KABARBURSA.COM – Presiden terpilih Donald Trump kembali menjadi sorotan setelah meminta Kongres AS memperpanjang batas utang nasional yang kini mencapai lebih dari USD36 triliun (sekitar Rp576 kuadriliun). Permintaan ini ia sampaikan di resornya di Florida.
“Saya cuma tak mau lihat negara ini gagal bayar, itu saja,” ujar Trump dikutip dari Reuters di Jakarta, Rabu, 8 Januari 2025.
Sebagai informasi, penangguhan batas utang terakhir yang disepakati pada 2023 sudah berakhir di penghujung tahun lalu. Sejak itu, Departemen Keuangan AS menggunakan jurus darurat untuk mencegah gagal bayar. Meski begitu, jurus ini hanya bisa bertahan beberapa bulan sebelum Kongres harus segera mengambil keputusan soal batas utang.
Batas utang seharusnya menjadi alat untuk mengontrol pinjaman pemerintah, tapi kenyataannya malah kerap menjadi drama politik yang bikin pasar keuangan deg-degan karena ancaman gagal bayar. Bulan lalu, Trump menggagalkan rancangan undang-undang anggaran sementara yang diajukan secara bipartisan karena bersikeras agar batas utang segera dinaikkan—atau dihapuskan sama sekali—sebelum masa jabatan Presiden Joe Biden berakhir pada 20 Januari.
Namun, Partai Republik di DPR tidak cukup solid untuk memenuhi tuntutan Trump.
Perdebatan di internal Partai Republik pun berlanjut. Mereka masih tarik-menarik apakah akan mengusulkan rancangan undang-undang besar dalam satu paket atau memecahnya menjadi dua bagian yang lebih kecil. Langkah apa pun yang dipilih, mereka berencana menggunakan mekanisme rekonsiliasi untuk melewati blokade dari Partai Demokrat di Senat.
Wakil Ketua DPR AS Steve Scalise menyatakan Partai Republik cenderung mengajukan satu RUU yang mencakup kebijakan memperketat keamanan perbatasan, memperketat imigrasi, memperpanjang pemotongan pajak 2017, dan meningkatkan produksi bahan bakar fosil.
Namun, Scalise menambahkan, jika Trump lebih memilih agar kebijakan tersebut dipecah menjadi dua RUU, opsi itu juga tetap terbuka. “Menurut saya, dua RUU mungkin malah lebih baik,” kata Trump.
Ketua DPR AS Mike Johnson menegaskan rencana Partai Republik dalam menangani batas utang negara akan melalui mekanisme rekonsiliasi anggaran. Artinya, mereka ingin memutuskan detail kebijakan tersebut tanpa harus berkompromi dengan Partai Demokrat.
“Tujuannya jelas, kami akan menangani batas utang ini lewat proses rekonsiliasi. Dengan begitu, sebagai partai yang memegang kendali di kedua kamar, kami bisa menentukan isi aturannya sendiri,” ujar Johnson, dikutip dari Maine Morning Star.
Ia menambahkan, jika menggunakan jalur pembahasan biasa, prosesnya akan melibatkan negosiasi bipartisan yang dinilai kurang menguntungkan Partai Republik.
Penangguhan batas utang terakhir yang dinegosiasikan antara pemerintahan Biden dan Partai Republik berakhir pada 1 Januari 2025. Meski begitu, Kongres masih punya beberapa bulan untuk merumuskan RUU batas utang sebelum AS benar-benar menghadapi risiko gagal bayar.
Selama masa tersebut, Departemen Keuangan AS akan menggunakan jurus darurat—dikenal sebagai extraordinary measures—agar tagihan negara tetap dibayar penuh dan tepat waktu. Namun, jika Kongres gagal menyepakati RUU hingga bayar akhir, defisit pengeluaran akan berhenti dan negara berisiko jatuh ke dalam krisis finansial yang dapat mengguncang dunia.
Mekanisme rekonsiliasi yang dipilih Partai Republik memaksa mereka menuntaskan seluruh paket kebijakan sebelum tenggat default tiba. Biasanya, Menteri Keuangan akan memberikan laporan rutin kepada Kongres perihal proyeksi tanggal default. Surat pertama diperkirakan akan dirilis sebelum akhir Januari agar memberikan gambaran lebih jelas kapan krisis tersebut bisa terjadi jika Kongres tak bertindak cepat.
Mike Johnson tampaknya paham betul bahwa menjaga solidaritas di tubuh Partai Republik soal batas utang sngat rumit. Dalam konferensi persnya, kemarin, Johnson menegaskan di bawah kendali penuh Partai Republik, ia tak akan membiarkan gagal bayar terjadi. Meski begitu, ia mengakui ada berbagai pandangan soal kebijakan batas utang di internal partainya.
“Pendapatnya sangat beragam di konferensi kami, dan kami masih mencoba merumuskan semuanya,” kata Johnson.
Seperti yang sudah jadi tradisi, Partai Republik sering memanfaatkan negosiasi batas utang sebagai alat tawar-menawar dalam pemerintahan yang terpecah, terutama untuk menekan kebijakan pengeluaran pemerintah. Namun, kebiasaan itu jarang mereka lakukan ketika memegang kendali penuh di DPR, Senat, dan Gedung Putih.
Johnson juga berusaha membedakan antara langkah menaikkan atau menangguhkan batas utang dengan misi Partai Republik yang lebih besar, yakni memangkas pengeluaran pemerintah dan mengecilkan ukuran birokrasi federal.
“Saya ingin menekankan ini dan akan terus mengulanginya setiap kali masalah ini muncul, yakni misi kami adalah mengurangi ukuran dan ruang lingkup pemerintahan serta pengeluaran, supaya kewarasan fiskal bisa kembali,” kata Johnson.
Namun, ia juga menegaskan menaikkan batas utang bukan berarti memberi lampu hijau untuk berbelanja semaunya hingga batas baru tercapai. “Idenya justru sebaliknya,” ujarnya.
Menurut Johnson, menjaga kepercayaan pasar obligasi dan kestabilan dolar AS adalah hal yang esensial. Oleh karena itu, ia menganggap menaikkan batas utang sebagai langkah preventif agar pasar tak panik dengan potensi gagal bayar yang bisa membuat ekonomi AS terguncang.(*)