KABARBURSA.COM – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengungkapkan bahwa kebijakan peningkatan blending biodiesel menjadi B40 dapat berdampak negatif bagi ekonomi Indonesia jika tidak dihitung dengan matang, termasuk dari sisi biaya, pasokan bahan pangan, dan dampak lingkungan.
Fabby menyoroti bahwa meskipun program B40 bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar, peningkatan blending biodiesel yang semakin besar dapat menyebabkan masalah biaya yang lebih tinggi, terutama subsidi yang semakin membengkak.
Menurutnya, pemerintah perlu melakukan kajian mendalam mengenai dampak kebijakan ini terhadap ekonomi domestik, khususnya dalam pasokan bahan pangan seperti minyak goreng dan produk oleochemical yang berbahan dasar minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
“Kalau faktor-faktor seperti deforestasi dan dampak terhadap pasokan minyak goreng dan oleochemical dimasukkan dalam perhitungan biaya, saya khawatir biaya program B40 bisa lebih tinggi dari yang diperkirakan, dan malah berdampak negatif bagi ekonomi kita,” ujar Fabby saat dihubungi Kabarbursa.com, Rabu, 8 Januari 2025.
Fabby menekankan pentingnya analisis dampak ekonomi dari kebijakan ini. Ia menyarankan agar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Menko Perekonomian mengeluarkan kajian yang transparan mengenai biaya, dampak terhadap pasokan bahan pangan, dan risiko kenaikan harga barang-barang yang bergantung pada CPO, seperti minyak goreng dan produk oleochemical.
Menurut Fabby, program B40 seharusnya tidak hanya fokus pada peningkatan jumlah blending biodiesel, tetapi juga mempertimbangkan opsi alternatif dalam pengembangan feedstock atau bahan baku biodiesel.
Ia menilai, ketergantungan yang terlalu besar pada minyak sawit dapat membebani sektor pangan, dan mendorong pemerintah untuk mengeksplorasi bahan baku lain seperti tebu, sorghum, atau bahkan minyak goreng bekas (used cooking oil).
“Jika pemerintah terus mengandalkan minyak sawit, ini bisa menjadi beban. Sebaiknya, kita mengembangkan feedstock baru yang lebih berkelanjutan dan tidak hanya terfokus pada minyak sawit saja,” jelas Fabby.
Fabby juga mencatat bahwa meskipun kebijakan biodiesel dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor solar dan bahan bakar fosil lainnya, dampak pada pasokan CPO domestik harus diperhitungkan. Dengan meningkatnya permintaan biodiesel, sebagian besar CPO yang selama ini diekspor mungkin akan terserap untuk kebutuhan dalam negeri, yang dapat menyebabkan kekurangan pasokan untuk industri pangan.
“Jika produksi CPO lebih banyak digunakan untuk biofuel, itu bisa memengaruhi ekspor CPO dan meningkatkan harga CPO domestik. Ini bisa berujung pada lonjakan harga minyak goreng dan produk berbasis sawit lainnya, yang pada gilirannya akan berdampak pada daya beli masyarakat,” tambah Fabby.
Meskipun demikian, Fabby mengakui bahwa kebijakan ini berpotensi mengurangi pengeluaran devisa Indonesia, karena lebih sedikit uang yang perlu dikeluarkan untuk impor bahan bakar. Penghematan devisa ini diharapkan bisa memperkuat nilai tukar rupiah dan memperbaiki stabilitas ekonomi jangka panjang.
Fabby juga menyoroti pentingnya kebijakan yang mendukung diversifikasi sumber bahan bakar, terutama dengan mengganti bensin dengan bioetanol yang dapat diproduksi dari tanaman seperti jagung, tebu, atau sorghum. Ia melihat pengembangan bioetanol sebagai langkah yang lebih berkelanjutan untuk mengurangi ketergantungan pada impor bensin.
“Jika kita ingin mengurangi impor solar, kita harus juga berpikir tentang penggantian bensin dengan bioetanol. Tapi ini melibatkan tanaman yang berbeda, dan perlu perhatian serius untuk memitigasi dampaknya terhadap sektor pangan,” tambah Fabby.
Ia mengingatkan pentingnya perencanaan yang lebih matang dan transparansi dalam mengungkapkan biaya-biaya yang timbul. “Kebijakan ini bisa memberikan manfaat yang besar, tetapi harus dihitung dengan seksama. Jangan sampai biaya yang muncul lebih besar daripada manfaat yang diharapkan,” tutup Fabby.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, mengungkapkan program ini mampu menghemat devisa hingga Rp147,5 triliun, dibandingkan program B35 yang hanya menghemat Rp122,98 triliun.
“Dengan demikian terjadi penghematan devisa sekitar Rp25 triliun dengan tidak mengimpor BBM jenis minyak solar,” kata Eniya, dikutip dari laman esdm.go.id, Senin, 6 Januari 2024.
Eniya mengatakan program mandatori Biodiesel B40 tidak hanya berdampak positif secara ekonomi, tetapi juga membawa manfaat besar di bidang sosial dan lingkungan. Inisiatif ini meningkatkan nilai tambah minyak kelapa sawit (CPO) menjadi biodiesel hingga Rp20,9 triliun.
Selain itu, program ini menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 14 ribu pekerja di sektor pengolahan (off-farm) dan 1,95 juta pekerja di sektor perkebunan (on-farm). Dari sisi lingkungan, implementasi B40 mampu menekan emisi gas rumah kaca hingga 41,46 juta ton CO2e per tahun. (*)