Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Alarm Bahaya, Ekonomi RI semakin Bergantung pada China

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 24 December 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Alarm Bahaya, Ekonomi RI semakin Bergantung pada China

KABARBURSA.COM - Ekonom INDEF DP Irhamna menyoroti ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap China semakin nyata dalam dua dekade terakhir. Bahkan sejak 2004 China telah menjadi eksportir terbesar ke Indonesia.

Peningkatan pangsa pasar barang impor China ke Indonesia melonjak dari 9 persen pada 2004 menjadi 28 persen pada 2023.

“Peningkatan ini mencerminkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap barang impor dari China,” ujar Ariyo dalam keterangan resmi Selasa 24 Desember 2024.

Namun, dari sisi ekspor, Jepang masih menjadi tujuan utama barang Indonesia. Dalam periode 2004-2023, pangsa pasar ekspor Indonesia ke Jepang meningkat dari 40 persen menjadi 45 persen.

Vietnam juga menunjukkan pertumbuhan signifikan sebagai destinasi ekspor Indonesia, naik dari peringkat 10 dengan pangsa 3 persen di 2004 menjadi peringkat 2 dengan 17 persen di 2023.

"Sayangnya, tidak ada perubahan struktural signifikan dalam sumber ekspor dan impor Indonesia selama hampir 20 tahun terakhir,” ujar Ariyo.

Ariyo menekankan bahwa ketergantungan terhadap China menghadirkan risiko ekonomi besar, terutama jika terjadi gangguan perdagangan bilateral akibat faktor geopolitik. Salah satu ancaman yang disebutkan adalah kemungkinan terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS yang berpotensi memperpanjang perang dagang.

“Ekonomi Indonesia menjadi rentan dan didorong oleh China karena ekspor mereka mencapai 28 persen ke Indonesia. Jika terjadi perubahan harga atau kebijakan dari China, kita akan terkena dampaknya,” jelasnya.

Untuk mengurangi ketergantungan ini, Ariyo menekankan pentingnya diversifikasi sumber impor dan penguatan daya saing produk lokal.

“Diversifikasi negara tujuan ekspor juga harus menjadi prioritas agar kita tidak terlalu bergantung pada segelintir negara saja,” jelas Aryo.

Dari perspektif perdagangan global, Ariyo mengungkapkan bahwa Indonesia berada di peringkat 25 dunia dalam backward global value chain, di mana nilai tambah dari asing lebih besar dibandingkan domestik.

Sementara dalam forward global value chain, Indonesia berada di peringkat 23. Namun, jika kedua indikator digabungkan, posisi Indonesia justru merosot ke peringkat 40 dunia.

“Ini menunjukkan bahwa Indonesia belum optimal dalam memanfaatkan rantai nilai global untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Di tengah upaya menuju target pertumbuhan ekonomi 8 persen di era Prabowo, Ariyo menilai angka tersebut terlalu ambisius.

“Target ini menjadi imajinatif mengingat kabinet yang dibentuk melebihi 100 personel, yang dapat menghambat efisiensi dan efektivitas pemerintahan,” ungkapnya.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Indonesia menargetkan menjadi negara maju. Menurut Ariyo, sektor industri dituntut berkontribusi 30 persen terhadap pertumbuhan ekonomi pada 2025-2029.

“Strategi integrasi investasi domestik dan global menjadi kunci, tetapi penguatan domestic value chain perlu harmonisasi kebijakan sektoral. Industri hulu dan hilir harus saling mendukung, tidak bisa berjalan parsial,” tambahnya.

Ariyo menyebut beberapa sektor telah berani melakukan transformasi, termasuk sektor pendidikan yang akan mengalami restrukturisasi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah sebagaimana diamanatkan dalam RPJPN.

“Transformasi ini menunjukkan upaya serius untuk memperkuat fondasi industri domestik,” pungkasnya.

Ramalan Pertumbuhan Ekonom RI 2025

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 tidak akan mengalami peningkatan signifikan. Ketua Umum Apindo, Shinta W Kamdani, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 4,9 hingga 5,2 persen.

“Prediksi kami untuk tahun depan berada di rentang 4,9 persen hingga 5,2 persen, dengan kemungkinan mendekati angka 5,1 persen atau 5,2 persen,” kata Shinta dalam konferensi pers di Kantor Apindo, Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024.

Menurut Shinta, sejumlah faktor global dan domestik memengaruhi potensi stagnasi tersebut. Di tingkat global, pelemahan perdagangan internasional serta terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan memberikan tekanan pada perekonomian Indonesia.

Sementara di dalam negeri, konsumsi masyarakat diprediksi melambat akibat kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Dampaknya terlihat dari penurunan jumlah kelas menengah, yang menurut data Apindo, telah menyusut sebanyak 9,5 juta orang dalam lima tahun terakhir.

“Kelas menengah memiliki peran penting dalam mendongkrak konsumsi nasional,” ujar Shinta.

Lanjut Shinta, tidak seperti pada 2024 dimana tingkat konsumsi masyarakat terdorong oleh momentum khusus seperti Pemilu dan Pilpres. Di 2025 nanti, akan landai saja.

“Tahun 2024 ini ada dorongan yang cukup signifikan dari pemilu dalam meningkatkan konsumsi di masyarakat. Untuk tahun ini, dorongan seperti itu tidak ada, sehingga menjadi tantangan sendiri,” ujar Shinta.

Selain itu, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) disebut berpotensi meningkatkan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK).

Kondisi ini menambah keprihatinan Apindo, yang mendesak pemerintah untuk fokus menciptakan lapangan kerja baru.

“Kami menekankan pentingnya penciptaan lapangan pekerjaan. Dengan jumlah PHK yang terus bertambah, situasi ketenagakerjaan di Indonesia akan semakin mengkhawatirkan,” pungkas Shinta. (*)