Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Panik Awal Tahun, Bursa Saham China Minta Fund Manager Tahan Aksi Jual

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 06 January 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Panik Awal Tahun, Bursa Saham China Minta Fund Manager Tahan Aksi Jual

KABARBURSA.COM - Pasar saham China mengawali tahun dengan drama. Bursa saham utama di Shanghai dan Shenzhen dikabarkan meminta beberapa manajer reksa dana besar untuk menahan diri dari aksi jual saham secara masif di awal tahun. Menurut tiga sumber yang memahami situasi tersebut, langkah ini dilakukan demi menjaga stabilitas pasar di tengah periode krusial bagi ekonomi terbesar kedua di dunia.

Pada 31 Desember, serta 2 dan 3 Januari, setidaknya empat reksa dana besar mendapat panggilan dari bursa tersebut. Pesan itu berisi agar mereka diminta untuk membeli lebih banyak saham dibandingkan menjualnya setiap hari.

Aksi ini terjadi ketika pasar saham China memulai tahun 2025 dengan keadaan terpuruk. Kekhawatiran atas ancaman Presiden AS terpilih Donald Trump yang akan mengenakan tarif tinggi pada barang-barang China memperburuk sentimen ekonomi yang sudah lesu.

Sumber tersebut menjelaskan, meskipun reksa dana masih diperbolehkan menjual saham, jika nilai penjualan melebihi pembelian, mereka harus segera menambah posisi untuk menyeimbangkan portofolio. “Arahan seperti ini cenderung menjadi kebiasaan rutin,” kata sumber itu, dikutip dari Reuters di Jakarta, Senin, 6 Januari 2025.

Meski begitu, sumber-sumber ini tidak dihubungi langsung oleh bursa, melainkan mengetahui diskusi tersebut dari jaringan informasi internal mereka. Karena isu ini sensitif, mereka meminta anonimitas. Sementara itu, bursa saham Shanghai dan Shenzhen belum merespons permintaan komentar dari Reuters.

Pasar Saham dan Gejolak Politik

[caption id="attachment_106564" align="alignnone" width="1199"] Seorang pejalan kaki melewati Bursa Efek Shanghai di Area Baru Pudong. Foto: Wang Gang/untuk China Daily[/caption]

Indeks CSI 300, yang berisi saham-saham unggulan di China, anjlok 2,9 persen pada hari perdagangan pertama 2025. Penurunan saham ini mencatat awal tahun terburuk sejak 2016. Pekan lalu, indeks tersebut kehilangan lebih dari 5 persen nilainya.

Dengan hanya dua pekan menjelang pelantikan Trump sebagai Presiden AS untuk periode kedua, ancaman tarif besar-besaran telah mengguncang yuan dan membuat imbal hasil obligasi serta harga saham di bursa daratan China turun tajam.

Permintaan kepada investor besar ini hanyalah satu dari berbagai upaya otoritas untuk menstabilkan sentimen pasar. Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah China meluncurkan program swap dan skema relending senilai total 800 miliar yuan (sekitar Rp1.700 triliun) untuk mendukung pembelian saham.

Di akhir pekan, bursa Shanghai dan Shenzhen menyampaikan mereka telah bertemu dengan lembaga keuangan asing untuk meningkatkan kepercayaan investor. Dalam Konferensi Kerja Ekonomi Pusat Desember lalu, pemerintah menegaskan stabilisasi pasar saham dan properti sebagai prioritas utama untuk 2025.

Meski pasar saham China mencatat kenaikan tahunan pertama sejak 2020 dengan penguatan 14,7 persen pada 2024, sebagian besar keuntungan tersebut berasal dari reli singkat setelah pengumuman paket stimulus pada September. Namun, permintaan serupa dari bursa kepada manajer dana besar juga sempat terjadi pada awal 2024, ketika pasar saham anjlok ke titik terendah dalam lima tahun.

Longgarkan Aturan Investasi Asing

[caption id="attachment_106770" align="alignnone" width="900"] Bursa Efek Shenzhen di Shenzhen, Provinsi Guangdong di China Selatan, Senin, 24 Agustus 2020. Foto: Xinhua/Mao Siqian.[/caption]

China makin membuka pasar modalnya dengan melonggarkan regulasi investasi asing pada perusahaan yang terdaftar di bursa saham domestik. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas emiten di pasar saham A-share dan menambah likuiditas di pasar tersebut. A-share merujuk pada saham perusahaan yang berbasis di China daratan dan diperdagangkan di dua bursa utama negara itu, yaitu Bursa Efek Shanghai (SSE) dan Bursa Efek Shenzhen (SZSE).

Dilansir dari China Daily, peraturan baru ini mulai berlaku pada 2 Desember 2024 setelah diumumkan bersama oleh enam kementerian, termasuk Kementerian Perdagangan China dan China Securities Regulatory Commission (CSRC). Salah satu perubahan signifikan adalah diperbolehkannya perorangan asing untuk berinvestasi di perusahaan publik China. Sebelumnya, hanya institusi atau badan hukum asing yang diizinkan melakukan investasi jenis ini.

Selain itu, aturan modal juga dipermudah. Jika sebelumnya investor asing harus memiliki aset nyata minimal USD100 juta (setara Rp1,6 triliun) atau mengelola USD500 juta (sekitar Rp8 triliun), kini ambang batas tersebut diturunkan menjadi USD50 juta (sekitar Rp800 miliar) dan USD300 juta (setara Rp4,8 triliun). Namun, pelonggaran ini berlaku jika investor asing tersebut bukan sebagai pemegang saham pengendali pada perusahaan yang ia target.

Fleksibilitas lebih juga diberikan dalam metode pembayaran. Jika sebelumnya investor hanya bisa menggunakan skema private placement atau perjanjian transfer saham, kini mereka diperbolehkan melakukan tender offer alias penawaran pembelian saham. Bahkan, investor asing dapat menggunakan saham perusahaan non-publik di luar negeri sebagai alat pembayaran akuisisi.

Salah satu perubahan yang cukup menarik perhatian adalah terkait periode lock-up bagi saham yang dibeli investor asing. Lock-up merujuk pada jangka waktu tertentu di mana pemegang saham tidak diizinkan menjual atau memindahkan saham yang dimilikinya setelah diperoleh, baik melalui penawaran umum perdana (IPO), investasi strategis, maupun akuisisi lainnya.

Jika sebelumnya investor di China harus menahan saham minimal 3 tahun, kini periode tersebut dipangkas menjadi 12 bulan. Langkah ini dinilai mampu menurunkan risiko investasi asing dan memberikan stabilitas bagi perusahaan tercatat di China.

Associate Dean di PBC School of Finance, Universitas Tsinghua, Tian Xuan, mengatakan aturan baru ini memberikan fleksibilitas lebih besar serta menurunkan biaya investasi bagi investor asing. Sementara itu, ambang batas kepemilikan saham strategis asing yang semula ditetapkan di angka 10 persen kini diturunkan menjadi hanya 5 persen.

Konsultan senior di Everbright Law Firm, Xue Yangyang, menilai pelonggaran aturan ini akan mendorong investor asing mengadopsi strategi investasi yang lebih beragam. Dengan kebijakan baru tersebut, investor memiliki fleksibilitas lebih besar dalam menyesuaikan struktur portofolio mereka, sambil mempertimbangkan mekanisme exit, aliran modal, dan tata kelola perusahaan yang lebih efektif.(*)