Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Sri Mulyani Akui Aturan PPN 12 Persen Kurang Ideal, kok Bisa?

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 07 January 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Sri Mulyani Akui Aturan PPN 12 Persen Kurang Ideal, kok Bisa?

KABARBURSA.COM - Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131/2024 tetap memberlakukan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen untuk semua barang dan jasa.

Meski demikian, dasar pengenaan pajaknya (DPP) dibagi menjadi dua kategori, yakni untuk barang mewah dan non-mewah.

Dalam aturan tersebut, pengenaan PPN untuk barang mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12 persen dengan DPP berupa harga jual atau nilai impor sebesar 12/12.

Sementara itu, untuk barang dan jasa non-mewah, pengenaan PPN dihitung dengan tarif yang sama tetapi menggunakan DPP sebesar 11/12 dari harga jual, nilai impor, atau nilai pengganti.

Dengan mekanisme ini, secara efektif tarif PPN yang dikenakan pada barang dan jasa non-mewah menjadi 11 persen, meski secara aturan tetap tercantum 12 persen.

Kebijakan ini memicu kritik karena dianggap membingungkan dan berpotensi menambah kerumitan administrasi. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa langkah tersebut diambil untuk menyederhanakan proses administrasi perpajakan.

“Kita mencoba mengoptimalkan ruangan yang ada dengan tetap menjaga aturan hukumnya itu sendiri meskipun mungkin tidak ideal,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Senin, 7 Januari 2024.

Bendahara negara itu menekankan bahwa setiap kebijakan pemerintah selalu mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk aspek politik, hukum, serta mitigasi dampak yang mungkin timbul. Jika kebijakan berpotensi menambah beban masyarakat, pemerintah siap menerima kritik dan merespons reaksi yang muncul.

Menurutnya, resistensi terhadap kebijakan baru adalah hal yang wajar, terutama jika masyarakat belum sepenuhnya memahami tujuan aturan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah berupaya terus melakukan sosialisasi agar kebijakan baru bisa diterima dengan baik.

“Ini yang kami terus mengkomunikasikan dan menyampaikan agar masyarakat paham. Saya tahu bahwa tidak selalu beritanya menyenangkan, tapi pada akhirnya seluruh Indonesia, seluruh lapisan, seluruh ekonomi, harus dikelola bersama,” ujarnya.

Langkah Strategis Nasional

Sebelumnya, Ketua Dewan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudi Sadewa menyebut penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen yang hanya berlaku untuk barang-barang mewah dinilai sebagai langkah strategis untuk mendorong daya beli produk lain di kalangan masyarakat Indonesia.

Pihaknya menyambut positif kebijakan pengkategorian kenaikan PPN tersebut. Menurutnya, langkah ini akan memberikan dampak yang baik bagi perekonomian nasional.

Perubahan ini dianggap mencerminkan pergeseran fokus pemerintah, dari awalnya bertujuan meningkatkan pendapatan negara melalui pajak, kini lebih diarahkan untuk menguatkan daya beli masyarakat.

“Kalau saya bilang ini agak berbalik 180 derajat. Walau tidak kelihatan gamblang tapi bagi saya kelihatan sekali,” ujar Purbaya di kantor BEI, Jakarta Selatan, Kamis, 2 Januari 2025.

Purbaya menjelaskan bahwa kenaikan PPN hanya diberlakukan pada barang-barang mewah, sementara tarif PPN untuk kategori lainnya tetap stabil. Namun, ia tidak merinci secara spesifik barang apa saja yang masuk dalam kategori mewah.

“PPN tidak naik, mewah saja. Tapi sudah dihitung untuk mengurangi dampak PPN sebelumnya kan tetap dikeluarkan. Tidak dipotong,” ungkapnya.

Ia optimistis kebijakan ini akan memberikan stimulus positif pada ekonomi Indonesia, terutama dalam mendorong pertumbuhan konsumsi serta mempercepat pemulihan ekonomi nasional.

“Daya beli masyarakat bertambah, ekonomi akan bertumbuh lebih cepat. Demand juga akan makin tumbuh,” katanya.

Waspada Perluasan PPN

Sementara itu, Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana mengatakan, kontribusi barang mewah dalam basket Indeks Harga Konsumen (IHK) terbilang kecil.

Jika kebijakan kenaikan PPN hanya diterapkan pada barang-barang yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), maka efeknya terhadap inflasi akan minim.

“Kalau kenaikan PPN ini benar-benar hanya berlaku untuk barang mewah, sebenarnya dampaknya terhadap inflasi sulit besar. Kontribusi barang-barang tersebut terhadap basket IHK tidak signifikan,” ujar Andri ketika dihubungi kabarbursa.com, Sabtu, 4 Januari 2025.

Namun, Andri menyoroti potensi perluasan kebijakan ini di masa depan. Menurutnya, kekhawatiran terbesar adalah seberapa lama kebijakan tersebut akan bertahan hanya untuk barang mewah.

“Yang kita khawatirkan adalah sejauh mana kebijakan ini bertahan untuk barang mewah saja. Apalagi, potensi tambahan penerimaan PPN yang dihasilkan hanya sekitar 10 persen dari rencana awal,” jelasnya.

Andri menambahkan bahwa pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk memperbarui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) secara cepat dan sepihak, sehingga kemungkinan perluasan cakupan PPN menjadi hal yang patut diwaspadai.

“Pemerintah sangat mudah memperbarui PMK ini dengan cepat dan sepihak. Itu yang membuat kebijakan ini berpotensi merambat ke sektor lain,” tutupnya. (*)