KABARBURSA.COM - Tahun ini pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka bersiap meluncurkan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Dengan biaya Rp800 miliar per hari secara nasional, program ini berupaya menyajikan makanan senilai Rp10.000 per porsi untuk 82,9 juta penerima hingga 2027.
Di tahun ini, pemerintah juga mengumumkan rencana besar lainnya, yakni menghentikan impor bahan makanan tertentu, termasuk beras. Langkah ini memunculkan banyak tanya, apakah stok beras lokal cukup untuk menopang program makan gratis ini? Apalagi, program MBG menargetkan 15-17 juta penerima manfaat hingga akhir 2025.
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia atau AEPI, Khudori, mencoba menjawab keresahan ini. Menurutnya, produksi beras dalam negeri masih cukup untuk mendukung pelaksanaan program di tahun pertama. “Jika semua sumber karbohidrat dari beras butuh sekitar 0,34 juta ton beras untuk 15 juta jiwa sasaran. Gak besar dan bisa dicukupi dari produksi domestik,” ujar Khudori saat dihubungi KabarBursa.com di Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.
Pemerintah memproyeksikan produksi beras 2025 mencapai 32,29 juta ton. Khudori optimistis target ini bisa tercapai dengan catatan kondisi iklim tetap normal sehingga rantai pasok tidak terganggu. Berdasarkan catatan Kementerian Koordinator Bidang Pangan, kebutuhan beras nasional pada 2025 diproyeksi mencapai 31 juta ton dengan perkiraan produksi surplus sedikit mencapai 1 juta ton. Kendati Bulog tidak melakukan impor beras, khudori menilai jumlah stok tersebut sudah cukup untuk memastikan ketersediaan pangan tetap aman.
Khudori menambahkan, selama periode 2019 hingga 2022, Bulog tidak melakukan Impor beras. Impor hanya terjadi pada tahun 2018, 2023 dan 2024. “Impor beras oleh Bulog biasanya berjumlah besar dan hanya terjadi di tahun tertentu,” kata Khudori.
Meski Bulog tak mengimpor beras hampir empat tahun, secara nasional Indonesia tetap mencatatkan kegiatan tersebut. Angka-angka dalam data Badan Pusat Statistik cukup bikin geleng-geleng kepala. Dari tahun ke tahun, total volume beras impor Indonesia melonjak. Pada 2018, impor beras mencapai angka spektakuler sebelum mulai berfluktuasi.
[caption id="attachment_109800" align="alignnone" width="1980"] Volume impor beras (dalam juta ton) dan nilai impornya (dalam triliun IDR) dari tahun 2018 hingga 2023.[/caption]
Tahun 2018 adalah puncaknya. Impor beras melesat hingga 2,25 juta ton dengan nilai fantastis sebesar USD1.037.128.300 (sekitar Rp16,59 triliun dengan kurs saat ini Rp16.000). Namun, begitu masuk tahun 2019, volume beras impor langsung merosot tajam menjadi 444.509 ton dengan nilai USD184.254 (sekitar Rp2,95 triliun). Pada 2020, impor beras kembali menurun drastis, yakni sebanyak 356.286 ton dengan nilai USD195.408 (sekitar Rp3,13 triliun).
Lalu masuk ke 2021, volume impor sedikit naik menjadi 407.741 ton dengan nilai mencapai USD183.801 (sekitar Rp2,94 triliun). Tahun 2022, volume impor kembali naik tipis ke 429.207 ton dengan nilai USD202.042 (sekitar Rp3,23 triliun).
Dan akhirnya, pada 2023, cerita berubah drastis. Impor beras Indonesia melonjak gila-gilaan ke 3,06 juta ton atau hampir 7 kali lipat dari tahun sebelumnya dengan nilai mencapai USD1.789.023 (sekitar Rp28,62 triliun).
[caption id="attachment_82684" align="alignnone" width="1079"] PERTANIAN - Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bertekad menjadikan lokasi Optimasi Lahan Rawa di Telaga Sari, Distrik Kurik, Merauke, sebagai laboratorium besar pertanian modern di Indonesia. (Foto: Instagram)[/caption]
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, percaya diri Indonesia bisa menutup rapat keran impor beras di 2025. Targetnya ambisius, yakni karena produksi beras mencapai 32 juta ton per tahun. “32 juta ton dalam setahun, Insyaallah kita capai di 2025,” kata Amran di Jakarta, Selasa, 9 Desember 2024 lalu.
Keyakinan ini didorong arahan Presiden Prabowo dalam program Astacita yang menempatkan swasembada pangan sebagai prioritas utama. Amran menegaskan, jika swasembada tercapai, impor bukan hanya tidak perlu, tapi juga dianggap sebagai tambahan masalah baru.
Ia pun memproyeksikan produksi beras pada 2025 bakal naik sekitar 1 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya. Meski angka ini terlihat kecil, Amran menilai dampaknya sangat signifikan. “Tambah 1 juta ton itu bukan angka sedikit, nilai ekonominya mencapai Rp12 triliun,” ujarnya.
[caption id="attachment_47255" align="alignnone" width="1425"] PETANI MILENIAL - Kementerian Pertanian mendorong keterlibatan generasi muda dalam dunia pertanian melalui program ‘Brigade Swasembada Pangan’. (Foto: Abbas Sandji/Kabar Bursa)[/caption]
Di tengah lantangnya gaung swasembada pangan, ada ironi besar yang sulit diabaikan: Indonesia terancam jadi importir beras terbesar di dunia. Alih-alih menyelesaikan masalah, program food estate yang diandalkan sebagai solusi justru mengundang kritik. Alih fungsi lahan sawah di Jawa semakin gila-gilaan, sementara ketergantungan pada impor beras malah makin jadi-jadi.
Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, tak segan mengkritik tajam. Menurutnya, kebijakan swasembada pangan ala Prabowo yang mengandalkan food estate adalah langkah yang salah arah. Bukannya menyentuh inti persoalan, kebijakan ini malah seperti menutup mata terhadap masalah paling mendasar, yakni alih fungsi lahan sawah di Jawa yang semakin tak terkendali.
“Kebijakan membuka lahan sawah baru di luar Jawa, termasuk food estate, sebagai kompensasi atas hilangnya sawah di Jawa, adalah kebijakan yang salah arah, mahal, dan berisiko sangat tinggi untuk ketahanan pangan kita,” kata Yusuf kepada KabarBursa.com, Selasa, 29 Oktober 2024, lalu.
Alih fungsi lahan sawah di Jawa terus menjadi masalah yang tak kunjung selesai, bahkan semakin masif. Data dari Next Policy mengungkapkan, selama enam tahun terakhir, luas lahan panen padi di Jawa turun drastis. Pada 2018, luasnya mencapai 11,38 juta hektare, tapi di 2023 angka itu tinggal 10,21 juta hektare. Penurunan lebih dari 10 persen ini jelas bukan sekadar angka, tapi alarm keras untuk ketahanan pangan.
Penyusutan lahan sawah ini tak lepas dari proyek-proyek strategis nasional (PSN) yang agresif yang justru sering menggusur sawah-sawah produktif. Tak hanya itu, penetapan lahan sawah yang dilindungi atau LSD di delapan provinsi sentra beras juga menunjukkan pola yang sama. Pada 2019, luas lahan baku sawah (LBS) di wilayah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur mencapai 3,97 juta hektare. Namun, pada 2021, angka itu menyusut menjadi 3,84 juta hektar dengan sekitar 136 ribu hektare sawah telah berubah fungsi.
Selain masalah alih fungsi lahan, Yusuf menyoroti angka impor beras yang kian mengkhawatirkan. Proyeksi impor beras Indonesia pada 2024 diperkirakan mencapai 5,17 juta ton yang jika terealisasi akan menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah, melampaui impor beras tahun 1999 yang mencapai 4,75 juta ton. Angka ini bahkan akan menempatkan Indonesia sebagai importir beras terbesar di dunia, mengalahkan Filipina yang rata-rata mengimpor 4 juta ton per tahun.
Ketergantungan pada impor beras ini dinilai sebagai tanda lemahnya ketahanan pangan dan risiko yang tinggi terhadap politik proteksionisme global. Pada 2023, ketika Indonesia mengimpor 3,06 juta ton beras, sebanyak 93 persen berasal hanya dari tiga negara, yakni Thailand, Vietnam, dan Pakistan. Ketergantungan pada negara tertentu untuk pasokan beras ini berpotensi mengganggu stabilitas harga dan ketersediaan beras di dalam negeri apabila terjadi krisis global atau kebijakan proteksionisme di negara-negara tersebut.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.