8 triliun) pada Desember 2024, lebih tinggi dibandingkan USD97,4 miliar (sekitar Rp1.558,4 triliun) pada November.

Juru bicara bea cukai China optimistis dan mengatakan masih ada ruang yang besar bagi ekonomi senilai USD18 triliun ini untuk meningkatkan impor sepanjang 2025. (*)