Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Jurus Jitu Bangkit dari Keterpurukan Industri Otomotif RI Tahun 2025

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 30 December 2024 | Penulis: Citra Dara Vresti Trisna | Editor: Redaksi
Jurus Jitu Bangkit dari Keterpurukan Industri Otomotif RI Tahun 2025

KABARBURSA.COM – Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali rencananya menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen agar industri otomotif dapat bangkit dari keterpurukan.

“Walaupun sangat sulit dijalankan, tinjau kembali rencana kenaikan berbagai pungutan pajak dan retribusi pusat dan daerah,” kata Yannes kepada kabarbursa.com, Jumat, 27 Desember 2024.

Yannes optimistis industri otomotif akan bangkit dari keterpurukan tanpa PPN dan pungutan. Karena, menurutnya, selama ini PPN dan pungutan hanya menambah beban keuangan masyarakat serta pelaku usaha kelas menengah dan bawah.

Di sisi lain, syarat agar industri otomotif bangkit pada tahun 2025 adalah mengupayakan agar industri otomotif melakukan reinvestasi di industri berbasis otomasi dan robotik yang lebih efisien.

“Kembangkan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan produk yang inovatif dan terjangkau, sesuai dengan kebutuhan pasar domestik,” ujarnya.

Selain itu, yang tidak kalah penting adalah reskilling dan upskilling tenaga kerja industri agar comply dengan industry 4.0 dengan kerjasama dengan perguruan-perguruan tinggi terkemuka Indonesia.

Kemudian, langkah berikutnya adalah meningkatkan daya beli masyarakat dengan memberikan insentif untuk kelas menengah agar dapat meningkatkan daya beli, mendorong konsumsi domestik serta menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi.

“Jaga stabilitas ekonomi dengan mengendalikan inflasi, memastikan nilai tukar yang stabil, dan menciptakan iklim investasi yang kondusif akan memberikan kepercayaan bagi kelas menengah untuk berinvestasi dan berpartisipasi aktif dalam perekonomian,” jelasnya.

Tantangan Industri Otomotif Tahun 2025

Akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu juga mengungkapkan bahwa Industri otomotif di Indonesia menghadapi beragam tantangan dari dalam dan di luar negeri. Setelah mengalami penurunan performa penjualan pada 2024, tantangan industri otomotif di Indonesia pada tahun 2025 adalah ketegangan geopolitik.

Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, selain harus membenahi penjualan yang terus merosot, industri otomotif di Tanah Air harus menghadapi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.

“Ini dapat mengganggu rantai pasokan global dan memengaruhi ekspor Indonesia yang mengakibatkan kenaikan harga produk otomotif,” kata Yannes kepada kabarbursa.com, Rabu, 25 Desember 2024.

Sebelumnya, masalah rantai pasok yang mengakibatkan kelangkaan komponen semikonduktor juga pernah terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kelangkaan semikonduktor ini terjadi akibat perang dagang antara AS dan China.

Perang dagang ini mengakibatkan harga kendaraan meningkat dan memperpanjang waktu tunggu dari pabrikan ke konsumen.

Sementara di dalam negeri, tantangan industri otomotif dari dalam negeri adalah kenaikan tarif pajak dan inflasi. Masalah ini mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan tertier seperti mobil.

“Ketidakpastian kebijakan fiskal yang mulai dipisah antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui opsen pajak juga berpotensi semakin menambah beban bagi pelaku usaha dan masyarakat,” ujarnya.

Yannes mengungkapkan bahwa saat ini semua pihak yang terkait dengan sektor otomotif sedang melakukan wait and see. Karena, menurutnya kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran baru dua bulan bekerja sehingga belum dapat dipastikan pemetaannya.

“Kabinet baru bekerja dua bulan untuk memetakan banyak hal di atas dan mencari solusi yang terbaik dalam situasi yang tidak baik-baik saja mas dalam skala global,” tuturnya.

Insentif di Sektor Otomotif

Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita memberikan sejumlah insentif untuk sektor otomotif yang sedang berada dalam tekanan dari sisi penjualan.

“Insentif-insentif ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat serta mendorong transisi menuju kendaraan ramah lingkungan,” kata Agus.

Beberapa insentif yang diberikan pemerintah mencakup insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB). Untuk mobil dan bus listrik, pemerintah memberikan potongan PPN sebesar 10 persen dengan syarat kendaraan tersebut memenuhi ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 40 persen. Sementara itu, bus listrik dengan TKDN kurang dari 20 persen akan mendapatkan insentif sebesar 5 persen.

Selain itu, ada insentif berupa pembebasan bea masuk dan penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 15 persen yang ditanggung pemerintah. Insentif ini berlaku untuk impor kendaraan listrik kategori tertentu, baik yang berupa Completely Built Up (CBU) maupun Completely Knocked Down (CKD).

Insentif ini bertujuan untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik di Indonesia serta mendukung pengembangan industri kendaraan listrik di dalam negeri. Salah satu perusahaan yang telah menerima insentif tersebut adalah PT BYD Motor Indonesia, yang akan memproduksi 100.000 unit kendaraan listrik. Selain itu, PT National Assemblers juga telah mendapatkan insentif untuk memproduksi 4.800 unit kendaraan merek Citroen, 17.200 unit kendaraan merek Aion, dan 600 unit kendaraan merek Maxus pada tahun 2024.

Selanjutnya, pemerintah juga memberikan insentif sebesar 3 persen untuk kendaraan hybrid yang memenuhi kriteria Low Carbon Emission Vehicle (LCEV).

“Kebijakan ini juga menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk mendorong peralihan dari kendaraan bermesin konvensional ke kendaraan yang lebih ramah lingkungan,” jelas Agus.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya menegaskan tarif PPN 12 persen akan diberlakukan pada 1 Januari 2025, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini mengatakan, meskipun tarif PPN akan naik, pemerintah telah menyiapkan kebijakan untuk melindungi masyarakat berpendapatan rendah. Salah satu langkah yang diambil adalah membebaskan barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, dan gula konsumsi dari PPN. Selain itu, layanan seperti pendidikan, kesehatan, angkutan umum, dan air bersih juga akan tetap dikenakan PPN 0 persen.

“Untuk sektor tertentu, seperti minyak goreng, tepung terigu, dan gula industri, pemerintah akan menanggung 1 persen dari kenaikan PPN sehingga tarif efektifnya tetap 11 persen. Kebijakan ini bertujuan untuk meringankan beban masyarakat, terutama golongan berpendapatan rendah dan menengah,” kata Airlangga. (*)