KABARBURSA.COM - Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyoroti APBN 2025 yang membengkak, adapun pendapatan negara, walaupun secara nominal meningkat tapi secara pertumbuhan terus mengalami fluktuasi.
“Dengan jumlah kabinet sebesar itu, tentu memerlukan anggaran dan dukungan manajemen sumber daya yang juga semakin besar. Tentunya akan berdampak terhadap alokasi anggaran Kementerian dan Lembaga," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu, 22 Desember 2024.
Ia mengingatkan bahwa belum sesuatu yang istimewa dalam APBN 2025. Sebab, penganggaran masih berjalan seperti biasannya (business as usual).
“Kita ketahui, APBN 2025 disusun oleh Pemerintahan dan DPR periode sebelumnya, sedangkan yang menjalankan adalah Pemerintah dan DPR periode saat ini, artinya alokasi anggaran APBN 2025 masih bersifat transisi dari Pemerintahan lama menuju Pemerintahan baru," ujar Anggota Baleg DPR RI ini.
Kemudian, ia juga menyebutkan bahwa anggaran-anggaran rutin dan wajib masih akan mendominasi alokasi anggaran 2025, sehingga menyebabkan ruang fiskal akan semakin mengecil.
"Oleh sebab itu, pemerintah harus bisa mengoptimalkan kerja-kerja K/L untuk menggerakkan sektor-sektor ekonomi yang bisa menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi," ungkapnya.
Doktor ekonomi dari Universitas Airlangga ini juga menambahkan bahwa, jika ditelaah lebih mendalam, alokasi anggaran APBN 2025 perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan parlemen. Pasalnya, di tengah ketidakpastian ekonomi global, perekonomian nasional juga menghadapi stagnasi pertumbuhan.
Bahkan, Anis juga menjelaskan bahwa berdasarkan rincian alokasi APBN, yang mencakup pendapatan, belanja, dan pembiayaan negara, terjadi fluktuasi yang signifikan.
“Kinerja pendapatan negara pada tahun 2022 mampu tumbuh 31,0 persen seiring dengan kembali pulihnya perekonomian pasca pandemi dan kenaikan harga komoditas unggulan nasional, batu bara, nikel, kelapa sawit dll. Kemudian, tahun 2023 hanya mampu tumbuh sebesar 5,6 persen. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari mulai turunnya harga komoditas di pasar Internasional. Begitupula tahun 2024 mengalami pertumbuhan sebesar 6,3 persen. Sedangkan pendapatan negara pada APBN 2025 tumbuh sebesar 6,9 persen dari outlook 2024," katanya.
Ia juga berpendapat bahwa dengan alokasi belanja negara, seiring dengan fluktuasi kinerja perekonomian nasional, kinerja belanja negara juga mengalami ketidakstabilan.
"Meningkat dari Rp3.096,3 triliun pada tahun 2022 menjadi Rp3.621,3 triliun pada tahun 2025 atau tumbuh rata-rata sebesar 6,6 persen setiap tahunnya. Meningkatnya alokasi belanja hingga Rp3.621,3 triliun pada tahun 2025, belum bisa memberikan daya ungkit yang signifikan terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Pembiayaan negara juga mengalami fluktuasi menurut Anis. "Pada tahun 2021 pembiayaan anggaran senilai Rp871,7 triliun. Pada tahun anggaran 2023 kembali ke defisit anggaran maksimal 3 persen terhadap PDB, outlook pembiayaan anggaran diperkirakan sebesar Rp486,4 triliun. Pada tahun 2024 diperkirakan pembiayaan negara mencapai Rp522,8 triliun. Pada tahun 2025 pembiayaan anggaran diperkirakan meningkat sebesar Rp616,6 triliun. Konsekuensinya adalah beban utang dan bunga utang selalu meningkat setiap tahunnya," pungkasnya.
Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semakin melebar hingga Agustus 2024 tercatat tercatat Rp153,7 triliun. Salah satu faktor penyebabnya adalah pendapatan negara yang tertekan, sedangkan belanja negara mengalami kenaikan yang signifikan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, hingga Agustus 2024, defisit APBN tercatan Rp153,7 triliun. Nilai ini setara dengan 0,68 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Besaran defisit kas negara ini melebar dari bulan sebelumnya, atau bertambah sekitar Rp60,3 triliun dari Juli 2024 yang mencapai Rp93,4 triliun.
“Kita lihat defisit APBN sampai dengan akhir Agustus adalah Rp 153,7 triliun atau ini artinya 0,68 persen dari PDB masih dalam track sesuai dengan RUU APBN 2024,” kata Sri Mulyani di acara konferensi pers APBN KiTa edisi September 2024, di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu)
Lanjutnya, defisit anggaran selaras dengan realisasi pendapatan negara yang terkontraksi. Tercatat realisasi pendapatan negara mencapai Rp1.777 triliun, turun 2,5 persen dari tahun lalu.
Walaupun menurun, kata Sri Mulyani, laju kontraksi pendapatan negara mulai membaik. Tercatat pada Juli 2024, pendapatan negara turun lebih dalam, yakni sebesar 4,3 persen secara tahunan.
“Kontraksi ini jauh lebih kecil dari bulan-bulan sebelumnya. Bulan lalu itu sekitar 6,5 persen atau pada Juni bahkan bisa mencapai 8 persen,” jelasnya.
Sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani menekankan regulasi yang tidak efisien dapat memperlambat laju kemajuan Indonesia menuju status negara berpendapatan tinggi pada 2045.
“Middle income trap biasanya muncul dalam bentuk regulasi dan kebijakan yang membuat rumit suatu perekonomian, sehingga semakin membebankan masyarakat,” kata Sri Mulyani.
Dia kemudian menyinggung soal pengelolaan APBN yang baik, khususnya dalam pembangunan infrastruktur digital dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), menjadi salah satu kunci untuk mencapai tujuan tersebut.
Untuk mengatasi masalah ini, Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menyederhanakan regulasi.
“Karena untuk bisa mencapai high income country, maka Indonesia harus bisa menghindarkan dari middle income trap,” ujarnya.
Sebagai pengingat, middle income trap adalah sebuah jebakan kelas menengah yang sering kali muncul akibat regulasi yang rumit dan membebani perekonomian, sehingga suatu bangsa sulit maju.
Dalam konteks ini, lanjut Sri Mulyani, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).(*)