Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Pengamat Beberkan Kunci Utama Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 24 December 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Pengamat Beberkan Kunci Utama Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

KABARBURSA.COM - Rencana pemerintahan Prabowo Subianto untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga mencapai angka ambisius 8 persen mengingatkan kembali pada target serupa yang pernah diusung oleh Presiden Jokowi satu dekade lalu. Ketika itu, Jokowi menginginkan pertumbuhan ekonomi mendekati angka 7 persen.

Namun, realitas selama dua periode pemerintahannya memperlihatkan capaian yang jauh lebih moderat, dengan pertumbuhan berkisar di angka 5 persen. Kondisi ini bahkan sempat memburuk hingga ke level negatif pada masa pandemi Covid-19, dan mencerminkan tantangan mendalam yang dihadapi ekonomi Indonesia.

Wakil Rektor Universitas Paramadina Handi Risza Idris, menyoroti tantangan besar di balik target ambisius ini, terutama terkait investasi sebagai kunci utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Menurut Handi, investasi tidak hanya menjadi sumber daya penting dalam meningkatkan permintaan agregat dan pendapatan nasional, tetapi juga menjadi faktor kritis untuk mendorong produktivitas melalui ekspansi kapasitas produksi dan penciptaan lapangan kerja.

Pengeluaran pada barang modal, seperti mesin-mesin baru atau pembangunan infrastruktur, merupakan langkah strategis yang dapat memperbesar kapasitas ekonomi dan memastikan daya saing di tingkat global.

Namun, potret ekonomi Indonesia menunjukkan sejumlah tantangan struktural yang perlu segera diatasi. Salah satu persoalan mendasar adalah kontribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), yang merupakan indikator utama investasi dalam sektor riil, masih tertinggal dibanding konsumsi rumah tangga.

Pada 2023, kontribusi PMTB terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berada di angka 29 persen, mencerminkan pertumbuhan investasi sebesar 5,15 persen. Angka ini jauh dari cukup untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Tren penurunan kontribusi investasi terhadap PDB telah terjadi sejak 2015, di mana angka tertinggi yang pernah dicapai adalah 32,81 persen. Kini, angkanya turun menjadi 29,33 persen, sejalan dengan stagnansi kontribusi sektor manufaktur yang berada di kisaran 18-19 persen.

Stagnansi ini menggarisbawahi perlunya upaya nyata untuk menghidupkan kembali daya tarik investasi, memperkuat sektor manufaktur, dan mendorong diversifikasi ekonomi.

Handi menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan investasi yang sangat besar untuk memenuhi ambisi tersebut. Dalam lima tahun ke depan, diperlukan suntikan dana sebesar Rp13.528 triliun, di mana setidaknya 30 persen dari jumlah ini harus berasal dari investasi langsung.

Hal ini hanya akan mungkin tercapai jika pemerintah mampu meningkatkan kualitas iklim investasi secara menyeluruh. Transparansi birokrasi, pelayanan publik yang proaktif, serta penguatan kualitas sumber daya manusia merupakan elemen fundamental untuk memastikan lingkungan yang kondusif bagi investasi, baik domestik maupun asing.

Lebih jauh, indikator efisiensi investasi atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) juga menjadi perhatian penting. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, rasio ICOR harus diturunkan ke kisaran 3 hingga 4. Ini memerlukan strategi peningkatan produktivitas melalui adopsi teknologi modern, inovasi berkelanjutan, dan fokus pada riset serta pengembangan yang mendalam.

Dengan penguatan kualitas sumber daya manusia dan teknologi sebagai tulang punggung, Indonesia dapat mendorong produktivitas total sebagai fondasi pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.

Rencana besar ini, meski penuh tantangan, memberikan peluang bagi Indonesia untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Namun, tanpa implementasi kebijakan yang tepat dan konsisten, cita-cita tersebut dapat dengan mudah berubah menjadi sekadar retorika belaka.

Pinjol Bantu Percepatan Pertumbuhan Ekonomi

Ekonom Hendri Saparini menyatakan bahwa Indonesia masih memerlukan layanan peer-to-peer (P2P) lending, meski banyak masyarakat kelas menengah ke bawah yang terjerat pinjaman online (pinjol) atau istilah barunya, pinjaman daring (pindar).

Menurut Hendri, P2P lending memang sudah kurang relevan di beberapa negara dengan tingkat masyarakat unbanked yang rendah, seperti Korea Selatan dan China.

Berdasarkan data tahun 2021, tingkat unbanked di China tercatat 20 persen, sementara di Korea Selatan (Korsel) hanya 5 persen.

Namun, kondisi di Indonesia berbeda. Berdasarkan data Bank Dunia, pada tahun 2021, tingkat masyarakat unbanked Indonesia masih cukup tinggi, yakni 48 persen.

“Sebetulnya kita tidak perlu lagi mendiskusikan apakah P2P lending itu penting atau tidak. P2P lending sangat penting bagi Indonesia, khususnya untuk mendorong perkembangan pinjaman daring,” kata Hendri, Jumat, 20 Desember 2024.

Lanjut Hendri, alasan lain mengapa P2P lending masih dibutuhkan adalah adanya kesenjangan pendanaan di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Ia mengungkapkan bahwa kebutuhan pendanaan UMKM mencapai Rp4.300 triliun, sementara kemampuan penyediaan dana konvensional baru mencapai Rp1.900 triliun.

“Lembaga keuangan konvensional belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga P2P lending dapat membantu mengurangi gap ini,” ujar Hendri.

Hendri juga mencatat bahwa tingkat wanprestasi di Indonesia menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun, sementara pemerintah berkomitmen untuk menyalurkan 30-40 persen dana kepada UMKM.

Hendri, yang juga merupakan anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc), memberikan beberapa catatan terkait P2P lending dan kebutuhan pendanaan UMKM. Ia menekankan pentingnya menjaga keberlanjutan layanan P2P lending sambil melindungi kepentingan borrower (peminjam) dan investor.

“Keseimbangan perlu dijaga antara kepentingan borrower dan investor. Pemerintah harus berhati-hati dalam menciptakan kebijakan yang dapat menjaga kedua pihak tersebut,” saran Hendri.(*)