Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

China Siapkan Utang Rp6.557 Triliun untuk Stimulus Ekonomi Terbesar Sepanjang Sejarah

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 24 December 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
China Siapkan Utang Rp6.557 Triliun untuk Stimulus Ekonomi Terbesar Sepanjang Sejarah

KABARBURSA.COM - China kembali menunjukkan ambisinya untuk menyelamatkan ekonomi yang sedang lesu. Tahun depan, pemerintah Negeri Bambu itu berencana menerbitkan obligasi khusus senilai 3 triliun yuan (sekitar Rp6.557 triliun).

Jika terealisasi, ini akan menjadi penerbitan utang terbesar dalam sejarah negara tersebut. Kebijakan ini adalah bagian dari langkah agresif untuk merangsang ekonomi di tengah ancaman tarif tinggi dari Amerika Serikat dan berbagai tantangan domestik lainnya.

Menurut sumber Reuters yang terlibat dalam diskusi tersebut, dana dari obligasi ini akan digunakan untuk berbagai program, termasuk subsidi untuk meningkatkan konsumsi, pembaruan peralatan industri, dan investasi di sektor-sektor maju seperti kendaraan listrik, robotika, semikonduktor, dan energi hijau.

“Lebih dari 1 triliun yuan akan diarahkan untuk inisiatif ‘kekuatan produktif baru’ di sektor-sektor ini,” kata sumber tersebu yang enggan disebutkan namanya karena sensitifnya pembahasan ini, dikutip dari Reuters di Jakarta, Selasa, 24 Desember 2024.

Program “Dua Baru” dan “Dua Besar”

Sebagian dana juga akan dialokasikan untuk program yang disebut “dua baru” dan “dua besar.” Program “dua baru” meliputi subsidi untuk barang tahan lama, seperti mobil dan peralatan rumah tangga, serta insentif pembaruan peralatan untuk bisnis. Sementara itu, “dua besar” adalah proyek infrastruktur strategis seperti pembangunan rel kereta, bandara, dan pengembangan lahan pertanian.

Dokumen resmi menunjukkan 70 persen dari penerbitan obligasi khusus tahun ini sebesar 1 triliun yuan (Rp2.200 triliun) telah digunakan untuk “dua besar,” sedangkan sisanya untuk “dua baru.” Tahun depan, Beijing diperkirakan akan mengalokasikan lebih banyak dana untuk program-program ini demi menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

Langkah ini juga untuk mengantisipasi dampak tarif tinggi yang kemungkinan akan diterapkan oleh pemerintahan Donald Trump pada 2025. Dengan ancaman tarif hingga 60 persen pada ekspor China, Beijing perlu mengalihkan fokus pada sumber pertumbuhan domestik. Namun, masalahnya, konsumen China tengah mengalami tekanan akibat harga properti yang merosot dan kurangnya jaminan sosial yang memadai.

“Rumah tangga merasa kurang kaya, dan permintaan domestik melemah,” ujar seorang pengamat ekonomi.

Utang Terbesar Sepanjang Sejarah

Penerbitan obligasi ini akan setara dengan 2,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) China pada 2023. Angka ini jauh lebih tinggi dari penerbitan serupa pada 2007, yang kala itu mencapai 5,7 persen dari PDB.

Peningkatan utang ini mencerminkan keseriusan Beijing dalam melawan tekanan deflasi dan menjaga stabilitas ekonomi sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia. Kepala penelitian makro Asia di OCBC Bank, Tommy Xie, mengatakan, “Penerbitan ini melebihi ekspektasi pasar dan menunjukkan pemerintah pusat adalah satu-satunya entitas yang memiliki kapasitas besar untuk mengambil leverage tambahan.”

Defisit Empat Persen dari PDB di 2025

Pemerintah China sebelumnya berencana meningkatkan defisit anggaran hingga empat persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2025. Defisit kali ini merupakan level tertinggi dalam sejarah. Langkah ini diambil untuk menjaga target pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen di tengah ancaman peningkatan tarif impor dari AS setelah Donald Trump kembali menduduki Gedung Putih pada Januari mendatang.

Dilansir dari Reuters, meski belum diumumkan, rencana defisit ini disepakati dalam pertemuan Central Economic Work Conference (CEWC) pekan lalu. Defisit ini lebih besar dibanding target awal 3 persen dari PDB untuk 2024.

Kenaikan 1 poin persentase dalam anggaran ini setara dengan 1,3 triliun yuan atau sekitar USD179,4 miliar (Rp2.870triliun dengan kurs Rp16.000). Menurut dua sumber yang mengetahui rencana ini, dana tambahan akan diperoleh melalui penerbitan obligasi khusus di luar anggaran.

Menghadapi Tekanan Tarif AS

Dorongan fiskal yang lebih kuat ini menjadi bagian dari strategi China untuk mengantisipasi lonjakan tarif AS yang diprediksi melebihi 60 persen terhadap impor China. Jika janji kampanye Trump direalisasikan, tarif ini akan menekan industri China yang mengekspor barang senilai lebih dari USD400 miliar (Rp6.400 triliun) per tahun ke AS.

Para eksportir memperingatkan tarif tersebut akan memangkas margin keuntungan, mengganggu lapangan kerja, serta menahan laju investasi dan pertumbuhan ekonomi. Lebih jauh, langkah ini juga berpotensi memperburuk masalah kelebihan kapasitas industri dan tekanan deflasi yang saat ini membayangi perekonomian China.

Sumber resmi menyebutkan China akan mempertahankan target pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen pada 2025. Ringkasan hasil CEWC menegaskan perlunya menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil, meningkatkan rasio defisit fiskal, dan menerbitkan lebih banyak utang pemerintah.

Dalam waktu yang sama, bank sentral China atau PBOC juga diperkirakan akan mengadopsi kebijakan moneter yang lebih longgar. Upaya ini membuka peluang pemangkasan suku bunga dan injeksi likuiditas tambahan. Ini menandai perubahan dari kebijakan prudent alias hati-hati yang dipegang selama 14 tahun terakhir, di mana utang pemerintah, rumah tangga, dan perusahaan melonjak lebih dari 5 kali lipat, sementara ekonomi hanya tumbuh sekitar 3 kali lipat dalam periode yang sama.(*)