KABARBURSA.COM - Industri otomotif di Indonesia menghadapi beragam tantangan dari dalam dan di luar negeri. Setelah mengalami penurunan performa penjualan pada 2024, tantangan industri otomotif di Indonesia pada tahun 2025 adalah ketegangan geopolitik.
Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, selain harus membenahi penjualan yang terus merosot, industri otomotif di Tanah Air harus menghadapi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
"Ini dapat mengganggu rantai pasokan global dan memengaruhi ekspor Indonesia yang mengakibatkan kenaikan harga produk otomotif," kata Yannes kepada kabarbursa.com, Rabu, 25 Desember 2024.
Sebelumnya, masalah rantai pasok yang mengakibatkan kelangkaan komponen semikonduktor juga pernah terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kelangkaan semikonduktor ini terjadi akibat perang dagang antara AS dan China.
Perang dagang ini mengakibatkan harga kendaraan meningkat dan memperpanjang waktu tunggu dari pabrikan ke konsumen.
Sementara di dalam negeri, tantangan industri otomotif dari dalam negeri adalah kenaikan tarif pajak dan inflasi. Masalah ini mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan tertier seperti mobil.
"Ketidakpastian kebijakan fiskal yang mulai dipisah antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui opsen pajak juga berpotensi semakin menambah beban bagi pelaku usaha dan masyarakat," ujarnya.
Yannes mengungkapkan bahwa saat ini semua pihak yang terkait dengan sektor otomotif sedang melakukan wait and see. Karena, menurutnya kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran baru dua bulan bekerja sehingga belum dapat dipastikan pemetaannya.
"Kabinet baru bekerja dua bulan untuk memetakan banyak hal di atas dan mencari solusi yang terbaik dalam situasi yang tidak baik-baik saja mas dalam skala global," tuturnya.
Penjualan Mobil di Indonesia
Berdasarkan data Gaikindo, penjualan mobil secara retail (dari dealer ke konsumen) periode Januari-November 2024 sebesar 806.721 unit atau turun sebesar 11,2 persen dibanding periode yang sama pada tahun 2023 (year-on-year/yoy).
Pada Januari, penjualan mobil tercatat 69.758 unit, yang kemudian naik tipis menjadi 70.772 unit pada Februari 2024. Momentum ini terus berlanjut hingga Maret dengan capaian 74.720 unit sehingga mencatatkan kinerja kuartal pertama yang solid.
Namun, di bulan April, pasar menghadapi tekanan yang membuat penjualan turun drastis menjadi hanya 48.762 unit. Meski demikian, perbaikan mulai terlihat pada Mei dengan angka penjualan yang melonjak ke 71.391 unit. Tren positif berlanjut pada Juni, di mana penjualan menyentuh 74.615 unit.
Memasuki paruh kedua tahun, Juli mengalami sedikit penurunan dengan angka 74.229 unit. Namun, pasar kembali menguat pada Agustus di mana tercatat penjualan tinggi selama periode ini sebesar 76.304 unit. Sayangnya, euforia ini tidak bertahan lama, karena pada September penjualan kembali menurun menjadi 72.667 unit.
Penjualan mobil kembali melonjak sebanyak 77.191 unit pada Oktober 2024. Sayangnya, penjualan kembali menurun pada November 2024 menjadi sebesar 76.053 unit atau turun sebesar 8,1 persen yoy.
Setali tiga uang dengan penjualan retail, penjualan secara wholesales periode Januari-November 2024 sebesar 784.788 unit atau turun sebesar 14,7 persen yoy.
Kemudian penjualan pada bulan November secara wholesales juga ikut menurun menjadi 74.347 unit atau turun 11,9 persen yoy. Penjualan secara wholesales bulan November 2024 juga tercatat menurun sebesar 3,7 persen jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, terjadi penurunan sebesar 13,6 persen. Kemudian jika dilihat dari produksi kumulatif periode Januari-November 2024 sebesar 1.097.157 unit atau turun sebesar 15,5 persen pada periode yang sama tahun lalu.
Pengurangan Produksi Kendaraan
Yannes mengatakan produsen cenderung mengurangi produksi untuk menyesuaikan dengan permintaan pasar yang melemah dan menghindari penumpukan stok.
Penurunan produksi ini, kata dia, tidak hanya mencerminkan respons terhadap kondisi pasar saat ini, tapi juga dapat berimplikasi terhadap efisiensi operasional dan potensi pengurangan tenaga kerja di sektor otomotif.
“Jika tidak ada solusi lebih lanjut akan memperkuat potensi PHK massal di industri otomotif pada awal tahun 2025,” katanya.
Di sisi lain, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen pada 2025 dikhawatirkan meningkatkan biaya produksi kendaraan. Sebab, kenaikan biaya UMP tersebut bakal dibebankan kepada konsumen akhir atau pembeli.
Begitu juga dengan adanya pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen pada 1 Januari 2025, Yannes yakin kebijakan ini akan membuat harga kendaraan jadi semakin mahal. Menurutnya, kenaikan PPN yang sedang terjadi saat ini, tidak mempertimbangkan kondisi middle income class indonesia yang sedang tertekan.
“Middle income class yang memiliki peran krusial sebagai bantalan ekonomi nasional, dengan kontribusi signifikan terhadap konsumsi dan penerimaan pajak pemerintah pada 2024 ini sudah menurun signifikasn dari awalnya pada tahun 2019 57,33 juta orang, ditahun 2024 turun jadi 47,85 juta orang,” jelasnya.
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.