KABARBURSA.COM - Muhammad Zulfikar Rakhmat, Direktur China-Indonesia Desk di Center for Economic and Law Studies (CELIOS), menyoroti ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS). Zulfikar menekankan bahwa ketegangan ekonomi ini berpotensi mengacak stabilitas ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Ketidakpastian ini harus diwaspadai karena perang dagang antara China dan AS akan sangat mempengaruhi ekonomi global. Jika Donald Trump kembali terpilih dan melanjutkan kebijakan proteksionisme, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh China, tetapi juga negara-negara anggota BRICS, termasuk Indonesia,” ujar Zulfikar, dalam wawancara dengan Kabarbursa.com, Kamis, 9 Januari 2025.
Menurut Zulfikar, ancaman yang dilontarkan Trump terhadap negara-negara BRICS yang berusaha melakukan dedolarisasi sangat berbahaya bagi perekonomian Indonesia. Jika AS memberlakukan tarif tinggi atau bahkan 100 persen terhadap negara-negara anggota BRICS, maka Indonesia tidak akan bisa menghindari dampaknya. Hal ini terutama karena Indonesia memiliki hubungan dagang yang signifikan dengan China dan negara-negara BRICS lainnya.
“Reaksi Trump perlu diwaspadai, karena beliau adalah salah satu pemimpin yang terbukti konsisten dengan kebijakan proteksionismenya. Jika AS memberlakukan tarif yang sangat tinggi terhadap negara anggota BRICS, Indonesia jelas akan terkena dampaknya,” jelas Zulfikar.
Lebih lanjut, Zulfikar menjelaskan bahwa dampak dari kebijakan tersebut dapat terasa dalam jangka pendek hingga menengah, terutama dengan turunnya volume ekspor Indonesia ke pasar global. Indonesia, yang banyak mengandalkan ekspor ke AS, akan menghadapi kesulitan dalam menjaga hubungan dagangnya jika tarif impor AS semakin tinggi.
“Indonesia sangat bergantung pada pasar AS untuk ekspor produk-produk tertentu. Jika tarif 100 persen diterapkan pada negara-negara BRICS, maka ekspor Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan pasar AS, bisa menurun tajam. Ini jelas akan memengaruhi perekonomian Indonesia dalam waktu dekat,” tambah Zulfikar.
Zulfikar juga menekankan pentingnya Indonesia untuk mempersiapkan strategi jangka panjang guna menghadapi ketidakpastian global yang semakin meningkat, terutama terkait kebijakan AS di bawah pemerintahan Trump. Sebagai negara berkembang dengan potensi besar, Indonesia harus memastikan keberlanjutan ekspor dan diversifikasi pasar untuk mengurangi ketergantungan pada ekonomi global yang bergejolak.
“Kita harus mulai mengevaluasi dan mengembangkan strategi diversifikasi ekspor yang lebih luas, sehingga Indonesia tidak terlalu bergantung pada pasar AS atau China. Ini menjadi langkah penting untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global,” tutup Zulfikar.
Keputusan Indonesia bergabung dalam kelompok ekonomi BRICS mendatangkan keuntungan dan kerugian yang datang bersamaan, baik dari sisi geopolitik dan ekonomi.
Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana mengatakan, meskipun pemerintah memiliki harapan besar terhadap peluang yang ada, keputusan untuk menjadi anggota BRICS juga memiliki konsekuensi besar.
“Jika dibandingkan dengan risikonya, keputusan ini memperlebar jarak Indonesia secara geopolitik dan mempersempit potensi kerja sama ekonomi dengan negara-negara OECD,” jelas Andri kepada kabarbursa.com, Kamis, 9 Januari 2025.
Meski Indonesia berkomitmen untuk menjaga hubungan baik dengan negara-negara yang masuk ke dalam The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tapi pada kenyataannya, hubungan Indonesia dengan China semakin erat.
“Walaupun Indonesia mengatakan tetap akan bermain dua kaki, dengan perjanjian yang ditandatangani Prabowo sebelumnya, Indonesia sebenarnya sudah semakin melunak dan memberikan berbagai konsesi politik kepada China,” ujar Andri.
Terkait hubungan Indonesia dengan China, Andri menyoroti sikap Indonesia yang mulai melunak terhadap Negeri Tirai Bambu tersebut. Indonesia bahkan mengakui posisi China dalam sengketa maritim di Laut China Selatan. Bahkan, lebih jauh lagi, Indonesia terlibat dalam pengembangan industri perikanan dan gas di wilayah tersebut yang sebelumnya justru dihindari.
“Indonesia juga menandatangani pernyataan untuk membangun komunitas masa depan bersama dengan China, yang membuat Indonesia semakin tersandera dalam kontestasi geopolitik dengan negara-negara Barat dan OECD,” tambahnya.
Di sisi lain, ancaman serius dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang akan mengusulkan pemberlakuan tarif 100 persen terhadap negara-negara anggota BRICS ketika berani meninggalkan dolar untuk perdagangan internasional.
Meskipun banyak yang meragukan kebijakan ini, Andri menilai langkah tersebut bisa menjadi sinyal kuat dari AS tentang potensi dampak negatif bagi ekonomi Indonesia.
“Ancaman tarif ini menunjukkan indikasi jelas dari Amerika Serikat bahwa menjadi anggota BRICS dapat berdampak serius terhadap kelangsungan kerja sama ekonomi Indonesia,” jelas Andri.
Implementasi tarif 100 persen tersebut berdampak serius bagi ekonomi Indonesia. Dampak tersebut tidak hanya soal hubungan bilateral dengan AS, tapi juga dampak multilateral yang berpotensi menurunkan daya saing Indonesia di pasar global.
“Jika tarif ini benar-benar diterapkan, struktur perdagangan Indonesia akan terkompromi, dengan nilai lebih rendah ke pasar alternatif, dan ini pada akhirnya akan semakin memperkuat daya tawar China dalam ekonomi Indonesia,” jelasnya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.