KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani buka suara soal pembatalan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen, yang tadinya diprediksi bisa mengisi kas negara hingga Rp75 triliun.
Dalam konferensi pers APBN KiTA di Kementerian Keuangan, Jakarta, pada 6 Januari 2024, Sri Mulyani menyatakan bahwa dinamika pengelolaan anggaran untuk 2025 masih terbuka dan akan terus diperbarui.
“Kalau mengenai pengelolaan APBN 2025, nanti ada penerimaan yang tidak jadi diterima dan lain-lain, ini kan dinamikanya masih 12 bulan ke depan,” ujar Sri Mulyani.
Perempuan yang akrab di sapa Ani itu mengungkapkan bahwa pemerintah akan terus memantau perkembangan situasi ekonomi dan fiskal negara. “Jadi kita akan terus update setiap bulan, saya harap temen temen bersabar mengikuti perkembangan APBN 2025,” tambahnya.
Bendahara negara itu paham jika pemerintah perlu melakukan langkah mitigasi untuk menghadapi berbagai konsekuensi akibat kebijakan yang telah diambil. Meskipun kebijakan sering kali harus dijalankan berdasarkan undang-undang
“Dalam menghadapi ekonomi, sosial, dan berbagai macam kondisi yang bergerak, ya memang APBN di satu sisi ditetapkan berdasarkan oleh undang-undang dan oleh karena itu harus dijalankan,” terangnya.
Kendati demikian, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa pemerintah tetap memiliki ruang untuk melakukan manuver apabila masih dalam koridor hukum yang ada. Tapi di sisi lain, kalau ada ruang untuk manuver tetap kita lakukan di dalam koridor undang-undang,” tambahnya.
Keputusan untuk membatalkan rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen yang seharusnya diberlakukan pada 1 Januari 2025 diumumkan tepat pada H-1 sebelum aturan itu diterapkan.
Presiden Prabowo Subianto memutuskan pada malam 31 Desember 2024 bahwa kenaikan PPN 12 persen hanya akan berlaku untuk barang mewah yang sebelumnya sudah dikenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Padahal, kenaikan PPN itu dapat meningkatkan pendapatan negara hingga Rp75 triliun. Namun, desakan dari masyarakat dan dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan membuat pemerintah memutuskan untuk membatasi kenaikan PPN hanya pada barang-barang mewah.
Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani mengungkapkan pentingnya keseimbangan antara keputusan politik, aturan hukum, dan dampaknya terhadap masyarakat.
“Pada saat masyarakat mengalami beban, tentu ini akan menimbulkan suatu reaksi yang negatif. Kadang-kadang beban bukan karena sesuatu yang diinginkan, tapi karena adanya kejutan yang kemudian harus kita kelola bersama,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa komunikasi yang jelas kepada masyarakat menjadi kunci agar mereka memahami konteks kebijakan dan dampak yang mungkin timbul.
“Ini yang kami terus komunikasikan, agar masyarakat paham,” tuturnya.
Waspada Perluasan PPN 12 Persen
Di lain pihak, Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana mengingatkan terkait potensi perluasan kebijakan ini di masa depan. Menurutnya, kekhawatiran terbesar adalah seberapa lama kebijakan tersebut akan bertahan hanya untuk barang mewah.
“Yang kita khawatirkan adalah sejauh mana kebijakan ini bertahan untuk barang mewah saja. Apalagi, potensi tambahan penerimaan PPN yang dihasilkan hanya sekitar 10 persen dari rencana awal,” ujar Andri kepada kabarbursa.com, Sabtu, 4 Januari 2025.
Kewaspadaan ini, kata Andri, cukup beralasan karena pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk memperbarui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) secara cepat dan sepihak, sehingga kemungkinan perluasan cakupan PPN menjadi hal yang patut diwaspadai.
“Pemerintah sangat mudah memperbarui PMK ini dengan cepat dan sepihak. Itu yang membuat kebijakan ini berpotensi merambat ke sektor lain,” tutupnya.
Pengamat Pasar Uang, Ibrahim Assuaibi menilai, langkah pemerintah mengumumkan peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen sebagai upaya menjaga konsumsi masyarakat kelas menengah ke atas.
Ia menilai penerapan tarif PPN 12 persen untuk barang-barang mewah dapat memberi dampak positif terhadap konsumsi masyarakat.
“PPN 12 persen itu hanya diterapkan untuk barang-barang kelas atas, seperti pesawat dan rumah dengan harga di atas 35 miliar. Ini sebenarnya merespon baik keinginan masyarakat dan ekonom, di mana konsumsi dari kalangan atas akan tetap mendorong perekonomian,” jelasnya.
Sementara untuk kalangan menengah ke bawah, pemerintah telah menyiapkan paket stimulus senilai Rp 38,6 triliun untuk membantu masyarakat, termasuk bantuan pangan untuk 16 juta penerima.
Menurutnya hal inj dapat mengurangi beban ekonomi masyarakat. Dia mencontohkan salah satunya seperti diskon 50 persen untuk biaya listrik selama dua bulan.
Meski diskon ini hanya bersifat sementara dan bisa jadi tidak cukup untuk mengatasi tantangan jangka panjang, terutama ketika harga barang pokok diperkirakan akan terus naik. Setidaknya kata dia diskon tersebut memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengalokasikan dana mereka untuk kebutuhan lain atau menabung.
“Biasanya stimulus besar diberikan menjelang pilpres atau pilkada, namun di 2025, pemerintah akan memberikan stimulus luar biasa. Ini akan berdampak pada daya beli masyarakat, terutama yang dari kelas bawah,” ungkapnya.
Tapi, dengan adanya kebijakan pemerintah untuk menghentikan impor gula, beras, dan garam yang diputuskan pemerintah untuk dilakukan pada 2025 berpotensi menekan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.
“Harga barang-barang ini pasti akan naik, dan ini berpotensi membuat inflasi semakin meningkat,” ujarnya.
Namun, inflasi yang terjadi di Indonesia, menurutnya, masih terkendali, terutama dengan adanya intervensi dari pemerintah dalam bentuk bantuan sosial (bansos) dan stimulus.
“Target pemerintah untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2025 adalah 8 persen. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan memperkuat konsumsi masyarakat. Itu bisa dicapai dengan kebijakan stimulus besar-besaran,” katanya. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.