KABARBURSA.COM – Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (PUSHET), Bisman Bakhtiar, memberikan pandangan yang lebih hati-hati terkait rencana pemerintah untuk mencapai 50 persen penggunaan biodiesel pada 2026.
Menurut Bisman, meskipun kebijakan ini memiliki potensi positif dalam hal ketahanan energi dan pengurangan emisi gas rumah kaca, ada beberapa dampak yang perlu dipertimbangkan lebih dalam, khususnya terkait sektor kelapa sawit dan lingkungan.
Bisman menyambut baik langkah pemerintah untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan melalui biodiesel, yang dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, terutama solar.
"Target 50 persen biodiesel pada 2026 dari sisi energi terbarukan cukup bagus karena dapat meningkatkan kemandirian energi, mengurangi impor BBM, serta menurunkan emisi gas rumah kaca," ujar Bisman kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Senin, 6 Januari 2025.
Namun, Bisman mengingatkan bahwa ada dampak negatif yang perlu diperhatikan terkait kebijakan ini, khususnya bagi sektor kelapa sawit.
“Dari aspek lingkungan, kebijakan ini justru membawa potensi masalah besar. Semakin besar kebutuhan biodiesel, maka semakin masif pula penggunaan hutan dan lahan untuk perkebunan sawit. Ini tentunya akan meningkatkan potensi konflik lahan dan pencemaran tanah serta air di kawasan perkebunan sawit,” ungkap Bisman.
Selain itu, Bisman menilai bahwa kebijakan ini dapat memperburuk ketidakstabilan harga minyak sawit di pasar domestik dan internasional.
“Harga dan permintaan minyak sawit akan semakin fluktuatif, cenderung meningkat. Ini bisa menyebabkan ketidakstabilan harga dan menjadi pemicu inflasi,” tambahnya.
Bisman juga mengkhawatirkan terjadinya pertentangan dalam penggunaan sawit, yang selama ini telah menjadi bahan baku utama minyak goreng.
“Jika penggunaan sawit untuk biodiesel meningkat, maka akan ada pertentangan prioritas peruntukan sawit, antara untuk biodiesel atau minyak goreng. Jika ini tidak dikelola dengan baik, kita bisa menghadapi krisis pangan, terutama terkait harga minyak goreng yang semakin melambung,” tegasnya.
Untuk itu, Bisman menyarankan agar pemerintah segera menetapkan kebijakan yang lebih terperinci mengenai alokasi sawit untuk biodiesel.
“Harus ada regulasi yang jelas tentang batasan dan proporsi alokasi sawit untuk biodiesel. Selain itu, kita juga perlu dorong diversifikasi dan inovasi teknologi yang tidak bergantung sepenuhnya pada sawit, namun juga bisa mencari alternatif sumber energi lain sebagai substitusi,” pungkasnya.
Sebagai solusi jangka panjang, Bisman berharap pemerintah dapat mengembangkan teknologi yang lebih ramah lingkungan dan sumber energi terbarukan yang lebih beragam. Hal ini bertujuan agar ketergantungan pada kelapa sawit dapat diminimalkan, sehingga dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang lebih besar dapat dihindari di masa depan.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengungkapkan bahwa penerapan program bahan bakar solar dengan campuran biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen atau B40 mulai 1 Januari 2025 akan berdampak terhadap peningkatan konsumsi biodiesel di Indonesia.
Dalam perhitungan GAPKI, penerapan B40 akan meningkatkan konsumsi biodiesel dalam negeri hingga sebanyak 3 juta ton. Secara total, program tersebut membutuhkan setidaknya 15,6 juta kiloliter (kl) atau setara dengan 14 juta ton bahan baku minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Namun demikian, Ketua GAPKI Eddy Martono menyampaikan bahwa berdasarkan data tersebut, kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah berpotensi memberi dampak besar terhadap sektor kelapa sawit, utamanya terkait volume ekspor dan harga minyak kelapa sawit global.
Menurut GAPKI, ekspor produk CPO dan PKO menurun sebesar 2,38 persen dari 33,15 juta ton pada tahun 2022 menjadi 32,21 juta ton pada tahun 2023. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa nilai ekspor kelapa sawit Indonesia pada tahun 2023 mencapai USD24,99 miliar, mengalami penurunan sebesar 19,39 persen dibandingkan tahun 2022.
Sementara pada 2024, ekspor CPO Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada bulan Januari 2024, ekspor CPO tercatat sebesar 347.044 ton, melanjutkan total ekspor CPO pada tahun 2023 yang mencapai 3.595.946 ton. Pada bulan Februari 2024, realisasi ekspor CPO meningkat drastis, mencapai 2,17 juta ton. Secara keseluruhan, pada semester I tahun 2024, volume ekspor CPO mengalami lonjakan sebesar 39,71 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023, dari 1.249.000 ton menjadi 1.745.000 ton.
“Jika konsumsi biodiesel meningkat, sementara produksi CPO masih stagnan, maka ekspor akan berkurang sekitar 2 hingga 3 juta ton. Dan kondisi ini dapat memicu lonjakan harga minyak nabati dunia, seperti minyak sawit mentah,” jelas Eddy kepada Kabarbursa.com, Senin, 6 Januari 2025.
Saat ini, produksi CPO diproyeksi akan turun sebesar 4,4 persen pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari 54,844 juta ton pada 2023 menjadi 52,449 juta ton. Pada tahun 2023, GAPKI melaporkan bahwa konsumsi minyak sawit domestik mencapai 25,4 juta ton, meningkat 9,08 persen dari 23,28 juta ton pada tahun 2022. Konsumsi biodiesel mendominasi dengan penyerapan 11,6 juta ton.
GAPKI memperkirakan konsumsi minyak sawit domestik akan meningkat menjadi 27,4 juta ton, dengan tambahan 2 juta ton untuk biodiesel (proyeksi konsumsi B40). Namun, data hingga September 2024 menunjukkan penurunan konsumsi domestik dengan rincian September 2024 tercatat 1,989 juta ton, lebih rendah dari Agustus yang mencapai 2,060 juta ton.
Lebih jauh, apabila pemerintah melanjutkan program peningkatan penggunaan biodiesel menjadi B50, Eddy menegaskan bahwa akan memicu dampak yang jauh lebih besar. “Contohnya akan menyebabkan penurunan ekspor sekitar 6 juta ton. Hal ini akan semakin membatasi pasokan CPO untuk pasar internasional,” ungkap dia.
Untuk merespons hal ini, GAPKI menekankan perlunya kebijakan yang lebih holistik dan berkelanjutan untuk memastikan sektor kelapa sawit tetap berkembang tanpa mengorbankan ekspor. Selain itu, sektor hilir, seperti oleokimia dan pangan, juga akan merasakan dampaknya, mengingat ketergantungan pada CPO sebagai bahan baku utama.
Dalam menghadapi potensi penurunan ekspor ini, GAPKI berharap pemerintah dapat meningkatkan efisiensi produksi dalam negeri, memperkenalkan kebijakan yang mendukung diversifikasi produk kelapa sawit, dan menyiapkan pasar ekspor alternatif.
“Dukungan kepada petani sawit kecil juga harus terus diperkuat agar mereka tidak terlalu terdampak oleh fluktuasi harga pasar,” pungkas Eddy. (*)