Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Daftar Seri Lelang Surat Utang Negara: Berikut Kodenya!

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 07 January 2025 | Penulis: Pramirvan Datu | Editor: Redaksi
Daftar Seri Lelang Surat Utang Negara: Berikut Kodenya!

KABARBURSA.COM - Pemerintah melaksanakan lelang Surat Utang Negara pada tanggal 7 Januari 2025 untuk seri SPN03250409 (new issuance), SPN12260108 (new issuance), FR0104 (reopening), FR0103 (reopening), FR0106 (new issuance), FR0107 (new issuance), FR0102 (reopening) dan FR0105 (reopening) melalui sistem lelang Bank Indonesia.

Direktorat Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko disebutkan Total penawaran yang masuk sebesar Rp31,6 triliun. Seperti dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa 7 Januari 2024.

Adapun seri SPN03250409 Penawaran yang masuk sebesar Rp1,031 triliun, SPN12260108 sebesar Rp1,71 triliun, seri FR0104 sebesar Rp9,70 triliun, FR0103 sebesar Rp6,2 triliun, FR0106 sebesar Rp6,45 triliun, FR0107 sebesar Rp5,61 triliun, FR0102 sebesar Rp0,56 triliun dan FR0105 sebesar Rp0,37 triliun.

Sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, Menteri Keuangan menetapkan hasil lelang untuk seri SPN03250409 tidak ada nominal yang dimenangkan sedangkan seri SPN12260108 yang dimenangkan sebesar Rp1,6 triliun, seri FR0104 sebesar Rp7,1 triliun, FR0103 sebesar Rp5,7 triliun, FR0106 sebesar Rp5,95 triliun, FR0107 sebesar Rp5,5 triliun, FR0102 sebesar Rp0,35 triliun dan seri FR0105 tidak ada yang dimenangkan.

Dengan demikian, Total nominal yang dimenangkan dari tujuh seri SUN yang ditawarkan sebesar Rp26,2 triliun.

Jaga Likuiditas Pasar

Pengamat ekonomi Arianto Muditomo, mengingatkan adanya bahaya laten dari keputusan pemerintah menjual Surat Utang Negara (SUN) kepada Bank Indonesia (BI) dengan nilai yang cukup fantastis, yaitu Rp150 triliun.

“Pembelian surat utang ini merupakan langkah strategis untuk menjaga likuiditas pasar dan mendukung pembiayaan pemerintah. Namun, sinergi ini harus tetap berada dalam koridor independensi BI agar tidak memicu persepsi negatif di pasar,” kata Arianto kepada Kabarbursa.com,  Jumat, 3 Januari 2025.

Menurut Arianto, pembelian surat utang negara ini memang memiliki dampak positif untuk jangka pendek, yaitu menjaga stabilitas pasar keuangan. Likuiditas tambahan yang disuntikkan oleh BI mampu meredam gejolak pasar obligasi domestik dan menenangkan investor. Namun, di sisi lain, ia mengingatkan risiko jangka panjang yang mengintai, mulai dari potensi inflasi hingga ketergantungan fiskal yang berlebihan pada otoritas moneter.

Arianto menyoroti bahwa pembelian obligasi ini dapat menjadi sinyal bahwa pemerintah menghadapi tantangan besar dalam menarik pembiayaan dari pasar, khususnya di tengah kondisi global yang sulit.

“Dengan rasio utang terhadap PDB yang meningkat, beban fiskal menjadi lebih berat. Meski posisi cadangan devisa cukup kuat, langkah ini bisa meningkatkan kekhawatiran investor jika dianggap sebagai sinyal ketergantungan pemerintah pada BI,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan, dalam jangka panjang, tekanan inflasi berpotensi meningkat jika kebijakan ini tidak diiringi dengan pengelolaan moneter yang ketat. Selain itu, penurunan akses sektor swasta terhadap kredit juga bisa terjadi, karena perhatian lebih banyak tertuju pada pembiayaan pemerintah.

Dukung Pemulihan Ekonomi

Meski kebijakan ini dinilai cukup efektif untuk mendukung pemulihan ekonomi, Arianto menegaskan bahwa manfaatnya akan terbatas tanpa reformasi struktural.

“Efisiensi alokasi anggaran pemerintah menjadi kunci. Konsolidasi fiskal jangka menengah harus dilakukan agar dampak positif tidak tergerus oleh peningkatan beban utang,” katanya.

Selain itu, pemerintah perlu mengoptimalkan penerimaan pajak dan mempercepat reformasi sektor keuangan untuk menarik lebih banyak investor domestik dan asing. Menurutnya, pengembangan pasar obligasi domestik juga harus menjadi prioritas untuk mengurangi ketergantungan pada BI.

Arianto juga menyoroti pentingnya komunikasi kebijakan yang transparan dan konsisten antara pemerintah dan BI.

“Kebijakan ini, jika terlalu agresif, dapat mempengaruhi persepsi risiko fiskal Indonesia di pasar global, yang pada akhirnya berpotensi menurunkan peringkat utang negara dan meningkatkan biaya pinjaman internasional,” tambahnya.

Ia menilai bahwa transparansi menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan pasar global. Pemerintah dan BI harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya berorientasi pada jangka pendek, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Sebagai alternatif, Arianto menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada penguatan pendapatan negara melalui optimalisasi pajak dan efisiensi belanja.

“Sinergi antara BI dan pemerintah harus diarahkan untuk menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang, tanpa mengorbankan inflasi dan risiko fiskal,” ujarnya.

Seperti ditulis,  PT Bank Central Asia Tbk (BCA) memberikan tanggapan positif terkait aksi Bank Indonesia (BI) memborong Surat Utang Negara (SUN) senilai Rp150 triliun.(*)