Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Inflasi Naik, Ekonom Sebut Daya Beli Masyarakat Melemah

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 04 January 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Inflasi Naik, Ekonom Sebut Daya Beli Masyarakat Melemah

KABARBURSA.COM - Inflasi bulanan tercatat naik 0,44 persen pada Desember 2024. Angka tersebut merupakan tertinggi dalam setahun terakhir. Menariknya, inflasi ini bahkan lebih tinggi dibandingkan Desember 2023, meskipun sebelumnya Indonesia sempat mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut.

Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana mengatakan, meski inflasi nampak terkendali secara tahunan (YoY), kondisi ini lebih mencerminkan daya beli masyarakat yang melemah ketimbang keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan harga.

“Kalau kita lihat angka inflasi YoY, memang terlihat rendah. Bank Indonesia (BI) dan pemerintah mengklaim ini sebagai keberhasilan pengendalian. Tapi perlu diingat, rendahnya inflasi saat ini bukan karena harga kebutuhan masyarakat murah dan terkendali, melainkan karena daya beli yang lesu,” kata Andri kepada kabarbursa.com, Sabtu, 4 Januari 2025.

Menurutnya, lemahnya daya beli masyarakat menahan harga-harga karena rendahnya permintaan. Situasi ini justru membuat banyak usaha terpaksa gulung tikar.

Andri juga menyoroti penurunan kelas pendapatan di hampir seluruh lapisan masyarakat, kecuali kelas atas, yang sebelumnya dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Menurutnya, fenomena ini menjadi indikator jelas bahwa harga barang tampak ‘terjangkau’ bukan karena pengendalian efektif, melainkan karena penurunan kemampuan masyarakat dalam berbelanja.

“Penurunan pendapatan di semua kelas kecuali kelas atas menunjukkan fenomena ini. Jadi, ini bukan soal harga barang makin terjangkau karena pengendalian, tapi lebih karena masyarakat memang kehilangan daya beli,” ujarnya.

Inflasi Desember 2024

Seperti diberitakan seberlumnya, BPS mencatat inflasi pada Desember 2024 mencapai 0,44 persen secara bulanan (month-to-month/mtm). Inflasi ini disebabkan oleh peningkatan permintaan barang dan jasa menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru).

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Pudji Ismartini mengatakan, kenaikan ini mendorong Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,33 pada November 2024 menjadi 106,80 di Desember 2024.

“Pada Desember 2024 terjadi inflasi sebesar 0,44 persen secara bulanan atau terjadi kenaikan indeks harga konsumen dari 106,33 pada November 2024 menjadi 106,80 pada Desember 2024,” ujar Pudji dalam konferensi pers secara hibrida di Kantor BPS, Jakarta, pada Kamis, 2 Januari 2025.

Secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi pada Desember 2024 tercatat sebesar 1,57 persen. Pudji menjelaskan bahwa angka inflasi tahunan tersebut sejalan dengan inflasi tahun kalender (year-to-date/ytd) karena menggunakan pembanding yang sama, yakni Desember tahun sebelumnya.

“Secara tahun kalender atau year-to-date terjadi inflasi sebesar 1,57 persen. Pada Desember year-on-year atau year-to-date akan sama karena pembandingnya sama, yakni Desember tahun lalu,” tambahnya.

Pudji menekankan bahwa inflasi bulanan pada Desember 2024 lebih tinggi dibandingkan November 2024 serta Desember 2023.

“Inflasi bulanan pada Desember 2024 lebih tinggi daripada November 2024 dan Desember 2023,” ungkapnya.

Kelompok yang memberikan kontribusi terbesar terhadap inflasi bulanan Desember 2024 adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau dengan inflasi sebesar 1,33 persen. Kelompok ini memberikan andil inflasi sebesar 0,38 persen.

“Kelompok penyumbang inflasi bulanan terbesar adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau dengan inflasi sebesar 1,33 persen dan memberi andil inflasi sebesar 0,38 persen,” jelas Pudji.

Menurut Pudji, komoditas utama yang dominan mendorong inflasi pada kelompok ini adalah telur ayam ras dan cabai merah yang masing-masing memberikan andil inflasi sebesar 0,06 persen.

“Adapun komoditas yang dominan mendorong inflasi pada kelompok ini adalah telur ayam ras dan cabai merah yang masing-masing memberi andil inflasi sebesar 0,06 persen,” katanya.

Selain itu, beberapa komoditas lain yang turut menyumbang inflasi antara lain ikan segar, cabai rawit, bawang merah, dan minyak goreng yang masing-masing memberikan andil inflasi sebesar 0,03 persen. Komoditas seperti bawang putih, sawi hijau, daging ayam ras, dan beras masing-masing menyumbang inflasi sebesar 0,01 persen.

“Sementara itu, terdapat juga komoditas lain yang memberikan andil inflasi antara lain ikan segar, cabai rawit, bawang merah, dan minyak goreng yang memberikan andil inflasi sebesar 0,03 persen. Kemudian, bawang putih, sawi hijau, daging ayam ras, dan beras masing-masing memberi andil inflasi sebesar 0,01 persen,” tutup Pudji.

Inflasi Melonjak di 35 Provinsi

Pudji juga mencatat, 35 provinsi di Indonesia mengalami inflasi. Sementara 3 provinsi lainnya mengalami deflasi.  Papua Pegunungan menjadi daerah dengan tingkat inflasi bulanan (mounth-to-mounth/mtm) tertinggi, yakni 2,39 persen. Sedangkan secara tahunan, tingkat Papua Pegunungan mencapai 5,36 persen. Sementara wilayah dengan tingkat deflasi terdalam terjadi di Maluku dengan angka sebesar 0,41 persen.

“Inflasi tertinggi terjadi di Papua Pegunungan sebesar 2,30 persen sementara deflasi terdalam di Maluku sebesar 0,41 persen,” ujarnya.

Faktor yang mempengaruhi tingginya inflasi di Papua Pegunungan adalah kenaikan harga dua komoditas utama, yakni sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret kretek mesin (SKM).

Sedangkan deflasi di Maluku dipengaruhi oleh penurunan harga beberapa komoditas pangan dan barang konsumsi.

Secara tahunan, lanjut Pudji, tren inflasi serupa juga terlihat dan kondisinya lebih mengenaskan karena terjadi di hampir seluruh provinsi. Sedangkan hanya Gorontalo yang mencatatkan deflasi sebesar 0,79 persen. Adapun komoditas yang memicu deflasi di Gorontalo adalah penurunan harga cabai rawit dan tomat. (*)