Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Lahan Siap! Nusron Pastikan Food Estate Jalan di Tiga Pulau Sekaligus

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 01 January 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Lahan Siap! Nusron Pastikan Food Estate Jalan di Tiga Pulau Sekaligus

KABARBURSA.COM - Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menetapkan tiga lahan utama untuk pengembangan food estate sebagai upaya menuju swasembada pangan nasional.

Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid menegaskan bahwa proyek food estate akan berjalan di Kalimantan, Sumatera, dan Papua secara bersamaan.

Food estate tidak digeser dari Kalimantan Tengah ke Merauke. Kalimantan Tengah tetap jalan, Merauke tetap jalan. Kenapa? Karena untuk mencapai swasembada pangan memang kita butuh Kalimantan, Merauke, dan juga Sumatera,” ujar Nusron dalam acara media gethring capaian akhir tahun kementerian ATR/BPN, di Jakarta, Selasa 31 Desember 2024.

Menurut Nusron, kebutuhan lahan untuk mencapai swasembada pangan mencapai sekitar 1,6 juta hektare. Ia juga mengungkapkan bahwa setiap tahun banyak sawah di Jawa dan Sumatera mengalami koreksi akibat permohonan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) dan perubahan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B).

“Rata-rata setiap tahun di Jawa dan Sumatera terkoreksi plus minus antara 100 ribu sampai 150 ribu hektare per tahun. Ini harus diganti,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Nusron menjelaskan bahwa kebutuhan lahan ini tidak hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk lima tahun ke depan.

“Kalau asumsinya lima tahun mendatang setiap tahunnya terkoreksi 100 ribu sampai 150 ribu hektare, kan perlu tambahan lagi. Kalau yang di Pulau Jawa terus terkoreksi, ya tetap nanti tidak bisa swasembada pangan,” paparnya.

Dia menegaskan bahwa kebutuhan lahan untuk pangan harus seimbang dengan kebutuhan lahan untuk perumahan dan hilirisasi.

“Manusia butuh lahan, butuh papan, tapi manusia juga butuh pangan. Kalau semua dipakai ke rumah, tidak ada buat pangan, ke depan masyarakat makan apa?” tandas Nusron.

Food Estate Tidak Solutif

Sebelumnya, Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, menyatakan bahwa kebijakan swasembada pangan yang diusung Presiden Prabowo dengan mengandalkan food estate sebagai solusi utama dianggap tidak tepat.

Menurut Yusuf, langkah ini justru mengalihkan perhatian dari persoalan mendasar, yaitu alih fungsi lahan sawah yang terus berlangsung di Jawa. Ia menegaskan, melestarikan lahan sawah yang masih tersisa di Jawa akan jauh lebih efektif dalam menjamin swasembada pangan di masa depan.

“Kebijakan membuka lahan sawah baru di luar Jawa, termasuk food estate, sebagai kompensasi atas hilangnya sawah di Jawa, merupakan langkah yang keliru, mahal, dan sangat berisiko terhadap ketahanan pangan nasional,” ujar Yusuf kepada KabarBursa.com belum lama ini.

Ia juga menekankan pentingnya mempertahankan lahan sawah di Jawa sekaligus mendukung usaha pertanian berbasis keluarga. Menurutnya, langkah ini lebih strategis dibandingkan mengandalkan food estate yang memiliki risiko kegagalan dan membutuhkan biaya tinggi.

Data dari Next Policy menunjukkan bahwa alih fungsi lahan sawah di Jawa semakin masif, salah satunya dipicu oleh proyek strategis nasional (PSN). Dalam enam tahun terakhir, luas lahan panen padi terus menyusut, dari 11,38 juta hektare pada 2018 menjadi 10,21 juta hektare pada 2023, yang berarti penurunan lebih dari 10 persen.

Penetapan lahan sawah yang dilindungi (LSD) juga mengindikasikan terjadinya konversi lahan di delapan provinsi utama penghasil beras, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada 2019, luas lahan baku sawah (LBS) di delapan provinsi tersebut tercatat sekitar 3,97 juta hektare, namun pada 2021 hanya tersisa 3,84 juta hektare, menunjukkan bahwa sekitar 136 ribu hektare sawah telah beralih fungsi.

Impor Beras Mengkhawatirkan

Selain itu, Yusuf juga mengkritisi peningkatan impor beras yang dinilai mengkhawatirkan. Proyeksi impor beras Indonesia pada 2024 diperkirakan mencapai 5,17 juta ton, angka yang akan menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah, melampaui catatan impor tahun 1999 yang sebesar 4,75 juta ton.

Jumlah tersebut bahkan menjadikan Indonesia sebagai importir beras terbesar di dunia, melampaui Filipina yang rata-rata mengimpor sekitar 4 juta ton per tahun. Ketergantungan pada impor beras ini dianggap sebagai indikasi lemahnya ketahanan pangan nasional serta tingginya risiko akibat proteksionisme global.

Pada 2023, Indonesia mengimpor 3,06 juta ton beras, di mana 93 persen pasokannya berasal dari tiga negara saja, yaitu Thailand, Vietnam, dan Pakistan.

Ketergantungan pada negara-negara ini berpotensi mengganggu kestabilan harga dan pasokan beras dalam negeri, terutama jika terjadi krisis global atau kebijakan proteksionisme di negara-negara tersebut.

Yusuf juga menyoroti tren penurunan produksi beras nasional dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2018, produksi beras Indonesia masih berada di angka 33,9 juta ton, namun pada 2023 turun menjadi hanya 30,9 juta ton. Tren penurunan ini memperlihatkan adanya masalah struktural yang mendalam dalam sektor pertanian beras Indonesia.

Beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan ini, menurut Yusuf, antara lain adalah perubahan iklim, seperti fenomena el-nino, serta ketersediaan pupuk yang semakin terbatas. Jumlah petani yang menurun dan bertambah tua serta alih fungsi lahan sawah yang masif juga turut menjadi kendala utama.

Yusuf menyebut harga beras yang terus meningkat selama tiga tahun terakhir merupakan indikator dari masalah pasokan yang serius. Jika pada awal 2022 harga beras berada di kisaran Rp11.750 per kilogram, maka pada awal 2024 sudah mencapai Rp14.550 per kilogram, dan kini di pertengahan 2024 naik menjadi Rp15.350 per kilogram.

“Satu faktor yang paling mendasar dalam penurunan produksi beras nasional yang menyebabkan impor terbesar di tahun ini adalah alih fungsi lahan sawah yang terus terjadi secara masif, termasuk yang disebabkan oleh proyek strategis nasional (PSN), terutama di Jawa,” kata Yusuf.

Melihat kondisi ini, ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada peningkatan kapasitas lahan sawah yang tersisa dan mengurangi ketergantungan pada food estate yang berisiko tinggi. Ia menegaskan pentingnya mengadopsi kebijakan yang berkelanjutan dan berfokus pada perlindungan lahan serta pemberdayaan pertanian berbasis keluarga untuk mencapai swasembada pangan yang lebih kuat. (*)