Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Sarinah tak Goyah meski PPN Naik Jadi 12 Persen

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 21 December 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Sarinah tak Goyah meski PPN Naik Jadi 12 Persen

KABARBURSA.COM - Pemerintah telah menetapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen berlaku pada tahun 2025.

Namun, kenaikan itu menimbulkan berbagai reaksi, khususnya di kalangan pelaku usaha. Banyak yang khawatir kebijakan tersebut akan memberikan tekanan tambahan pada dunia usaha, terutama di tengah upaya pemulihan ekonomi. Dampaknya pada daya beli masyarakat juga menjadi perhatian.

Wakil Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Fetty Kwartati, tidak menampik bahwa kenaikan PPN tersebut akan berdampak pada bisnis ritel. Ia menjelaskan bahwa penyesuaian seperti ini kerap menimbulkan efek langsung.

"Logikanya sih, pasti. Setiap ada kenaikan apa pun, di awal-awalnya itu pasti ada pengaruh," ujar Fetty saat ditemui usai menghadiri acara Bina Diskon Nataru di Jakarta, Jumat, 20 Desember 2024.

Namun, Fetty yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Sarinah menegaskan bahwa kenaikan PPN ini tidak akan memengaruhi keberlanjutan kemitraan di Sarinah.

Menurutnya, sistem manajemen mitra di Sarinah tidak didasarkan pada faktor eksternal seperti pajak, melainkan pada evaluasi rutin yang dilakukan perusahaan terhadap performa mitranya.

"Kalau berkurang bukan karena PPN sih, memang karena sistem di Sarinah itu setiap periode memang direview," terangnya.

Fetty menjelaskan lebih lanjut bahwa Sarinah memiliki mekanisme evaluasi yang berlangsung setiap enam bulan sekali untuk memastikan mitra bisnisnya memberikan hasil yang sesuai dengan target pasar.

"Jadi kalau dia misalnya diskontinue di Sarinah, ya bukan karena kenaikan PPN," ungkapnya.

Menurut Fetty, aturan ini dirancang untuk memberi peluang lebih luas bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. Mengingat jumlah UMKM di Tanah Air mencapai 64 juta, Sarinah perlu menerapkan sistem rotasi agar semakin banyak UMKM mendapatkan kesempatan untuk berkembang di pusat perbelanjaan tersebut.

"Sarinah hanya bisa menampung beberapa saja. Jadi kita harus fair juga. Kalau memang sudah diberikan kesempatan, terus tidak sesuai dengan market, ya harus gantian dan harus pulang," tambahnya.

Meskipun kebijakan PPN yang baru ini diprediksi akan membawa tantangan di awal penerapannya, Fetty optimistis bahwa pasar akan menyesuaikan dalam waktu yang relatif singkat.

"3 bulan atau setelah 6 bulan jadi normalize lagi, itu bisa jadi contoh saja kenaikan PPN. Itu langsung pengaruh ya, 3 bulan atau 6 bulan.Tapi setelah jadi normal, ya sudah biasa lagi," tandas dia.

Holding UMKM Bisa Cuma Jadi Beban

Wacana pembentukan holding untuk UMKM kembali mencuat sebagai salah satu strategi pemerintah dalam memperkuat sektor ekonomi rakyat.

Namun, menurut Ekonom CORE Indonesia, Muhammad Faisal, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada desain dan implementasinya.

Faisal menilai bahwa meski holding UMKM memiliki potensi untuk mendukung target pemerintah, kebijakan ini membutuhkan perencanaan yang matang.

“Pemerintah perlu mendetailkan desain holding ini seperti apa, karena tidak mudah untuk menyatukan UMKM yang sangat beragam, mulai dari nano, mikro, kecil, hingga menengah. Jadi, yang mau disasarnya yang mana?” jelasnya saat ditemui di Gedung CORE Indonesia, Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024.

Ia menekankan bahwa UMKM dengan skala menengah lebih memungkinkan untuk diintegrasikan dalam holding dibandingkan yang mikro atau nano.

“UMKM skala menengah biasanya memiliki bisnis yang lebih stabil dan berkelanjutan. Sementara yang mikro dan nano sangat dinamis dan mudah berubah. Hari ini jualan buah, besok jualan beras. Data mereka saja masih sangat tidak akurat, apalagi jika harus diholdingkan,” paparnya.

Faisal juga mempertanyakan tujuan utama dari pembentukan holding ini. “Apakah sekadar mengumpulkan aset saja, atau ada manfaat yang nyata untuk masing-masing unit usaha? Holding seharusnya tidak hanya menjadi sekadar penggabungan aset, tetapi juga meningkatkan efisiensi dan keuntungan. Misalnya, dengan berbagi infrastruktur yang dapat menekan biaya produksi atau belanja modal,” ujarnya.

Lebih lanjut, Faisal menyoroti pentingnya fokus pada sektor yang memiliki potensi besar untuk diterapkan dalam konsep holding.

“Jika sektor menengah yang stabil dikelola dengan baik, manfaatnya bisa lebih terasa. Namun, jika tujuan dan manfaatnya tidak jelas, kebijakan ini hanya akan menjadi beban tambahan tanpa dampak signifikan,” tambahnya.

Faisal menutup dengan menegaskan bahwa pemerintah perlu memastikan kebijakan ini didukung oleh data yang akurat dan langkah-langkah implementasi yang jelas.

“Tanpa perencanaan yang komprehensif, wacana holding UMKM ini hanya akan menjadi sekadar gagasan tanpa realisasi yang berarti,” pungkasnya. (*)