KABARBURSA.COM - Pengamat peternakan dari Universitas Padjajaran, Rochadi Tawaf, memberikan pandangannya terkait rencana pemerintah yang akan mengimpor dua juta ekor sapi untuk periode 2025–2029, yang terdiri atas satu juta sapi perah dan satu juta sapi pedaging. Rencana impor ini akan dikelola oleh 60 perusahaan swasta tanpa menggunakan dana dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) APBN.
Tawaf mengungkapkan bahwa meskipun kebijakan ini bertujuan memenuhi kebutuhan daging dan susu di pasar domestik, masih banyak hal yang perlu dipertimbangkan, terutama dalam kaitannya dengan kesejahteraan peternak lokal. Salah satunya adalah potensi penurunan daya saing peternak domestik yang bisa terjadi akibat kebijakan impor tersebut.
“Yang perlu dipahami adalah, apakah dua juta ekor sapi itu datang dalam empat tahun? Kalau kita bicara tentang sapi pedaging, tentu ada perbedaan antara sapi jantan dan betina. Kalau sapi betina, yang berarti untuk pembibitan, itu lebih bermanfaat untuk memperbanyak populasi di dalam negeri, dan ini harusnya menjadi fokus pemerintah,” ujar Tawaf kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Senin, 13 Januari 2025.
Tawaf menekankan bahwa kebijakan impor sapi yang hanya berfokus pada pengemukan sapi (feedlot) di dalam negeri tidak akan memberikan nilai tambah yang signifikan bagi peternak lokal.
"Jika sapi yang diimpor hanya untuk pengemukan, maka itu tidak akan membantu meningkatkan kesejahteraan peternak lokal. Sebaliknya, yang harus dilakukan pemerintah adalah fokus pada pembibitan sapi di dalam negeri, agar populasi sapi lokal bisa berkembang,” ujarnya.
Tawaf juga meragukan efektivitas penempatan satu juta sapi perah dalam jangka waktu empat tahun, terutama terkait dengan kesiapan infrastruktur di dalam negeri.
"Jika sapi perah ini ditempatkan di Jawa, kita tahu bahwa infrastruktur pakan dan fasilitas penunjang sudah mengalami kesulitan. Jika ditempatkan di luar Jawa, masalahnya tidak akan selesai begitu saja. Produksi susu membutuhkan infrastruktur yang memadai seperti tempat pendingin, gudang, dan fasilitas lainnya yang memadai,” jelasnya.
Meskipun demikian, Tawaf tidak sepenuhnya menentang rencana tersebut. Dia mengatakan bahwa jika industri besar seperti PT Cisarua Mountain Dairy Tbk atau Cimory atau GBA Global Dairy yang sudah mapan, bisa mengembangkan usaha ini di wilayah-wilayah yang sudah mereka pahami, kebijakan ini bisa berjalan lebih efektif.
“Namun, tantangannya adalah apakah perusahaan baru atau peternak baru mampu memenuhi semua kebutuhan infrastruktur dan jaminan pasar yang diperlukan? Ini adalah pertanyaan besar,” tambahnya.
Tawaf juga menyoroti pentingnya mekanisme kemitraan yang jelas antara peternak besar dan peternak rakyat. Menurutnya, meskipun banyak kemitraan yang sudah dilakukan, sering kali tidak ada kesuksesan yang signifikan.
"Tidak ada cerita sukses yang bisa dijadikan contoh mengenai kemitraan antara peternak besar dan peternak rakyat. Banyak yang gagal, dan itu harus menjadi pelajaran bagi kita semua," tegasnya.
Untuk itu, Tawaf mengimbau agar pemerintah dan perusahaan yang terlibat dalam rencana impor sapi ini harus lebih terbuka dalam memberikan informasi terkait pola kemitraan yang akan dijalankan.
“Pola kemitraan yang jelas dan saling menguntungkan antara perusahaan besar dan peternak rakyat harus dipublikasikan secara transparan. Jangan sampai ada kekecewaan di masa depan,” ujarnya.
Menurutnya, kebijakan ini tidak hanya harus memperbaiki aturan yang ada, tetapi juga menciptakan ekosistem yang sehat bagi peternak lokal agar mereka dapat bersaing dengan perusahaan besar tanpa merugikan mereka.
“Pemerintah harus menjamin bahwa kebijakan ini tidak hanya menguntungkan perusahaan besar, tetapi juga mendukung keberlanjutan usaha peternak rakyat. Jangan sampai program ini justru merugikan mereka,” tutupnya.
Asosiasi peternakan dan masyarakat peternak pun berharap agar kebijakan ini dapat memberikan dampak positif bagi semua pihak, dengan memperhatikan keseimbangan antara impor dan pemberdayaan sektor peternakan domestik.
Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono memberikan penjelasan mengenai negara asal impor sapi perah yang akan mendukung program susu gratis dari presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Sudaryono menyatakan bahwa negara asal impor sapi tersebut dapat disesuaikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing perusahaan pengimpor. Kementerian Pertanian (Kementan) tidak akan menentukan secara khusus negara asal impor, tetapi menyerahkan keputusan kepada perusahaan terkait.
“Asal impor sapi perah akan disesuaikan dengan preferensi perusahaan. Tentunya, perusahaan akan mempertimbangkan negara yang memiliki iklim serupa dengan Indonesia, seperti Meksiko atau Brasil, agar adaptasi sapi lebih mudah. Tapi kita tidak membatasi, semua bisa disesuaikan,” jelas Sudaryono usai menghadiri peluncuran buku ‘Anti-mainstream Bureaucracy’ di Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2024.
Lebih lanjut, Sudaryono mengatakan, bahwa Kementan hanya berperan dalam memberikan bantuan teknis, seperti pengurusan birokrasi, perizinan, dan penyediaan lahan untuk perusahaan yang ingin mendatangkan sapi perah ke Indonesia.
Keputusan mengenai asal sapi dan pengelolaannya sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab perusahaan atau pengusaha yang berinvestasi.
Sudaryono juga menyebutkan bahwa hingga saat ini, sudah ada sekitar 46 perusahaan yang menyatakan komitmennya untuk menjadi mitra pemerintah dalam impor sapi perah. Perusahaan-perusahaan tersebut terdiri dari perusahaan lokal dan koperasi, dengan komitmen jumlah impor yang bervariasi. Ada yang berkomitmen mengimpor mulai dari ribuan hingga ratusan ribu ekor sapi.
“Sekitar 46 perusahaan sudah menyatakan komitmen, dengan jumlah yang bervariasi. Ada yang komitmen untuk mengimpor 100.000 ekor, ada yang 50.000, bahkan ada yang hanya 5.000 ekor. Perusahaan lokal maupun koperasi juga ikut serta dalam program ini,” ungkap Sudaryono.
Hingga saat ini, total komitmen impor sapi perah yang telah diajukan mencapai 1,3 juta ekor. Meski begitu, Sudaryono menegaskan bahwa sapi-sapi tersebut belum tiba di Indonesia, melainkan masih dalam tahap komitmen dari perusahaan-perusahaan tersebut.
Sebagai bagian dari program pemerintahan Prabowo-Gibran, pemerintah melalui Kementerian Pertanian berencana untuk membuka impor sapi perah dalam jumlah besar. Program ini bertujuan untuk meningkatkan produksi susu domestik demi mendukung program Makan Siang Bergizi Gratis, yang menjadi salah satu program andalan pemerintahan Prabowo-Gibran.
Menurut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Agung Suganda, pemerintah menargetkan impor sapi perah mencapai 1 juta ekor dalam lima tahun ke depan.
“Impor sapi perah ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan susu domestik. Saat ini, 80 persen kebutuhan susu nasional masih bergantung pada impor,” kata Agung Suganda di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Sabtu, 7 September 2024.
Program distribusi susu gratis merupakan bagian dari program Makan Bergizi Gratis, yang menyasar anak-anak di berbagai jenjang pendidikan, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga pesantren.
Program ini diharapkan dapat menjangkau sekitar 82 juta anak Indonesia, yang akan membutuhkan sekitar 40 juta liter susu.
Kebutuhan minimal untuk mendukung produksi susu nasional diperkirakan mencapai 2,5 juta ekor sapi perah. Oleh karena itu, pemerintah membuka impor sapi perah untuk mencapai target tersebut, dengan rencana impor sebanyak 1 hingga 1,5 juta ekor sapi.
Jika rencana ini direalisasikan, program makan siang dan susu gratis akan disalurkan langsung kepada siswa pra-sekolah hingga tingkat SMA. Harapannya, program ini akan membantu meningkatkan gizi anak-anak dan memperkuat ketahanan pangan nasional, khususnya dalam hal penyediaan susu bagi masyarakat. (*)