Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

CELIOS: Program Makan Bergizi Cuma untuk Kelas Bawah, tak Relevan bagi Kelas Atas

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 08 January 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
CELIOS: Program Makan Bergizi Cuma untuk Kelas Bawah, tak Relevan bagi Kelas Atas

KABARBURSA.COM – Program makan bergizi gratis yang digadang-gadang sebagai solusi bagi ketahanan pangan ternyata hanya memberi manfaat besar bagi kelompok keluarga berpenghasilan rendah. Berdasarkan laporan terbaru dari CELIOS bertajuk “Yang Lapar Siapa? Yang Kenyang Siapa?”, hasil survei menunjukkan manfaat program ini paling dirasakan oleh keluarga dengan pendapatan di bawah Rp2 juta per bulan.

Data menunjukkan bahwa 49 persen keluarga mengaku anak-anak mereka masih sering kekurangan makanan di rumah. Ketika ditelusuri lebih dalam, 28 persen responden dengan pendapatan Rp400 ribu hingga Rp1 juta menyatakan anak-anak mereka “cukup sering” atau bahkan “sangat sering” mengalami kekurangan makanan. Ini berbeda jauh dengan keluarga berpenghasilan lebih dari Rp5 juta yang hampir tidak merasakan persoalan serupa.

CELIOS menegaskan program ini memang memberi dampak positif pada kelompok rentan ekonomi. “Studi ini juga menyiratkan bahwa program makan bergizi gratis hanya akan memberikan dampak terbesar pada keluarga dengan anggaran rendah, terutama mereka yang berpenghasilan di bawah 2 juta rupiah per bulan,” tulis laporan tersebut, dikutip Rabu, 8 Januari 2025.

Namun, data juga mengungkapkan bahwa 31 persen keluarga dengan penghasilan Rp400 ribu hingga Rp1 juta merasa pengeluaran mereka untuk makanan jauh lebih ringan karena adanya program ini. Sebaliknya, untuk keluarga dengan penghasilan Rp5 juta ke atas, program ini dianggap kurang relevan.

Laporan ini memancing pertanyaan penting, apakah program makan bergizi gratis sebaiknya memang hanya menyasar keluarga miskin? Ataukah perlu diperluas cakupannya agar bisa meringankan kelompok menengah yang mulai terhimpit inflasi?

Pakar ekonomi Media Wahyu Askar, Galau D Muhammad, Bakhrul Fikri, dan Jaya Darmawan, yang terlibat dalam penelitian tersebut menyoroti bahwa isu ketahanan pangan bukan hanya tentang mengisi perut kosong, tetapi juga soal menjaga kestabilan ekonomi keluarga.

Data CELIOS juga menemukan bahwa 41 persen responden mengatakan biaya pendidikan dan makanan anak menjadi beban utama pengeluaran mereka. Bagi keluarga dengan pendapatan di bawah Rp1 juta, 27 persen mengaku tekanan tersebut bahkan “sangat besar”.

[caption id="attachment_111676" align="alignnone" width="1179"] 27 persen keluarga berpenghasilan di bawah Rp1 juta merasa biaya sekolah dan makan anak-anak mereka menjadi beban sangat besar. Sementara itu, bagi keluarga dengan pendapatan di atas Rp5 juta, beban tersebut nyaris tidak terasa. Sumber: CELIOS.[/caption]

Setidaknya ada 1.858 responden yang diminta menjawab pertanyaan krusial perihal kondisi finansial keluarga mereka, yakni “Seberapa besar beban biaya sekolah dan makanan anak-anak Anda terhadap anggaran keluarga?”

Pilihan jawaban yang disediakan cukup sederhana, mulai dari “Sangat besar”, “Besar”, “Cukup besar”, hingga “Tidak ada beban”. Selain itu, para responden juga diminta untuk mencantumkan jumlah pendapatan bulanan keluarga mereka secara mandiri

Program makan bergizi gratis untuk semua anak memang terdengar seperti kebijakan yang mulia dan penuh harapan. Namun, laporan CELIOS memberikan catatan yang cukup tajam, “Program makan bergizi gratis … bisa jadi bumerang karena berpotensi membuang-buang anggaran. Program makan bergizi gratis lebih dibutuhkan oleh anak-anak dari keluarga kurang mampu.”

Anak-anak dari keluarga miskin sangat membutuhkan akses terhadap makanan bergizi karena keterbatasan pendapatan keluarga mereka membuat pilihan hidup semakin sempit. Risiko terhambatnya pendidikan dan gizi dapat berdampak panjang terhadap kualitas hidup dan kondisi demografi Indonesia di masa depan.

Di sisi lain, keluarga dengan penghasilan lebih dari Rp5 juta per bulan cenderung tidak menghadapi tekanan keuangan yang sama. Dengan pendapatan tersebut, mereka masih mampu memenuhi kebutuhan makanan dan pendidikan anak-anak tanpa harus mengorbankan kebutuhan lainnya.

Alokasi Anggaran MBG Rp10.000

Pemerintah sebelumnya memangkas anggaran program Makan Bergizi Gratis, dari Rp15.000 per porsi per hari menjadi Rp10.000. Langkah itu dilakukan lantaran anggaran pemerintah yang terbatas. Akan tetapi, pemangkasan anggaran dianggap akan menimbulkan persoalan baru ke depan.

Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, mengatakan Rp10.000 per porsi MBG sejatinya tidak menjadi soal ihwal menu pilihan. Akan tetapi, besaran anggaran tidak termasuk ke dalam biaya lainnya, seperti distribusi, pemeliharaan dapur, dan biaya lain yang mendukung produksi.

Sementara untuk produksi di dapur sentral, tutur Eliza, besaran anggaran Rp10.000 akan sulit dijalankan kendati melibatkan UMKM eksisting lantaran biaya tersebut tidak termasuk ke dalam layanan pengantaran dan pengelolaan bahan baku.

“Dengan harga Rp10.000 per porsi, kreasi menu yang disukai anak dan memenuhi gizi seimbang ini akan semakin terbatas. Dapur makin pusing kombinasi sayuran dan buahnya,” kata Eliza saat dihubungi KabarBursa.com pada Minggu, 1 Desember 2024, lalu.

Di samping itu, ada indikasi pemborosan anggaran. Berdasarkan evaluasi implementasi MBG di lapangan, Eliza mengaku kerap menemui anak-anak yang tidak menyukai susu sapi dengan rasa original. “Akhirnya susu banyak yang tidak diminum dan diberikann ke temennya yang mau menampung susu tersebut. Jangan sampai niat mulia pemerintah ingin meningkatkan gizi tidak tercapai karena hal hal tersebut. Ini terjadi pemborosan anggaran saja jadinya,” kata Eliza.(*)