KABARBURSA.COM – Ekonom senior dari CORE Indonesia Hendri Saparini menyoroti potensi kebijakan makan bergizi gratis sebagai solusi tidak hanya untuk masalah kesehatan seperti gizi buruk dan stunting, tetapi juga sebagai motor penggerak ekonomi lokal. Dalam diskusi di Gedung CORE Indonesia, Jakarta, Jumat, 20 Desember 2024, ia menggarisbawahi pentingnya desain kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi daerah secara berkelanjutan.
“Dengan anggaran yang sama, kita bisa memastikan bahwa program makan bergizi gratis tidak hanya mengatasi masalah gizi buruk dan stunting, tetapi juga menggerakkan ekonomi di tingkat daerah,” jelasnya.
Ia menyoroti bagaimana kebijakan ini dapat meningkatkan permintaan terhadap produk-produk lokal yang dihasilkan oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di berbagai daerah. Dengan menciptakan rantai pasok lokal yang kuat, setiap kabupaten dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, alih-alih bergantung pada kebijakan nasional yang sering kali terfokus pada sektor besar.
“Ini akan menciptakan supply chain lokal yang kuat di setiap kabupaten dan menggerakkan ekonomi secara lebih luas,” tambahnya.
Selain program makan bergizi, Hendri juga menyoroti perlunya evaluasi terhadap kebijakan pemberian paket sembako yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Menurutnya, sistem sentralisasi yang diterapkan dalam distribusi sembako sering kali tidak efektif dan rawan korupsi.
“Kenapa tidak didesentralisasikan? Karena dengan sistem sentralisasi, pembagian sembako ini rawan korupsi, dan yang mendapatkannya sering kali hanya pelaku besar. Jika didesentralisasikan, kita bisa menggerakkan ekonomi lokal,” ujarnya.
Dengan mendesentralisasi distribusi sembako ke tingkat kabupaten atau daerah, bahan pangan lokal dapat menjadi bagian utama dari paket bantuan. Hendri mengungkapkan bahwa pendekatan ini tidak hanya lebih adil, tetapi juga dapat memberikan dampak ekonomi yang signifikan.
“Jika sembako terdiri dari bahan pangan lokal, nilai ekonomi yang dihasilkan bisa lebih dari 50 triliun rupiah. Selain itu, teknologi yang kita miliki sekarang bisa menjamin bahwa distribusi ini tepat sasaran,” paparnya.
Hendri menekankan bahwa kebijakan seperti makan bergizi gratis atau distribusi sembako berbasis lokal tidak hanya berfungsi sebagai bantuan sosial semata, tetapi juga sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi di tingkat akar rumput.
“Poin utamanya adalah bagaimana kebijakan itu dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, bukan hanya untuk memberikan bantuan tanpa dampak jangka panjang,” katanya.
Kebijakan berbasis lokal ini, jika diimplementasikan dengan baik, dapat mengurangi ketergantungan terhadap pusat, memberdayakan daerah, dan mendorong pemerataan ekonomi. Hendri optimis bahwa dengan desain kebijakan yang tepat, Indonesia dapat mengatasi tantangan ekonomi sekaligus menciptakan peluang baru bagi pembangunan berkelanjutan.
“Dengan desain kebijakan yang tepat, kita bisa mendorong ekonomi lokal, bukan hanya memberi bantuan yang sifatnya sementara,” pungkasnya.
Ekonom CORE Indonesia, Muhammad Faisal, mengungkapkan sejumlah tantangan yang perlu dihadapi dalam implementasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang akan dimulai pada Januari 2025.
Menurut Faisal, meskipun program ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama bagi siswa, ada sejumlah hal yang harus dipersiapkan dengan matang agar tujuan program ini tercapai secara efektif.
Faisal menyoroti pentingnya perencanaan yang matang mengenai modalitas distribusi makanan bergizi tersebut, khususnya dalam hal cara penyediaan dan pemasokan bahan baku yang akan digunakan.
Salah satu model yang saat ini dipertimbangkan adalah sistem dapur umum sentral, yang memungkinkan makanan dibagikan secara merata ke sekolah-sekolah. Namun, Faisal mengingatkan bahwa fokus tidak hanya harus pada distribusi makanan, tetapi juga bagaimana makanan tersebut bisa memberikan manfaat bagi ekonomi lokal.
“Jangan hanya melihat distribusi makanan yang lancar, tetapi juga dampaknya pada pemasok lokal, terutama UMKM. Jika bahan baku makanan banyak berasal dari luar daerah atau luar negeri, ini akan mengurangi dampak positif terhadap perekonomian lokal dan multiplier effect-nya,” ujar Faisal dalam diskusi CORE Media Discussion (CMD) di Gedung CORE Indonesia, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu, 18 Desember 2024.
Faisal juga menekankan pentingnya persiapan yang matang terkait dengan kualitas makanan yang diberikan kepada siswa. Ia mencatat, salah satu tantangan yang perlu diantisipasi adalah potensi food waste, atau pemborosan makanan, yang sering terjadi karena ketidaksesuaian menu dengan selera dan preferensi anak-anak sekolah.
Sebagai contoh, ketika menu makanan tidak sesuai dengan keinginan mereka, seperti sayuran yang tidak diminati, maka makanan tersebut bisa terbuang percuma.
“Edukasi kepada para penerima manfaat, dalam hal ini siswa, sangat penting. Jika mereka tidak mengerti pentingnya makanan bergizi, seperti sayuran, maka kita akan menghadapi masalah besar berupa food waste,” terang Faisal.
Selain itu, Faisal juga mempertanyakan apakah anggaran yang dialokasikan untuk program MBG, yang diperkirakan mencapai Rp799 juta per hari, sudah cukup memadai mengingat banyaknya faktor yang perlu dipertimbangkan.
Ia menyoroti bahwa harga Rp10.000 per porsi makanan mungkin tidak cukup di beberapa daerah, terutama di luar Jawa, yang memiliki biaya hidup lebih tinggi.
“Rp10.000 untuk satu porsi makanan sudah sangat tipis, terutama di luar Jawa. Jika anggaran ini dipaksakan, bisa berisiko menurunkan kualitas makanan yang diberikan. Ini harus menjadi perhatian besar,” tambah Faisal.
Faisal juga mengusulkan agar pemerintah menggali potensi pembiayaan lain, selain hanya mengandalkan APBN. Salah satu alternatif yang bisa dieksplorasi adalah partisipasi korporasi melalui program CSR (Corporate Social Responsibility). Dengan melibatkan sektor swasta, diharapkan dapat meningkatkan nilai manfaat program ini tanpa membebani anggaran negara.
“Pemerintah sebaiknya tidak hanya bergantung pada APBN. Jika bisa melibatkan CSR atau skema pembiayaan lain, itu akan sangat membantu dan sesuai dengan keinginan pemerintah untuk menjaga agar beban APBN tidak terlalu berat,” tambah peneliti yang tengah mengenakan batik berwarna krem-cokelat.
Untuk memastikan keberhasilan program ini, Faisal menekankan perlunya kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, serta perencanaan yang matang dalam hal distribusi, kualitas makanan, dan keberlanjutan program.
“Jika semua ini dipersiapkan dengan baik, maka program Makan Bergizi Gratis dapat membawa dampak yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat, khususnya anak-anak sekolah,” pungkasnya. (*)