Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Sri Mulyani Buka-bukaan soal Rupiah dan IHSG Anjlok, Ini Penyebabnya

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 06 January 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Sri Mulyani Buka-bukaan soal Rupiah dan IHSG Anjlok, Ini Penyebabnya

KABARBURSA.COM – Menteri Keuangan Sri Mulyani blak-blakan soal pelemahan nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang 2024. Ia menegaskan, tekanan luar biasa yang terjadi di semester pertama menjadi biang kerok kondisi tersebut.

Sri Mulyani mengajak publik untuk mengingat kembali situasi pada paruh pertama 2024. Menurutnya, saat itu fenomena El Niño yang mulai muncul di akhir 2023 semakin parah, menyebabkan kekeringan dan lonjakan harga pangan global.

“Di Indonesia sendiri inflasi gara-gara volatile food itu meningkat,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Senin, 6 Januari 2025.

Bendahara negara ini menjelaskan, inflasi pada semester pertama 2024 mencapai 3,1 persen, melebihi asumsi yang ditetapkan. Kondisi inilah yang memberi tekanan besar terhadap rupiah dan pasar saham.

Lebih lanjut, Sri Mulyani menyebut rupiah terdepresiasi cukup tajam, dari Rp15.416 di akhir Desember 2023 menjadi Rp16.421 pada Juni 2024.

Hal ini, katanya, dipicu oleh ketidakpastian global, kenaikan harga pangan, dan fluktuasi harga BBM. Saat itu, harga minyak yang tinggi mendorong bank sentral AS (The Fed) untuk menahan laju penurunan suku bunga acuan.

“Sehingga rupiah alami depresiasi yang cukup tajam,” jelasnya.

Tak hanya rupiah, IHSG pun tak luput dari tekanan. Kebijakan higher for longer dan arus modal keluar (capital outflow) memperburuk situasi. Dari posisi 7.272,8 pada akhir 2023, IHSG turun menjadi 7.063,6 pada pertengahan 2024.

Sri Mulyani menambahkan, Surat Berharga Negara (SBN) turut terkena dampak dari ketidakpastian global dan gejolak harga komoditas.

“SBN kita mengalami posisi yield tertinggi pada semester 1, yaitu pada bulan April dan Juni hingga mencapai 7,2 persen. Padahal, pada bulan Desember 2023 yield dari SBN 10 tahun masih di 6,5 persen,” terangnya.

Menurutnya, tekanan ini menyebabkan lonjakan yield SBN hampir 700 basis poin, menambah beban di sektor keuangan.

“Tekanan terhadap rupiah, tekanan terhadap saham, capital outflow juga menekan SBN kita. Jadi kenaikan (SBN) hampir 700 basis point,” ujar Sri Mulyani.

Dampak lainnya adalah kontraksi penerimaan negara sebesar 6,2 persen di semester pertama 2024, bertolak belakang dengan proyeksi pertumbuhan dalam APBN.

“Ini tentu tidak terlepas dari situasi geopolitik di semester 1 yang luar biasa. El Niño tadi menyebabkan pergerakan harga pangan, geopolitik menimbulkan ketidakpastian ekonomi dari perekonomian size kedua terbesar, Tiongkok, yang mengalami pelemahan. Harga minyak sempat melonjak karena krisis di Timur Tengah,” ungkapnya.

Namun, memasuki semester kedua, tekanan mulai berkurang. Kebijakan dari berbagai negara, serta pulihnya harga batu bara, nikel, dan CPO membantu stabilisasi.

“Penerimaan negara mengalami turnaround. Sehingga pada akhir tahun kita bisa melihat penerimaan negara masih tumbuh positif, yaitu di 2,1 persen,” tambah Sri Mulyani.

Ia pun menegaskan, APBN tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global.

“APBN harus hadir melindungi masyarakat, melindungi ekonomi. Dalam suasana naik turun, gejolak, dan tekanan, APBN adalah instrumen utama untuk menjaga stabilitas,” tutupnya.

Defisit APBN

Sebelumnya, Sri Mulyani mengungkapkan Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 tercatat mencapai Rp507,8 triliun, atau setara 2,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Menurutnya, angka ini lebih tinggi dibanding defisit pada 2023 yang hanya sebesar Rp347,6 triliun atau 1,65 persen terhadap PDB.

“Betapa kita melihat tadi, 2,29 persen desain awal, memburuk ke 2,7 persen, dan kita mengembalikan lagi pada kondisi yang baik, yaitu APBN 2024 dijaga defisitnya di 2,29 persen,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, di Jakarta, Senin 6 Januari 2025.

Menurutnya, defisit APBN 2024 memang dirancang berada di level 2,29 persen dari PDB. Hal ini menunjukkan pemerintah telah memperkirakan defisit akan lebih besar dibanding tahun sebelumnya.

Sempat ada kekhawatiran defisit akan melebar hingga 2,7 persen karena tekanan makro ekonomi sepanjang semester I 2024 cukup berat.

Sejumlah faktor eksternal disebut-sebut menjadi pemicu, mulai dari kenaikan harga pangan akibat El Niño, lonjakan harga minyak, hingga perlambatan ekonomi China yang berdampak langsung pada prospek ekonomi Indonesia dan APBN.

Sri Mulyani juga menyoroti fluktuasi harga komoditas yang memengaruhi pendapatan negara. “Harga minyak sempat melonjak karena krisis di Timur Tengah, sementara harga batu bara yang biasanya menyumbang penerimaan signifikan bagi APBN masih rendah dan belum menunjukkan kenaikan,” tambahnya. (*)