KABARBURSA.COM - Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Nurul Ichwan, menilai bahwa serbuan impor akan tetap menjadi tantangan besar bagi para pelaku industri di Indonesia.
Menurutnya, meskipun Indonesia memiliki potensi pasar domestik yang besar, ketidakseimbangan kebijakan perdagangan dan industri bisa menghambat pengembangan sektor-sektor strategis dalam negeri.
"Salah satu isu besar yang perlu diperhatikan adalah impor barang, baik yang legal maupun ilegal. Meskipun demand domestik cukup besar, jika kebijakan perdagangan dan investasi tidak selaras, maka yang terjadi adalah pengembangan industri dalam negeri justru terhambat," ujar Nurul kepada Kabarbursa.com, Kamis, 2 Januari 2025.
Nurul mengungkap, masalah utama terletak pada ketidakterpaduan kebijakan antara sektor perdagangan, industri, dan investasi. Misalnya, saat pemerintah berupaya untuk memperkuat industri hilir dengan menarik investor untuk berinvestasi di sektor-sektor tertentu, kebijakan yang membuka keran impor secara lebar justru bisa merugikan sektor-sektor ini.
"Jika kita ingin meningkatkan produksi domestik, kebijakan yang diterapkan harus memastikan bahwa pasar dalam negeri dapat menyerap produk-produk industri yang dihasilkan. Tetapi, jika pada saat yang bersamaan, kita membuka pintu impor tanpa kontrol yang baik, maka akan ada surplus pasokan barang yang berpotensi menurunkan harga dan menghancurkan daya saing produk lokal," lanjutnya.
Nurul memberikan contoh bagaimana kebijakan yang tidak selaras bisa merugikan industri hilir, terutama yang bergantung pada bahan baku dalam negeri. Ia menyebutkan bahwa Indonesia sedang giat mengembangkan sektor hilirisasi untuk memaksimalkan potensi sumber daya alam yang melimpah, namun kebijakan impor yang tidak terkontrol dapat membanjiri pasar dengan barang-barang asing, yang akhirnya merugikan produsen lokal.
"Jika harga produk domestik tertekan oleh impor, maka ini akan menurunkan motivasi investasi dalam negeri dan juga akan membunuh upaya-upaya pengembangan industri hulu," jelas Nurul.
Lebih lanjut, Nurul menekankan bahwa kebijakan impor yang tidak terkontrol bisa berdampak pada defisit perdagangan dan pelemahan nilai tukar rupiah. Hal ini juga akan mengurangi daya saing Indonesia di pasar global, karena sebagian besar cadangan devisa yang seharusnya digunakan untuk membayar impor akan keluar negeri untuk menutupi kekurangan pasokan.
"Impor yang tidak terkontrol akan menyebabkan arus keluar devisa yang besar. Ini tentu akan melemahkan ketahanan ekonomi kita dan mengurangi daya saing industri dalam negeri," katanya.
Untuk itu, Nurul mengusulkan adanya sinergi yang lebih baik antara kebijakan perdagangan, industri, dan investasi. Pemerintah perlu memperhatikan keseimbangan antara menjaga pasar domestik yang kuat, mendukung hilirisasi, serta mengelola kebijakan impor dengan bijak.
"Indonesia harus memastikan bahwa pasar domestik dapat berkembang seiring dengan upaya hilirisasi, tanpa terganggu oleh barang impor yang masuk secara bebas. Pengaturan yang lebih baik terhadap kebijakan impor sangat penting agar Indonesia dapat memiliki industri yang lebih kompetitif dan mampu memenuhi kebutuhan pasar global," tutup Nurul.
Nurul juga menambahkan, pemerintah harus terus memperkuat sektor industri dalam negeri dengan memperbaiki kebijakan yang mendukung investasi, meningkatkan kualitas tenaga kerja, dan memfasilitasi pengembangan produk lokal agar lebih unggul di pasar internasional.
Ahli ekonomi senior, Hendri Saparini, menekankan pentingnya menciptakan keterkaitan yang lebih erat antara industri besar dan kecil sebagai strategi untuk meningkatkan penciptaan lapangan kerja di Indonesia. Langkah ini, menurutnya, dapat mempercepat hilirisasi produk lokal sekaligus membuka peluang ekonomi yang lebih luas.
“Beberapa waktu lalu, saya berdiskusi dengan seorang pembeli dari Eropa. Saya bilang, coba investasi di hilirisasi produk mangga. Indonesia dapat mengolah mangga menjadi produk bernilai tambah, seperti selai atau jus mangga. Kita sudah memiliki produk segar, tetapi jarang ada yang memproduksi olahan seperti selai mangga,” ungkap Hendri di Gedung CORE Indonesia, Jakarta, Sabtu, 21 Desember 2024.
Hendri menjelaskan bahwa Indonesia memiliki banyak potensi produk yang belum dimanfaatkan secara optimal. Namun, salah satu kendala utama adalah kurangnya koordinasi antar lembaga terkait, yang sering kali membuat investor kebingungan mengenai jalur komunikasi yang tepat.
“Kita memerlukan lembaga yang dapat menjembatani sektor pertanian dan industri, sehingga proses hilirisasi produk lokal dapat berjalan lebih efektif,” katanya.
Ia juga menyarankan agar pemerintah memfokuskan perhatian pada sektor-sektor tertentu yang memiliki potensi besar untuk menciptakan nilai tambah. Hendri mencontohkan produk berbasis kelapa atau rumput laut yang banyak ditemukan di daerah tertentu. Produk ini dapat diolah menjadi barang bernilai tinggi dan disalurkan melalui industri kecil.
“Sebagai contoh, jika kita mengidentifikasi lima produk yang selama ini kita impor, seperti tepung tapioka, tepung ikan, dan tepung kelapa, kita bisa mulai dengan kebijakan yang spesifik untuk memproduksi barang-barang ini di dalam negeri. Dengan memanfaatkan anggaran yang ada, seperti dana desa, kita dapat menginvestasikan dana tersebut untuk mendirikan pabrik kecil yang mengolah produk tersebut,” jelasnya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.