KABARBURSA.COM - Ekonom Hendri Saparini menyatakan bahwa Indonesia masih memerlukan layanan peer-to-peer (P2P) lending, meski banyak masyarakat kelas menengah ke bawah yang terjerat pinjaman online (pinjol) atau istilah barunya, pinjaman daring (pindar).
Menurut Hendri, P2P lending memang sudah kurang relevan di beberapa negara dengan tingkat masyarakat unbanked yang rendah, seperti Korea Selatan dan China.
Berdasarkan data tahun 2021, tingkat unbanked di China tercatat 20 persen, sementara di Korea Selatan (Korsel) hanya 5 persen.
Namun, kondisi di Indonesia berbeda. Berdasarkan data Bank Dunia, pada tahun 2021, tingkat masyarakat unbanked Indonesia masih cukup tinggi, yakni 48 persen.
“Sebetulnya kita tidak perlu lagi mendiskusikan apakah P2P lending itu penting atau tidak. P2P lending sangat penting bagi Indonesia, khususnya untuk mendorong perkembangan pinjaman daring,” kata Hendri, Jumat, 20 Desember 2024.
Lanjut Hendri, alasan lain mengapa P2P lending masih dibutuhkan adalah adanya kesenjangan pendanaan di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Ia mengungkapkan bahwa kebutuhan pendanaan UMKM mencapai Rp4.300 triliun, sementara kemampuan penyediaan dana konvensional baru mencapai Rp1.900 triliun.
“Lembaga keuangan konvensional belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga P2P lending dapat membantu mengurangi gap ini,” ujar Hendri.
Hendri juga mencatat bahwa tingkat wanprestasi di Indonesia menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun, sementara pemerintah berkomitmen untuk menyalurkan 30-40 persen dana kepada UMKM.
Hendri, yang juga merupakan anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc), memberikan beberapa catatan terkait P2P lending dan kebutuhan pendanaan UMKM. Ia menekankan pentingnya menjaga keberlanjutan layanan P2P lending sambil melindungi kepentingan borrower (peminjam) dan investor.
“Keseimbangan perlu dijaga antara kepentingan borrower dan investor. Pemerintah harus berhati-hati dalam menciptakan kebijakan yang dapat menjaga kedua pihak tersebut,” saran Hendri.
Meski begitu, Hendri mengingatkan masyarakat agar berhati-hati dalam memilih layanan P2P lending agar tidak terjerumus ke pinjaman ilegal. Ia juga mendorong agar P2P lending dapat lebih mendukung sektor produktif.
“Saat ini, sektor produktif yang dibiayai P2P lending masih di bawah 30 persen. Ke depannya, pinjaman dengan nominal besar dan jangka panjang sangat dibutuhkan di sektor ini,” ujarnya.
Hendri berharap P2P lending dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan dan mendorong industrialisasi di daerah.
Menurutnya, P2P lending seharusnya tidak hanya digunakan untuk kepentingan sesaat, tetapi juga dapat menjadi layanan investasi yang mendukung sektor produktif dalam jangka panjang.
“Kita perlu mendorong pemerintah untuk memikirkan strategi yang tepat agar pinjaman UMKM dapat dimanfaatkan secara produktif dan memberikan nilai tambah,” pungkasnya.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengganti istilah Pinjaman Online (pinjol) menjadi Pinjaman Daring (pindar).
Langkah ini diambil untuk membantu masyarakat membedakan layanan pinjaman daring yang legal dan ilegal.
Ketua Umum AFPI Entjik S Djafar berharap perubahan istilah ini dapat mempermudah masyarakat dalam mengenali layanan yang sah dan aman serta mengurangi risiko penggunaan platform ilegal.
“Kami bukan pinjol yang meresahkan masyarakat, kami adalah pindar atau pinjaman daring yang berizin OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Kami akan meningkatkan edukasi kepada masyarakat, terutama kepada pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta Ultra Mikro Kecil (UMK). Kami juga akan mengampanyekan manfaat yang telah diterima oleh para peminjam UMKM dan UMK,” kata Entjik, Minggu, 8 Desember 2024.
Selama ini, istilah ‘pinjol’ seringkali dikaitkan dengan hal-hal negatif, terutama karena maraknya peredaran pinjaman online ilegal di masyarakat. Bahkan, jumlah pinjol legal jauh lebih sedikit dibandingkan pinjol ilegal yang terus diblokir oleh OJK.
Menurut data Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI), sejak 2017 hingga 30 September 2024, Satgas telah menutup 9.610 entitas pinjaman online ilegal. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah entitas pinjol legal yang menurut data OJK hingga saat ini hanya berjumlah 97 perusahaan.
Entjik berharap, dengan penggantian istilah ‘pindar,’ masyarakat dapat lebih mudah mengenali pinjaman daring yang sah dan terdaftar. Perubahan ini juga sudah didiskusikan dengan OJK.
“Penggantian nama ini sudah kami usulkan dan dibicarakan dengan OJK. OJK menyerahkan sepenuhnya pada industri untuk perubahan istilah ini,” jelas Entjik.
Entjik menyatakan, pihaknya telah melakukan survei atau riset yang melibatkan masyarakat, dan hasilnya ditemukan sebanyak 3.972 alternatif nama yang dapat digunakan. Seluruh industri sepakat untuk mengganti istilah ‘pinjol,’ karena istilah tersebut telah erat kaitannya dengan praktik ilegal.
Dengan perubahan ini, masyarakat diharapkan dapat lebih mudah membedakan antara pinjaman daring yang sah dan yang tidak terdaftar di OJK. (*)