KABARBURSA.COM – Peneliti Ekonomi dari Celios, Bakhrul Fikri, menyuarakan kekhawatirannya terkait dampak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang direncanakan pemerintah pada 2025. Menurut Fikri, kebijakan ini berisiko menurunkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
"Jika tarif PPN dinaikkan dari 11 persen menjadi 12 persen, saya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 hanya akan mencapai 4,09 persen. Ini sangat berbahaya karena dapat memicu resesi dan memperburuk kondisi ekonomi secara keseluruhan," ujar Fikri saat dihubungi Kabarbursa.com, Sabtu, 28 Desember 2024.
Fikri menambahkan bahwa sektor konsumsi rumah tangga, yang menyumbang 53 persen terhadap PDB Indonesia, mengalami penurunan signifikan pada kuartal ketiga 2024. Penurunan ini mencerminkan daya beli masyarakat yang terus melemah dan memerlukan perhatian serius dari pemerintah.
Sebagai solusi, Fikri mengusulkan penurunan tarif PPN dari 11 persen menjadi 8 persen. Menurutnya, langkah ini dapat memberikan dampak positif bagi konsumen dan dunia usaha. "Dengan menurunkan tarif PPN, permintaan akan meningkat, dan dunia usaha, khususnya sektor UMKM, dapat terhindar dari potensi kerugian besar," jelasnya.
Selain itu, Fikri menyarankan pemerintah mencari alternatif pendapatan negara yang lebih progresif. "Alih-alih mengenakan pajak regresif seperti PPN, pemerintah bisa menerapkan pajak progresif pada kelompok terkaya di Indonesia. Pajak sebesar 2 persen dari 50 orang terkaya dapat menghasilkan tambahan pendapatan negara hingga Rp81,6 triliun per tahun—jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan penerimaan dari kenaikan tarif PPN," tegasnya.
Ia menekankan bahwa kebijakan fiskal yang lebih progresif akan memberikan dampak yang lebih adil dan berkelanjutan, serta membantu menjaga daya beli masyarakat yang saat ini semakin tertekan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa penerapan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 didasari prinsip keadilan dan gotong royong. Kebijakan ini juga mempertimbangkan aspirasi masyarakat dan bertujuan menjaga daya beli di tengah tantangan global dan domestik.
"Ekonomi kita tetap berjalan meski dihadapkan pada dinamika global dan situasi dalam negeri yang perlu diwaspadai," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers bertema Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan, di Jakarta.
Di lain kesempatan, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Putri Zulkifli Hasan, menekankan pihaknya mendukung implementasi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Ia juga akan memastikan bahwa pemerintah akan menjamin bantuan bagi masyarakat rentan.
“Kenaikan PPN menjadi 12 persen bukan sekadar langkah fiskal, tetapi juga wujud nyata prinsip gotong royong dalam membangun bangsa. Dengan memastikan barang kebutuhan pokok tetap bebas PPN, pemerintah memberikan perlindungan kepada masyarakat rentan, sementara kontribusi dari kelompok yang lebih mampu diarahkan untuk mendukung pembangunan nasional,” ujar Putri dalam keterangan tertulis, Jakarta, Senin, 23 Desember 2024.
Adapun kebijakan PPN 12 persen dirancang dengan prinsip keadilan, di mana barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, unggas, hasil perikanan dan kelautan, susu segar, serta jasa pendidikan dan kesehatan tetap dibebaskan dari PPN guna melindungi daya beli masyarakat kecil.
Sementara itu, barang dan jasa premium seperti daging premium, layanan kesehatan medis premium, dan pendidikan premium dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi. Pendekatan ini memastikan kontribusi yang lebih besar dari kelompok berkemampuan tanpa membebani kelompok rentan.
“Kebijakan kenaikan PPN 12 persen ini tidak berdiri sendiri. Pemerintah telah merancang paket stimulus yang memastikan masyarakat tetap terlindungi dan ekonomi terus bergerak maju. Dengan insentif ini, kami yakin daya beli masyarakat akan tetap terjaga, UMKM terus berkembang, dan industri padat karya semakin kokoh.” pungkasnya.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa prinsip keadilan diterapkan dengan membedakan kebijakan antara masyarakat mampu dan tidak mampu. Kelompok mampu diwajibkan membayar pajak sesuai aturan, sementara kelompok tidak mampu dilindungi melalui bantuan pemerintah.
Barang dan jasa kebutuhan pokok, seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, rumah sederhana, dan air minum, dibebaskan dari PPN (tarif 0 persen). Total pembebasan PPN untuk barang-barang ini diperkirakan mencapai Rp265,6 triliun pada 2025.
Pemerintah juga memberikan subsidi sebesar 1 persen untuk barang penting seperti tepung terigu, gula industri, dan Minyak Kita. Dengan subsidi ini, harga barang tetap stabil, sehingga masyarakat tidak merasakan kenaikan tarif.
"Barang-barang seperti tepung terigu, gula untuk industri, dan Minyak Kita akan tetap terjangkau karena pemerintah menanggung kenaikan 1 persen," jelas Sri Mulyani.
Kenaikan untuk Barang Mewah
Sementara itu, kenaikan tarif PPN akan diberlakukan penuh untuk barang dan jasa mewah yang biasanya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat mampu. Ini mencakup makanan premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan internasional dengan biaya tinggi.
Dengan pendekatan ini, Sri Mulyani berharap kebijakan kenaikan PPN dapat memberikan keseimbangan antara kebutuhan pendapatan negara dan perlindungan daya beli masyarakat, sekaligus memastikan perekonomian tetap bergerak di tengah berbagai tantangan. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.