KABARBURSA.COM - Kementerian ESDM mengimplementasikan Biodiesel 40 (B40) pada awal 2025, dengan target yang akan diproduksi secara keseluruhan sepanjang tahun 2025, sebanyak 15,62 juta kiloliter.
B40 merupakan bahan bakar campuran solar sebanyak 60 persen dan bahan bakar nabati (BBN) dari kelapa sawit sebanyak 40 persen. Implementasi B40 dimulai pada 1 Januari 2025.
Angka tersebut diklaim pemerintah mencakup distribusi ke seluruh Indonesia, sehingga kesiapan dari sisi bahan baku dan rantai pasok menjadi prioritas utama pemerintah.
Di sisi lain, PT Pertamina (Persero) telah menyiapkan dua kilang utama untuk mendukung produksi bahan bakar campuran biodiesel 40 persen (B40), yaitu Refinery Unit III Plaju di Palembang dan Refinery Unit VII Kasim di Papua. Di mana, pencampuran bahan bakar solar dengan bahan bakar nabati akan dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga.
Forum Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI) berharap, implementasi B40 bisa mendorong harga Tanda Buah Segar (TBS) di tingkat petani bisa meningkat. Selain itu, secara nyata berdampak pada kesejahteraan petani swadaya.
"Dengan implementasi B40 ini, petani sawit swadaya juga harus merasakan dampaknya. Bahkan, rantai pasok idealnya melibatkan TBS dari petani sawit swadaya berkelanjutan," ungkap Kepala Sekretariat FORTASBI Rukaiyah Rafik dalam keteranganya di Jakarta, Kamis 2 Januari 2024.
FORTASBI, kata Rukaiyah, terus mendorong good agricultural practices (GAP) dan sertifikasi sawit berkelanjutan, agar petani sawit swadaya bisa meningkatkan produktivitas kebun dan produknya diterima pasar global.
Selain itu, FORTASBI tengah mendorong hilirisasi sawit di tingkat petani sawit swadaya, salah satunya adanya pabrik CPO yang dimiliki kelompok petani sawit berkelanjutan atau yang telah memiliki sertifikasi ISPO atau RSPO.
"Hadirnya pabrik cpo, akan sangat memungkinkan petani melakukan hilirisasi produk kelapa sawit berkelanjutan. Tentunya, hal ini tidak akan terwujud kalau tidak ada dukungan dari berbagai pemangkukepentingan, terutama pemerintah," katanya.
Rukaiyah menegaskan, FORTASBI pada 2025 ini, akan terus fokus membangun dampak (impact) untuk sawit berkelanjutan, dan berkolaborasi dengan para pemangkukepentingan agar petani sawit swadaya merasakan dampak positif dari berbagai kebijakan tata kelola sawit berkelanjutan.
"B40 idealnya dihasilkan dari produk bersertifikat, agar B40 bukan hanya produknya dapat mengurangi penggunaan BBM fosil yang berdampak pada iklim, tapi produksi B40 dihasilkan dari bahan baku kelapa sawit yang berkelanjutan," tutup Rukaiyah.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menanggapi rencana Presiden Prabowo Subianto yang ingin mendorong pengembangan biodiesel, khususnya bahan bakar minyak yang dicampur dengan sawit.
Dalam pernyataannya, Prabowo mengungkapkan bahwa tidak hanya program B35 yang akan dilanjutkan, tetapi juga akan dikembangkan hingga mencapai B50 dan B60.
Ketua Umum GAPKI Eddy Martono mengatakan bahwa rencana tersebut membuka peluang untuk mengoptimalkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Namun, ia menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam pelaksanaan program biodiesel, terutama jika produksi sawit masih stagnan.
Eddy menegaskan keyakinannya bahwa pemerintah tidak akan terburu-buru dalam menerapkan B50 jika produksi tidak memadai.
“Pemerintah pasti tidak akan gegabah dalam mengimplementasikan B50 selama produksi sawit stagnan,” kata Eddy dalam konferensi pers di Kantor Pusat Gapki, Jakarta, Selasa, 22 Oktober 2024,
Ia mewanti-wanti, jika tidak dihitung dengan tepat, program biodiesel berpotensi mengganggu ekspor sawit Indonesia, yang pada gilirannya dapat menurunkan devisa negara.
Eddy merinci bahwa jika B50 diterapkan dalam kondisi industri sawit saat ini, diperkirakan ekspor akan turun sekitar 6 juta ton. Sementara itu, jika B60 diterapkan, penurunan ekspor bisa mencapai 10 juta ton.
“Dengan B40 saja, jika diimplementasikan, ekspor kita bisa turun 2 juta ton. Jika kita memaksakan B50, kita berisiko kehilangan 6 juta ton dari rata-rata ekspor yang mencapai 30 juta ton,” jelasnya.
Salah satu dampak yang perlu diperhatikan adalah potensi inflasi yang dapat terjadi akibat berkurangnya pasokan ekspor sawit ke pasar global. Eddy menekankan bahwa Indonesia akan merasakan dampak tersebut, terutama dalam harga produk yang berbahan dasar sawit.
“Jika pasokan kita berkurang, harga minyak nabati di dunia akan naik, dan pada akhirnya akan berdampak pada inflasi domestik, mengingat mahalnya produk sawit,” tambah Eddy.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.