KABARBURSA.COM - Dana Moneter Dunia atau IMF bersiap meluncurkan World Economic Outlook terbaru pada 17 Januari mendatang. Lembaga keuangan Internasional itu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia tetap stabil beriringan dengan inflasi yang mulai melunak.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Ahad, 12 Januari 2025, Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, mengatakan ekonomi AS tampil lebih baik dari perkiraan. Tapi ada satu hal yang membuat suasana menjadi tak nyaman, yakni kebijakan perdagangan Presiden Terpilih AS Donald Trump yang bisa membawa badai baru bagi perekonomian dunia.
Georgieva mencatat inflasi di AS sudah hampir sesuai target The Fed dan pasar tenaga kerja cukup stabil. Ini membuat bank sentral bisa menunggu data baru sebelum memutuskan langkah suku bunga berikutnya. Meski begitu, suku bunga masih diperkirakan tetap tinggi untuk waktu yang cukup lama.
Laporan IMF ini hadir tepat sebelum Trump dilantik. Meski belum ada angka terbaru, prediksi IMF sebelumnya cukup jelas, yakni ekonomi AS, Brasil, dan Inggris mendapat angin segar, sementara China, Jepang, dan zona euro justru harus siap menghadapi badai tarif impor akibat risiko perang dagang baru, ketegangan geopolitik, dan kebijakan moneter yang makin ketat.
Pada Oktober 2024, IMF memperkirakan pertumbuhan global 2024 di angka 3,2 persen. Tapi untuk 2025, angka tersebut dipangkas menjadi 3,1 persen. Kenapa turun? IMF menyebut tren pertumbuhan global dalam lima tahun ke depan bisa merosot menjadi 3,1 persen—jauh dari era sebelum pandemi.
Di Eropa, pertumbuhan ekonomi diprediksi bakal seret. India pun menghadapi perlambatan kecil, diikuti Brasil yang menghadapi tekanan inflasi. China, yang biasanya jadi motor ekonomi dunia, justru terjebak deflasi dan lesunya permintaan domestik.
Bagi negara berpenghasilan rendah, reformasi sudah dilakukan, tapi jika ada guncangan baru seperti tarif impor dari Donald Trump, dampaknya bisa sangat berat. Georgieva memperingatkan jika suatu negara mengandalkan utang terus-menerus bukanlah jalan keluar. “Negara-negara ini tak bisa meminjam terus untuk keluar dari masalah. Solusinya adalah pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” katanya.
Nilai dolar AS yang kuat juga membuat biaya pinjaman negara berkembang membengkak. Georgieva pun menyarankan penghematan fiskal yang cerdas pascapandemi, tapi tetap diiringi kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Satu hal yang jadi sorotan: prospek pertumbuhan jangka menengah dunia sekarang berada di titik terendah dalam beberapa dekade terakhir.
[caption id="attachment_82762" align="alignnone" width="1602"] Ilustrasi Ekonomi Indonesia. (Foto: Abbas Sandji/Kabar Bursa)[/caption]
Tahun 2025 diproyeksikan menjadi tahun penuh tantangan bagi ekonomi Indonesia. Berbagai aspek seperti daya beli masyarakat, potensi kenaikan inflasi, dan ketegangan perdagangan internasional diperkirakan akan berdampak pada kondisi perekonomian.
Menurut pengamat pasar uang yang juga Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Asuaibi, inflasi kemungkinan mengalami peningkatan pada kuartal pertama 2025 akibat lonjakan konsumsi masyarakat selama momen perayaan hari besar.
“Dari benang merah dari tahun sebelumnya, inflasi akan tinggi, terutama bersamaan dengan perayaan hari-hari besar,” ujar Ibrahim dalam wawancara dengan kabarbursa.com, Jumat, 3 Januari 2025.
Menurut Ibrahim, inflasi pada Januari 2025 diperkirakan sedikit lebih tinggi dibandingkan Desember 2024. Kondisi tersebut terjadi akibat perubahan tren inflasi, yang sebelumnya dipicu oleh peningkatan pembelian logam mulia atau perhiasan.
Pembelian ini marak dilakukan karena kekhawatiran masyarakat terhadap potensi pecahnya perang dunia ketiga. Akibatnya, inflasi lebih banyak terdorong oleh kenaikan harga barang konsumsi, terutama kebutuhan pangan.
“Kalau dulu-dulu sebelum-sebelumnya itu inflasi disebabkan oleh masyarakat yang melakukan pembelian terhadap perhiasan logam mulia, karena ada ketakutan dari perang dunia ketiga, tetapi di bulan Desember, inflasi naik ini disebabkan oleh barang konsumsi,” katanya.
Ibrahim mengatakan tingginya konsumsi selama periode ini akan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Ia memperkirakan peningkatan konsumsi masyarakat akan mendorong PDB menuju angka yang lebih baik.
Ia pun memperkirakan inflasi menurun pada kuartal kedua 2025 seiring meredanya aktivitas konsumsi setelah berakhirnya periode perayaan besar yang mendorong lonjakan pengeluaran. Menurutnya, setelah momen-momen tersebut berlalu, daya beli masyarakat cenderung melemah yang akhirnya membuat tekanan inflasi ikut berkurang.
Meski begitu, Ibrahim menilai kondisi tersebut tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Ia menegaskan daya beli masyarakat dan tingkat inflasi masih berada dalam batas yang terkendali.
Ibrahim menyoroti faktor eksternal yang dapat memberikan dampak signifikan pada perekonomian, khususnya setelah pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-47 pada 20 Januari 2025. Ia mengingatkan pemerintah untuk lebih waspada terhadap kemungkinan kembalinya perang dagang, mengingat neraca perdagangan Amerika Serikat dengan Eropa, Kanada, dan Meksiko belum menunjukkan surplus.
“Makanya kita harus berhati-hati juga, Trump dilantik tanggal 20 Januari dan wanti-wanti akan melakukan perang dagangan kembali,” katanya.(*)