Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

GAPKI Soroti Dampak Kebijakan B40 dan B50 terhadap Industri Sawit

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 06 January 2025 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
GAPKI Soroti Dampak Kebijakan B40 dan B50 terhadap Industri Sawit

KABARBURSA.COM – Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menyampaikan produksi crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah mengalami penurunan pada 2024.

Menurut Eddy, terdapat hubungan antara rencana pemerintah meningkatkan penggunaan biodiesel mencapai 40 persen (B40) pada 2025 dan 50 persen (B50) pada 2026 dan peningkatan konsumsi domestik terhadap CPO yang memengaruhi produksi tersebut. Pada gilirannya, hal ini memengaruhi volume ekspor CPO dan pendapatan petani sawit.

"Produksi CPO diperkirakan turun sebesar 4,4 persen pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari 54,844 juta ton pada 2023 menjadi 52,449 juta ton," ujar Eddy saat dihubungi oleh Kabarbursa.com, Senin, 6 Januari 2025.

Di saat yang sama, konsumsi biodiesel domestik pada 2024 diproyeksikan mencapai 11,10 juta ton dengan kenaikan 4,3 persen dari 10,64 juta ton pada tahun sebelumnya. "Kenaikan konsumsi biodiesel ini tentu berhubungan langsung dengan kebijakan B40 dan B50. Namun, ini juga berarti ada penurunan konsumsi untuk sektor pangan dan oleo chemical, masing-masing turun sebesar 1 persen dan 1,8 persen," lanjut Eddy.

Bagi petani sawit, penurunan ekspor CPO yang diperkirakan terjadi akibat peningkatan konsumsi domestik ini berpotensi menekan pendapatan mereka. Jika ekspor mengalami penurunan volume, maka akan ada ketimpangan antara pasokan dan permintaan internasional.

"Hal ini bisa berdampak pada harga jual sawit di pasar domestik dan internasional, yang pada gilirannya dapat memengaruhi pendapatan petani," jelas Eddy.

GAPKI juga mengingatkan bahwa meskipun kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar, implementasi B40 dan B50 harus mempertimbangkan dampak pada sektor kelapa sawit secara keseluruhan.

Menurut Eddy, diperlukan langkah-langkah strategis untuk memastikan bahwa sektor ini tetap berkembang secara berkelanjutan, termasuk melalui peningkatan efisiensi produksi, diversifikasi produk, dan penyiapan pasar ekspor alternatif.

Selain itu, GAPKI mendorong pemerintah untuk memberikan perhatian lebih terhadap petani sawit kecil yang rentan terhadap fluktuasi harga pasar. "Penting bagi pemerintah untuk terus memberikan dukungan kepada petani, termasuk dalam bentuk akses ke pasar yang lebih luas dan insentif yang mendorong produktivitas mereka," pungkas Eddy.

Sebagai solusi jangka panjang, GAPKI berharap adanya kebijakan yang seimbang, yang tidak hanya fokus pada pengurangan impor bahan bakar, tetapi juga memperhatikan kelangsungan hidup petani sawit dan keberlanjutan industri kelapa sawit Indonesia.

Implementasi B40 Harus Berdampak Positif

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengimplementasikan B40 pada awal 2025, dengan target yang akan diproduksi secara keseluruhan sepanjang tahun 2025, sebanyak 15,62 juta kiloliter.

B40 merupakan bahan bakar campuran solar sebanyak 60 persen dan bahan bakar nabati (BBN) dari kelapa sawit sebanyak 40 persen. Implementasi B40 dimulai pada 1 Januari 2025.

Angka tersebut diklaim pemerintah mencakup distribusi ke seluruh Indonesia, sehingga kesiapan dari sisi bahan baku dan rantai pasok menjadi prioritas utama pemerintah.

Di sisi lain, PT Pertamina (Persero) telah menyiapkan dua kilang utama untuk mendukung produksi bahan bakar campuran biodiesel 40 persen (B40), yaitu Refinery Unit III Plaju di Palembang dan Refinery Unit VII Kasim di Papua. Di mana, pencampuran bahan bakar solar dengan bahan bakar nabati akan dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga.

Forum Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI) berharap, implementasi B40 bisa mendorong harga Tanda Buah Segar (TBS) di tingkat petani bisa meningkat. Selain itu, secara nyata berdampak pada kesejahteraan petani swadaya.

“Dengan implementasi B40 ini, petani sawit swadaya juga harus merasakan dampaknya. Bahkan, rantai pasok idealnya melibatkan TBS dari petani sawit swadaya berkelanjutan,” ungkap Kepala Sekretariat FORTASBI Rukaiyah Rafik dalam keteranganya di Jakarta, Kamis 2 Januari 2024.

FORTASBI, kata Rukaiyah, terus mendorong good agricultural practices (GAP) dan sertifikasi sawit berkelanjutan, agar petani sawit swadaya bisa meningkatkan produktivitas kebun dan produknya diterima pasar global.

Selain itu, FORTASBI tengah mendorong hilirisasi sawit di tingkat petani sawit swadaya, salah satunya adanya pabrik CPO yang dimiliki kelompok petani sawit berkelanjutan atau yang telah memiliki sertifikasi ISPO atau RSPO.

“Hadirnya pabrik CPO, akan sangat memungkinkan petani melakukan hilirisasi produk kelapa sawit berkelanjutan. Tentunya, hal ini tidak akan terwujud kalau tidak ada dukungan dari berbagai pemangkukepentingan, terutama pemerintah,” katanya.

Rukaiyah menegaskan, FORTASBI pada 2025 ini, akan terus fokus membangun dampak (impact) untuk sawit berkelanjutan, dan berkolaborasi dengan para pemangkukepentingan agar petani sawit swadaya merasakan dampak positif dari berbagai kebijakan tata kelola sawit berkelanjutan.

“B40 idealnya dihasilkan dari produk bersertifikat, agar B40 bukan hanya produknya dapat mengurangi penggunaan BBM fosil yang berdampak pada iklim, tapi produksi B40 dihasilkan dari bahan baku kelapa sawit yang berkelanjutan,” tutup Rukaiyah. (*)