Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Celios: Risiko Ketergantungan pada China di Tengah Peran BRICS

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 10 January 2025 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
Celios: Risiko Ketergantungan pada China di Tengah Peran BRICS

 

Celios: Risiko di Balik Fokus Satu Negara pada BRICS

KABARBURSA.COM – Peneliti Ekonomi dari Center for Economic and Law Studies (CELIOS), Bakhrul Fikri, menyoroti resiko ketergantungan yang semakin kuat pada China, mengingat bahwa ekonomi China diproyeksikan akan melambat, terutama jika Donald Trump kembali terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Ia mengingatkan bahwa kebijakan proteksionisme yang sering diterapkan oleh Trump dapat berimbas negatif bagi negara-negara anggota BRICS, termasuk Indonesia.

"Ketergantungan yang semakin besar pada China harus diwaspadai. Apalagi dengan potensi terpilihnya kembali Trump, yang kemungkinan besar akan melanjutkan kebijakan proteksionisme. Jika AS memberlakukan tarif tinggi pada negara-negara anggota BRICS, maka Indonesia pun akan merasakan dampaknya, terutama pada produk-produk yang bergantung pada pasar Amerika," jelas Bakhrul kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Jumat, 10 Januari 2025.

Menurutnya, kebijakan tersebut akan menyebabkan penurunan tajam dalam volume ekspor Indonesia, terutama yang mengarah ke pasar AS. Ini bisa menjadi tantangan besar bagi perekonomian Indonesia dalam jangka pendek hingga menengah.

Dalam menghadapi ketidakpastian global, Bakhrul mengingatkan agar Indonesia tidak bergantung terlalu banyak pada satu negara atau satu blok ekonomi. Ia menilai bahwa diversifikasi mitra ekonomi, terutama melalui hubungan bilateral dengan negara-negara lain, adalah langkah penting untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.

"Indonesia harus menggali lebih banyak peluang kerja sama bilateral, tidak hanya mengandalkan BRICS atau China. Dengan lebih banyak mitra, Indonesia bisa menghadapi ketidakpastian ekonomi global dengan lebih kuat dan tidak terlalu bergantung pada satu negara," ujar Bakhrul.

Ia juga menekankan bahwa BRICS, meskipun menawarkan potensi kerja sama multilateral yang besar, tetap membawa risiko jika terlalu fokus pada satu negara dominan. Oleh karena itu, Indonesia harus lebih cermat dalam memilih sektor-sektor strategis untuk bekerja sama dengan negara-negara BRICS yang lain, seperti Brasil dan Afrika Selatan.

Menurut Bakhrul, keanggotaan Indonesia dalam BRICS seharusnya tidak hanya difokuskan pada hubungan ekonomi dengan China, tetapi harus mencakup pengembangan sektor-sektor yang dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi Indonesia. Salah satu sektor yang bisa diperkuat adalah kerja sama dalam investasi hijau dan transisi energi bersih, yang kini sedang menjadi prioritas global.

"Kerja sama dalam sektor investasi hijau dan energi bersih dengan negara-negara seperti Afrika Selatan bisa menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada sektor ekstraktif dan menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan," jelas Bakhrul.

Indonesia Diminta Mainkan Peran Aktif Kolaborasi

Bakhrul Fikri, menyarankan agar Indonesia memainkan peran lebih aktif dalam mendorong kolaborasi dengan negara-negara BRICS, khususnya di sektor-sektor strategis yang dapat memperkuat kemandirian ekonomi.

Menurut Bakhrul, salah satu langkah penting untuk menghindari risiko ketergantungan yang berlebihan pada satu negara atau blok ekonomi, seperti China, adalah dengan memfokuskan kerjasama pada sektor investasi dan pembangunan infrastruktur yang dapat memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang.

"Indonesia perlu mendorong kolaborasi yang lebih luas, seperti investasi di sektor yang dapat memperkuat kemandirian ekonomi negara-negara anggota BRICS. Ini penting agar Indonesia tidak hanya terfokus pada satu negara atau sektor, tetapi juga dapat memberikan dampak positif bagi kawasan secara keseluruhan," ujar Bakhrul.

Selaras dengan itu, Bakhrul juga menekankan pentingnya Indonesia mendorong kerjasama di sektor green investment atau investasi hijau, yang kini sedang menjadi tren global. Menurutnya, sektor ini memiliki potensi besar untuk mendukung pertumbuhan berkelanjutan di negara-negara berkembang dan memberikan manfaat jangka panjang.

"Indonesia juga harus mendorong kerjasama green investment di negara-negara anggota BRICS, terutama dalam mengembangkan pasar modal yang ramah lingkungan. Ini akan membantu negara-negara berkembang untuk beralih ke model ekonomi yang lebih berkelanjutan dan tidak bergantung pada sektor ekstraktif," jelas Bakhrul.

Bakhrul juga menyoroti bahwa dominasi investasi di sektor ekstraktif harus segera diatasi, mengingat sektor ini sering kali menjadi penghambat dalam pengembangan ekonomi yang lebih hijau dan berkelanjutan. Dengan mengalihkan fokus pada investasi hijau, negara-negara BRICS, termasuk Indonesia, dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan ramah lingkungan.

"BRICS harus semakin menyoroti potensi kerja sama dalam green investment untuk mendukung green growth dalam beberapa tahun mendatang. Ini adalah langkah yang sangat penting, terutama bagi negara-negara Global South yang menghadapi tantangan besar dalam transisi menuju ekonomi berkelanjutan," tutupnya. (*)